13 Februari 1994

116. Ru'yah atau Hisab?

Adapun kedua metode ru'yah dan hisab itu, sesungguhnya dikombinasikan penggunaannya baik oleh Ahlu rRu'yah, maupun Ahlu lHisab. Ahlu rRu'yah, sesuai petunjuk RasuluLah, terkadang menghisab dengan metode istikmal, menyempurnakan Sya'ban atau Ramadhan menjadi 30 hari, seperti yang dilakukan dalam penentuan 1 Ramadhan tahun 1414 H ini. Untuk dapat meru'yah (dari RaAY, melihat) para Ahlu rRu'yah sebelumnya harus menghisab dahulu, supaya dapat menentukan bilamana waktunya meru'yah. Untuk dapat menghisab (dari HaSaBa, menghitung) para Ahlu lHisab sebelumnya harus meru'yah posisi bulan dahulu, tanpa atau dengan bantuan instrumen. Alhasil, Ahlu rRu'yah menghisab dahulu, kemudian baru meru'yah sebagai upaya terakhir. Sedangkan Ahlu lHisab meru'yah dahulu, baru menghisab sebagai upaya terakhir. Yang menjadi masalah sekarang, yang mana di antara kedua metode itu yang lebih baik?

Pertanyaan itu tidak dapat dijawab dengan sikap black and white thinking. Maka sebelum menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan hitam putih itu, akan disodorkan sebuah ilustrasi sebagai bahan perbandingan. Einstein menghisab penyimpangan lintasan cahaya bintang akibat pengaruh medan gravitasi matahari. Hisab Einstein itu diujicoba dengan ru'yah Eddington cs pada waktu gerhana matahari total. Pada saat itu instrumen yang meru'yah cahaya bintang tidak silau oleh terangnya matahari, karena langit gelap di siang hari. Hasil ru'yah menunjukkan bahwa teori Einstein tentang adanya pengaruh medan gravitasi terhadap cahaya terbukti benar, namun hasil hisab dengan ru'yah tentang besarnya sudut penyimpangan itu terdapat sedikit perbedaan. Kalau pertanyaan yang sama dikemukakan dalam hal ini: Mana yang lebih tepat di antara ru'yah Eddington cs dengan hisab Eintein, maka jawabannyapun tetap sama: Tidak dapat dijawab dengan sikap black and white thinking.

Kebudayaan ummat manusia menetapkan International Date Line, yaitu batas hari berupa garis yang tetap. Bayangkan sebuah pulau yang dipotong IDL itu dua orang bertetangga yang satu rumahnya sebelah timur IDL dan yang satu lagi di sebelah barat IDL. Tetangga yang sebelah timur itu sudah merayakan tahun baru, sedangkan yang sebelah barat baru keesokan harinya. Setiap tahun penduduk pulau itu merayakan dua kali tahun baru. Bukan hanya setiap tahun ada perbedaan, bahkan setiap hari terjadi perbedaan hari. Kalau di sebelah timur IDL hari Ahad, maka yang di sebelah barat IDL baru hari Sabtu.

Seperti halnya IDL ada pula daerah perbatasan antara akhir Sya'ban (29 atau 30) dengan 1 Ramadhan. Artinya pada daerah itu matahari dan bulan bersamaan saat terbenamnya. Karena dilihat dari bumi gerak matahari lebih cepat dari bulan, maka sebelah barat daerah batas itu matahari sudah mendahului bulan di bawah ufuk, sehingga belahan bumi sebelah barat daerah batas itu sudah masuk 1 Ramadhan, sedangkan sebelah timur batas masih akhir Sya'ban, karena matahari masih di atas ufuk setelah bulan terbenam. Itulah penjelasannya mengapa Makkah misalnya lebih dahulu masuk 1 Ramadhan ketimbang Indonesia, apabila garis batas itu terletak di antara Makkah dengan Indonesia.

Ada perbedaan sifat antara IDL dengan daerah batas Sya'ban dengan Ramadhan, Ramadhan dengan Syawwal. Daerah batas antara akhir bulan dengan awal bulan berikutnya itu bergerak, karena batas itu dibina oleh posisi dan gerak matahari, bumi dan bulan. Setiap mathla' di globa ini akan mendapat giliran secara adil dilalui oleh garis batas itu. Dalam kenyataannya batas itu bukan berupa garis melainkan bidang. Mengapa? Dilihat dari metode hisab, tidak ada hasil hisab yang eksak. Dilhat dari segi ru'yah sukar ditentukan batas silau baik untuk mata maupun instrumen. Sebagai perbandingan adalah adanya batas antara (range) sekitar 10 menit antara imsak dengan subuh. Tidak dapat ditarik garis tajam batas subuh, begitu imsak, begitu subuh. Menurut pengalaman di Indonesia nilai ambang batas bulan dapat diru'yah ialah sekitar 4 derajat busur, artinya mata ataupun instrumen tidak silau lagi oleh sinar matahari, jika tinggi alHilal di ufuk barat sekitar 4 derajar setelah matahari terbenam. Itulah latar belakang mengapa batas itu tidak eksak sebagai garis, melainkan sebagai bidang.

Pada daerah di luar bidang batas itu akan terjadi kecocokan antara ru'yah dengan hisab. Pada belahan bumi yang di sebelah baratnya menurut hisab bulan sudah di atas ufuk pada waktu matahari terbenam dan dapat diru'yah. Pada belahan bumi yang di sebelah timurnya bulan belum dapat diru'yah dan menurut hisab bulan masih di bawah ufuk. Jadi bagi suatu negara yang cukup panjang dan memanjang dari barat ke timur, seperti Indonesia misalnya, jika dipotong oleh bidang batas itu, tidaklah mesti berpuasa dan berlebaran dalam satu hari yang sama. Di sebelah barat bidang batas itu yang terdapat kecocokan antara ru'yah dan hisab awal bulan sudah masuk, mereka berpuasa. Sedangkan di sebelah timur bidang batas itu yang terdapat kecocokan antara ru'yah dan hisab bulan baru belum masuk, mereka belum berpuasa. Tahun ini wilayah Indonesia berada di sebelah barat bidang batas permulaan Ramadhan, sehingga semuanya berpuasa pada hari Sabtu.

Dengan demikian tidaklah semestinya seluruh ummat Islam dalam suatu negara berpuasa dan berlebaran dalam hari yang sama, dan ini sama sekali tidak ada relevansinya dengan kesatuan ataupun Ukhuwwah Islamiyah, juga tidak ada korelasinya sama sekali dengan daerah territorial kenegaraan, oleh karena batas itu dibina oleh posisi kita di permukaan bumi, dibina oleh perputaran bumi pada sumbunya, gerak bulan mengorbit bumi dan gerak bumi mengorbit matahari.

Jelaslah pula tidaklah beralasan sama sekali adanya gagasan untuk menyatukan hari puasa ataupun lebaran bagi Indonesia, Malaysia dan Brunai Darussalam.

Lalu bagaimana yang di dalam bidang batas? Di dalam bidang batas inilah terdapat perbedaan antara ru'yah dengan hisab. Nah, kalau kita sedang berada dalam daerah bidang batas antara akhir dengan awal bulan, maka kita pulangkan ke qalbu (hati nurani) kita masing-masing, pilihan mana yang kita rasakan paling menenteramkan. Pilihan dengan tujuan untuk menenteramkan qalbu kita: liyuthmainna Qalby, yaitu ungkapan Nabi Ibrahim AS. Kalau bagi saya sendiri qalbu saya lebih tenteram jika memilih metode hisab.

*** Makassar, 13 Februari 1994