23 Januari 1994

113. Pendekatan Ilmiyah terhadap Isra?

Ini adalah sebagian dari isi makalah yang saya sajikan dalam diskusi panel di lantai 3 Gedung Harian Fajar, yang bertemakan: "Benarkah Peristiwa Isra Mi'raj Itu Tak Ada Hubungan Dengan Iptek?" Teknologi tidak saya singgung, karena teknologi itu adalah proses yang memberikan nilai tambah pada suatu komoditi, jadi terlalu teknis-ekonomis, sehingga tidak relevan untuk mengambil tempat dalam pembahasan.

Tradisi ilmu Mesir Kuno dan Sumaria yang hanya berasaskan observasi diperkembang para pakar Yunani Kuno dengan menambahkan unsur penafsiran yang logis dan sistematis terhadap hasil observasi itu. Akhirnya disempurnakan para pakar Muslim Kuno dengan menambahkan unsur ujicoba terhadap bercorak ragam hasil penafsiran observasi. Maka terbentuklah asas pendekatan ilmiyah berikut ini:

1. bersikap ragu,
2. pengamatan,
3. penafsiran,
4. ujicoba.

Sikap ragu akan berakhir dengan menerima, atau menolak, tergantung hasil ujicoba teori hasil penafsiran observasi.

Dapatkah dilakukan Pendekatan Ilmiyah terhadap Isra? .
Langkah pertama, meragukan penistiwa Isra. Ini sangat berbahaya karena menyangkut aqidah. Orang Islam yang meragukan kebenaran Al Quran walaupun satu kalimah saja rusak aqidahnya lalu menjadi murtadlah ia. Jadi secara asasi, orang Islam kalau tidak maujadi murtad, jangan sekali-kali melakukan pendekatan ilmiyah terhadap Isra. Langkah kedua, observasi, ini menyangkut teknis. Obyek yang dapat diobservasi adalah proses yang sinambung dan di mana saja, artinya bersifat terbuka bagi siapa saja yang akan mengobservasi. Isra hanya satu kali, atas seorang saja yaitu Nabi Muhammad SAW, dan tak seorang juapun yang menyaksikannya. Apanya yang akan diobservasi? Jadi secara teknis, langkah kedua mustahil. Langkah ketiga, apa yang mau ditafsirkan, kalau observasi tidak mungkin! Langkah keempat, apa yang mau diujicoba, tafsiran observasi tidak ada!

Maka perlu membuat redefinisi tentang Ilmu Pengetahuan. Melepaskan Ilmu Pengetahuan dari kungkungan sekularisme, agnostisisme dan atheisme, warisan budaya Renaissance. Redefinisi Ilmu Pengetahuan ini bertolak dan asas tawhid. Allah SWT adalah Sumber Ilmu dan Sumber Informasi. Allah SWT memberikan informasi kepada manusia yang disebut ayat. Ada dua jenis ayat, yaitu isi Al Quran (S. Al Baqarah 41) dan alam syahadah (S. Ar Ruwm 24). Dengan redefinisi itu , maka terbentuklah Pendekatan Imaniyah-llmiyah seperti berikut:

a. berlandaskan tawhid,
b. pengamatan,
c. penafsiran,
d. bersikap ragu terhadap pemikiran manusia,
e. ujicoba.

Hasil pengamatan ditafsirkan. Penafsiran membuahkan teori. Teori adalah hasil pemikiran manusia, dan itu perlu diragukan, artinya belum tentu benar. Jadi harus diujicoba, yaitu dengan jalan merujukkannya pada sumber informasi. Ujicoba penafsiran Al Quran dirujukkan pada ayat-ayat Al Quran yang lain dan Hadits yang shahih. Bila mungkin dirujukkan pula pada ayat-ayat alam. Demikian pula bjicoba terhadap penafsiran alam dirujukkan kepada ayat-ayat alam yang lain, dan bila mungkin dirujukkan ke pada ayat Al Quran.

Dengan pendekatan baru hasil redefinisi Ilmu Pengetahuan dapatlah kita bahas Isra. Tidak seluruh pembahasan dalam makalah itu disajikan dalam kolom ini. Kita akan terus mulai dari langkah ketiga, yaitu penafsiran. Di samping istilah Isra juga dikenal istilah yang dipakai dalam Hadits, yaitu Mi'raj, yang dibentuk oleh akar: 'Ain, Ra, Jim', 'araja, artinya naik. Pengertian naik bukan menuju ke atas kepala, artinya bukan menuju ke angkasa luar. Akhir dari Isra yaitu Al Masjidu lAqsha di Sidratu IMuntaha tatkala RasuluLlah sujud. Dalam Hadits di katakan RasuIuLlah Isra ke Al Baytu lMaqdis. Kalau Hadits ini shahih, maka Al Baytu lMaqdis tidak identik dengan Al Masjidu lAqsha. Artinya RasuluLlah diisrakan dalam dua tahap, tahap pertama dari Al Masjidu lHaram ke Al Baytu lMaqdis dan tahap kedua dari Al Baytu lMaqdis ke Al Masjidu lAqsha. Tahap kedua inilah yang disebut Mi'raj. Penafsiran terebut layak diragukan, karena itu adalab pendapat manusia. Jadi perlu diujicoba.

Ujicoba akan dirujukkan pada ayat Al Quran dan ayat alam.
Mi'raj, walaupun ini istilah yang dipakai dalam Hadits, akan tetapi pokok katanya 'araja, adalah bahasa Al Quran. Dalam S. Al Ma'aarij, 4 dapat kita baca: Ta'ruju lMala-ikatu wa rRuwhu ilayhi fly Yawmin Kaana Miqdaaruhu- Khamsiyna Alfa Sanatin. Para malaikat dan ruh (Jibril) naik kepadaNya dalam sehari yang setara dengan Iimapuluh ribu tahun. Artinya Mi'raj itu bukanlah suatu proses yang alamiyah, melainkan proses yang ghaib, menembus keluar meninggalkan alam syahadah, bahkan meninggalkan alam malakut. Dalam Hadits dikatakan bahwa Jibnil tidak mampu menemani terus RasuluLlah, artinya Jibril tidak mampu keluar meninggalkan alam malakut; itulah makna kalimah Subhana dalam S.Baniy Isra-iyl, 1. Jadi Al Masjidu lAqsha tidaklah di alam syahadah, artinya tidak di Palestina.

Alam syahadah ini relatif terhadap waktu, tempat, dan kecepatan gerak. Makin cepat gerak benda, makin berkurang ukurannya dalam arah gerak, makin bertambah besar massanya dan waktu makin lambat. Alam syahadah ini lengkung ibarat bola berdimenasi empat, (panjang, lebar, tinggi, waktu). Cahaya yang dipancarkan terus menerus akan tiba di tempat semula dalam waktu 200 bilyun tahun, apabila alam syahadah ini statis. Dalam kenyataannya menurut pengamatan alam kita ini sedang berekspansi, mengembang.

Rasulullah Mi'raj kurang dari 8 jam, padahal jarak di alam syahadah ini menyangkut waktu bilyunan tahun, dan kecepatan cahaya di alam syahadah adalah kecepatan maximum. Kalau RasuluLlah Mi'raj ke angkasa luar, akan tetap terkungkung dalam alam ini, karena ruang ini lengkung. Jadi jelaslah bahwa Rasulullah SAW pada waktu Mi'raj bukanlah merupakan perjalanan angkasa luar di alam syahadah ini. Rasulullah SAW Mi'raj menembus masuk alam ghaib yang mutlak, tidak nisbi, alam yang bebas dari ruang dan waktu. Mi'raj adalah tahap kedua dari Isra yang menembus masuk alam ghaib. Alhasil, Isra Mi'raj itu sama sekali tak ada hubungannya dengan Iptek. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 23 Januari 1994