20 Februari 1994

117. Komputerisasi dalam Bidang Pendidikan, Menyimak Inti Permasalahannya

Sebenarnya komputerisasi dalam bidang pendidikan telah pernah dibahas dalam kolom ini dalam seri 086 lebih 7 bulan yang lalu, tepatnya 4 Juli 1993, dalam situasi hangatnya, kalau tidak dapat dikatakan demam komputerisasi dalam bidang pendidikan yang digalakkan oleh penanggung jawab pendidikan formal dasar dan menengah di provinsi ini. Yang disorot pada waktu itu adalah tentang komputerisasi dalam kedewasaan bersikap. Untuk menyegarkan ingatan saya angkat sebuah kalimat dalam seri 086 itu: Sudah banyak komentar baik tertulis maupun terlisan dari segi silau atau cemerlangnya komputerisasi di bidang pendidikan ini. Kita akan soroti dari segi kesuramannya, supaya kita dapat berpikir secara dewasa, karena pikir itu pelita hati.

Kini dengan kebijakan penanggung jawab pendidikan formal dasar dan menengah yang baru, yang tidak seiring dengan yang lama, maka mulai lagi hangat dibicarakan oleh para pakar, ada yang setuju, ada yang menolak dan ada pula yang setuju ataupun menolak dengan bersyarat. Kitapun ikut turun rembuk pula dengan memperluas menjadi pendidikan formal dasar, menengah dan tinggi. Yang akan disorot kali ini bukanlah masalah yang temporer. Para guru katanya belum dijamin tentang objektivitasnya, ini adalah masalah temporer. Para guru dapat dibina ditingkatkan kwalitasnya. Masyarakat belum siap menerima teknologi yang katanya canggih ini, ini adalah masalah temporer. Dengan social engineering masyarakat dapat saja digiring pada kesiapan itu. Fasilitas mendapatkan komputer belum merata ke eselon bawah, ini adalah masalah temporer. Suatu waktu insya Allah APBN yang meningkat dapat menyebar luaskan fasilitas memperoleh perangkat itu. Para murid kurang bergairah belajar, ini adalah masalah temporer. Dan lain lain, dan lain lain, yang temporer.

Sorotan ini ditujukan pada masalah inti. Yaitu dengan menyisihkan semua masalah yang temporer itu, akan dapatkah terwujud tujuan yang ingin dicapai pendidikan formal itu dengan jalan komputerisasi dalam evaluasi?

Pendidikan formal itu dicirikan antara lain dengan kurikulum yang isinya menyangkut pengajaran: pengetahuan (kognisi), keterampilan (psikomotor) dan pendidikan: sikap (afeksi). Dalam kurikulum itu ada sejumlah mata-ajaran. Setiap mata-ajaran mempunyai: Tujuan Mata-ajaran (TMA), Tujuan Instruksional Umum (TIU dari GIO, General Instructional Objective) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK, dari SIO, Special Instructional Objective, sekarang disebut Sasaran Belajar). TMA berhubungan dengan kaitan antara mata-ajaran menjadi satu sistem yang relevan dengan program pendidikan tertentu. TIU merupakan pedoman untuk menyusun TIK, yang berisikan luasnya lingkup Pokok Bahasan dan tingkat penguasaan materi. Namun belum berisikan kemampuan akhir yang harus dicapai yang dapat diobservasi untuk diukur dalam rangka evaluasi. Hal ini baru tercantum dalam TIK yang sekaligus merupakan penjabaran TIU.

Komputer digital elektronik yang antara lain dipakai dalam evaluasi di bidang pendidikan bekerja atas dasar mutsanna, binary, karena menurut TaqdiruLlah hanya ada dua keadaan dalam hal aliran elektron, ada aliran dan tidak ada aliran, yang pertama disebut on dan yang akhir disebut off, ya atau tidak. Sehingga jika komputer digital mengambil peranan dalam komputerisasi dalam hal evaluasi, maka bentuk soal haruslah berwujud pilihan ganda (multiple choice). Nah, di sinilah masalah inti itu!

Bagaimana mungkin anak didik dapat dievaluasi kemampuannya dalam hal keterampilan dan sikap, beruhubung karena dengan cara pilihan ganda itu keterampilan dan sikap anak didik tidak mungkin dapat diobservasi. Paling-paling pilihan ganda itu hanya dapat mengobservasi kognisi anak-didik itupun hanya terbatas pada kemampuan yang kurang berarti, yaitu kemampuan memilih. Itupun tidak ada jaminan apakah betul anak-didik memilih bukan hanya sekadar menebak, menghitung kancing baju, atau menurut cara kampung mengikuti suara tokek. Dengan pilihan ganda sebagai alat evaluasi tidak mungkin anak didik dapat diobservasi dalam hal kemampuannya untuk menyusun pikiran yang sistematis dengan kaitan logis seperti menafsirkan, menyimpulkan, merangkum, berdialog, menganalisis dan membuat sintesa. Lebih celaka lagi jika evaluasi akhir sebagai penentu dipaksakan secara pilihan ganda karena ingin komputerisasi. Maka yang menjadi tujuan bukan lagi menurut apa yang di kurikulum, di TMA, di TIU dan TIK. Terjadi pergeseran nilai, teknologi dari alat menjadi tujuan. Dengan teknologi (baca komputerisasi) maka keterampilan dan sikap sama sekali luput dari evaluasi, mutu keterampilan dan akhlak luaran tidak dapat dijamin, hilanglah unsur pendidikan yang tertinggal hanya pengajaran yang kognitif, itupun hanya sekadar yang dapat diobservasi oleh pilihan ganda yaitu kemampuan memilih.

Ada makna strategis yang terkandung dalam TIU dan TIK itu, yang lebih dari sekadar hanya untuk evaluasi belaka. Makna strategis ini dapat disimak dari Rukun Islam yang pertama, Kalimah Syahadatain: Asyhadu an laa Ila-ha illa Lla-hu wa Asyhadu anna Muhammadan Rasuwlu Lla-h, diyakinkan di qalbu, dibenarkan dipikiran dan diucapkan oleh mulut. Ilmu itu tidak cukup hanya dengan disimpan dalam hati dan pikiran, melainkan harus pula dikomunikasikan keluar.

Alhasil, makna strategis dari TIU dan TIK itu, anak didik setelah selesai pendidikannya harus mampu mengkomunikasikan ilmunya kepada orang lain. Tanpa kemampuan mengkomunikasikan ilmunya orang itu tidak akan terpakai dan tidak berguna di masyarakat, ibarat pohon buah-buahan yang tidak berbuah. Komputerisasi dalam evaluasi di bidang pendidikan dengan pilihan ganda itu tidak akan mampu menghasilkan luaran yang komunikatif dan berakhlak. Komputerisasi tidaklah satu sistem dengan TIU dan TIK. Ini bukanlah hal yang temporer, melainkan menghunjam masuk ke dalam inti permasalahan pendidikan. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 20 Februari 1994