2 Januari 1994

110. Melihat Melalui Celah Pepohonan

Saya mendapatkan isteri saya sedang mengutip dari buku yang berjudul "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal demi Pasal", halaman 216. Buku itu ditulis oleh B.Soesilo, diterbitkan oleh Politea Bogor, tahun 1981. Ia sementara sibuk menulis laporan penelitian tentang "Delik Pencurian di Kecamatan Tallo', Ujung Pandang". Seperti lazimnya hasil penelitian itu tidaklah mempunyai dampak langsung terhadap pembangunan, melainkan secara tidak langsung hasil penelitian itu ada juga gunanya untuk pembangunan. Yaitu untuk meningkatkan kualitas SDM bagi dosen-dosen untuk kenaikan golongan/jabatan akademis.

Kutipan itu tujuannya untuk memberikan pengertian tentang "Delik Pencurian", yang sebagaimana lazimnya dalam suatu laporan penelitian ataupun makalah didahului dengan tinjauan pustaka untuk menjelaskan pengertian yang sebenarnya sudah jelas. Saya katakan kepadanya buat apa mengutip pendapat yang salah. Tidaklah benar kalau diakatakan bahwa listrik dan gas adalah barang yang tidak berwujud.

Maka terjadilah perdebatan. "Itu pendapat seorang pakar hukum", kata isteri saya. Saya katakan: "Setiap orang dapat saja mempergunakan istilah sendiri, untuk kalangan sendiri, atau sekurang-kurangnya dalam rumah sendiri, di antara keluarganya. Akan tetapi kalau istilah itu sudah dikomunikasikan dalam bentuk publikasi, soalnya sudah lain." "Lalu saya mesti apa?" kata isteri saya menuntut pemecahan. "Ya, pakailah pendapat sendiri, kaukan juga pakar! Cobalah melihat di antara celah-celah pohon, ke disiplin ilmu fisika. Kaukan dahulu dari SMA jurusan B (pasti/alam). Juga lihatlah ke disiplin ilmu ekonomi. Di situ ada barang tak berwujud yaitu jasa. Lihatlah guru-guru, mereka penjual jasa." "Sudah, sudah, saya akan coba memakai pendapat sendiri", katanya merengut, kebiasaan perempuan.

Saya biarkan isteri saya sendiri di kamar kerjanya, bergelut dengan laporannya itu. Tidak lama kemudian ia memanggil saya. "Coba baca ini." Ia tetap mengutip juga, tetapi di bawah kutipan itu ia membantah pendapat R.Soesilo. Nah, inilah tulisannya. "Tidak benar kalau gas dan listrik itu barang yang tidak berwujud. Gas dan listrik itu dapat ditangkap pancaindra. Gas yang berbau ditangkap indra pencium, yaitu hidung. Gas yang tidak berbau dapat ditangkap oleh indra peraba, yaitu kulit. Angin yang dihembuskan oleh kipas dirasakan oleh kulit. Angin adalah udara yang bergerak, dan udara adalah gas. Kalau kawat beraliran listrik tersentuh walaupun sejenak, kulit akan merasakan sengatannya. Lagipula listrik dan gas dapat diukur dengan meteran. Matapun dapat ikut mengindra melihat jarum dalam meteran. Jadi gas dan listrik adalah barang yang berwujud. Barang yang tidak berwujud adalah jasa. Penumpang gelap adalah pencuri jasa, karena mengambil sebagian barang atau komoditi berupa jasa angkutan dari pemiliknya yaitu Pelni atau GIA. Guru-guru yang ditahan gajinya adalah penggelapan yang dilakukan oleh bendaharawan yang membayar gaji, karena menggelapkan barang orang lain yaitu jasa guru-guru." Bagus saya katakan, "Kau telah melihat melalui celah-celah pohon ke arah daerah disiplin Biologi, Fisika, Ekonomi, Transportasi
dan Administrasi keuangan."

***

"Seperti katak di bawah tempurung", pepatah ini dahulu populer memasyarakat. Sekarang pepatah itu tidak memasyarakat lagi, namun belum dilupakan. Katak yang di bawah tempurung itu wawasannya sempit. Tempurung itu dikiranya langit. Dalam cerita silat Cina ada sebuah nasihat, agar seorang hiap (pendekar) tidak sepicik katak itu. Tidak boleh picik, tidak boleh berwawasan sempit, lalu mengira dirinyalah yang paling hebat di kolong langit. "Di luar thian (langit) ada thian," demikian nasihat dalam kalangan kang-ow (dunia persilatan), yang bergaya pepatah itu.

Judul di atas itu berasal dari pepatah Belanda: "Kijken tussen de bomen". Pepatah itu sangat kena juga jika ditujukan kepada katak yang dalam tempurung itu. Namun dalam konteks ini katak itu bukan hiap, melainkan orang yang tak mau tahu tentang disiplin ilmu , selain disiplin ilmu yang digelutinya. Di negeri Belanda tidak ada pohon kelapa, sehingga tempurung tidak dikenal dalam budaya mereka. Jadi tentu saja tempurung itu tidak mungkin mengambil partisipasi dalam perbendaharaan sastra mereka, yang dalam hal ini khususnya adalah pepatah. Maka orang sempit wawasan itu tidak diimajinasikan berupa katak di dalam tempurung, melainkan diimajinasikan berupa orang yang ada dalam kebunnya yang dipagar dengan pepohonan di sekelilingnya.

Penggambaran orang yang dikelilingi pohon ini sangat bagus untuk dikembangkan dalam berda'wah. Janganlah engkau terpaku dengan pandanganmu yang sempit itu. Lihatlah melalui celah-celah pohon, di situ terdapat wawasan yang lebihluas. Di luar dari disiplin ilmu yang engkau geluti, ada pula sejumlah disiplin ilmu yang lain. Celah-celah pohon itu adalah penghubung antara duniamu dengan dunia ilmu di luar wawasanmu. Bahwa ada "lintas sektor" di antara ilmu-ilmu itu. Bahwa ilmu itu tidak terkotak-kotak, melainkan merupakan satu kesatuan.

Allah mengajarkan kepada kita melalui risalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa ilmu itu bersumber dari Satu Maha Sumber, Allah SWT. Wala- yuhiythuwna bi syay.in min 'ilmihi- illa- bima- sya-a, dan tidaklah mereka itu mengetahui sesuatu apapun dari IlmuNya, melainkan dengan kehendakNya (S. alBaqarah, 2:255). Allah SWT Maha Esa dalam Sifat, Maha Esa dalam Oknum, Maha Esa dalam PerbuatanNya, maka ilmu yang diberikanNya kepada manusia juga merupakan satu kesatuan.
Kalaupun ada pembagian beberapa disiplin ilmu dalam kebudayaan, maka pembahagian itu tidaklah berarti pengkotakan ilmu yang dibatasi oleh dinding-dinding yang ketat dan kedap. Bukan pemisahan ilmu yang berkotak, melainkan pembedaan disiplin ilmu yang tetap dalam satu kesatuan, yang merupakan satu sistem. Yaitu bagian-bagian itu ada kaitannya antara satu dengan yang lain, ada lintas sektor, ibarat celah-celah pohon. Ya, kijken tussen de bomen, kata orang Belanda. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 2 Januari 1994