27 Februari 1994

118. Makna Puasa dalam Kebudayaan Ummat Manusia

Perang Uhud, pertempuran untuk mencegat pasukan kafir Quraisy yang bermaksud menyerang Madinah, adalah perang yang paling sengit di zaman RasuluLlah SAW. Hamzah, pamanda RasuluLlah SAW syahid dan RasuluLlah SAW luka dalam perang itu. Dalam perjalanan pulang ke Madinah ketika pasukan Islam sementara diistirahatkan, RasuluLlah SAW bersabda: "Kita baru saja melakukan Jihaadu lAshghar dan akan kita menghadapi lagi Jihaadu lAkbar". Dengan nada heran seorang sahabat bertanya: "Ya RasulaLlah, jika tadi di Bukit Uhud itu, pertempuran yang sesengit itu masih termasuk perang yang sangat kecil (ashghar = sangat kecil, bentuk isim tafdhiyl dari shaghiyr = kecil), maka musuh yang bagaimana hebatnya (akbar = sangat besar, dari bentuk kabiyr = besar) yang akan dihadapi nanti?" RasuluLlah SAW menjawab: Yaitu musuh yang senantiasa manusia hadapi, musuh yang ada dalam diri manusia."

Adapun musuh yang senantiasa kita hadapi yang ada dalam diri kita adalah naluri mempertahankan diri dan naluri meningkatkan kwalitas kehidupan material yang salah kiprah, yang disebut Al Hawa-. Itulah yang senantiasa bergesek dengan kekuatan ruhaniyah yaitu akal yang berdzikir dengan mekanisme qalb (hati nurani) dan berpikir dengan mekanisme otak, yang menjadi jati diri kemanusiaan. Kedua naluri mempertahankan dan meningkatkan itu sebenarnya perlu bagi manusia, namun tidak boleh salah kiprah, tidak boleh liar, harus dikendalikan oleh kekuatan ruhaniyah yaitu akal kita yang menjadi jati diri kemanusiaan itu. Al Hawa itu mendorong manusia untuk mencari makan dan minum serta nafsu sex untuk mempertahankan jenisnya. Ini harus dikendalikan oleh kekuatan ruhaniyah agar kita tidak menjadi rakus, tidak menjadi sex maniak, tidak menjadi pemangsa, yang walaupun sudah kenyang masih mau menerkam. Adapun naluri yang kedua, naluri meningkatkan kwalitas kehidupan material, itulah yang mendorong manusia untuk pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebagai bagian dari kebudayaan. Naluri inilah yang mendorong iradah manusia untuk memacu tiga sekawan: modal - industri - teknologi, ibarat roda yang berputar makin lama makin cepat.

Menurut SunnatuLlah tidak ada yang gratis bagi ummat manusia di bumi ini, semua ada harganya. Apa yang dicapai oleh ummat manusia sekarang dalam memenuhi hasrat nalurinya meningkatkan kwalitas kehidupan materialnya, yaitu berpacunya tiga sekawan itu makin lama makin cepat, akan Allah perlihatkan dalam abad ke-21 nanti: Liyuzhiyqahum ba'dha Lladziy 'Amiluw, diperlihatkan kepada mereka sebagian dari yang telah dikerjakannya. (S.Ar Ruwm,41).

Dalam seri 115 telah dikemukakan harga itu yang berjumlah 8 butir, dengan merujuk kepada Jay W. Forrester, Guru Besar Massachusetts Institute of Technology. Pada pokoknya ada dua harga dasar yang dipakai untuk membayar hasrat meningkatkan kwalitas kehidupan material itu, yakni pengurasan sumberdaya alam dan pencemaran. Dalam diskusi subuh yang pesertanya kebanyakan dosen-dosen senior Unhas di Mesjid Ikhtiar Kampus Baraya pada 4 Ramadhan yang baru lalu, yang topiknya oleh panitia diserahkan kepada saya, saya kemukakanlah kedua masalah yang menghadang kebudayaan ummat manusia dalam abad ke-21 nanti. Ada beberapa penyanggah yang tidak sependapat dengan saya, yaitu masih sangat menaruh harapan pada teknologi, bahwa kedua masalah itu dapat dipecahkan oleh teknologi dalam perkembangannya kelak. Sumberdaya alam yang non renewable yang penting-penting akan dapat didaur ulang kembali oleh teknologi, limbah industri semuanya dapat dibersihkan oleh teknologi, dan dengan teknologi canggih akan menghasilkan industri yang bersih (clean industries). Untuk mendaur ulang sumberdaya alam perlu energi, yang diperoleh dari pembakaran minyak dan batubara. Artinya pemecahan masalah sumberdaya alam dengan cara mendaur ulang harus dibayar dengan pencemaran termal dan radio aktif. Pencemaran termal itu diakibatkan gas buang CO2, suhu global menanjak, es di kutub mencair, air laut naik. Pencemaran radiasi dapat mencederai gen manusia oleh mutasi paksa, manusia akan mengalami degradasi biologis. Jelaslah pula takkan pernah ada yang disebut industri bersih, karena setiap industri memerlukan tenaga.

Berikut ini akan diberikan sebuah ilustrasi sumberdaya alam yang renewable, dapat diperbaharui kembali oleh TaqdiruLlah yang disebut daur hidrologis: menguap ke atas, turun kembali dalam wujud hujan, masuk ke dalam tanah menjadi air tanah (ground water) mengalir ke laut melalui sungai di atas tanah dan di dalam tanah. Jangan dikira kebutuhan akan air ini tidak membawa masalah. Naluri mempertahankan diri mencari air karena haus ini sekarang sudah menjadi masalah, akibat naluri ingin meningkatkan kwalitas kehidupan material.

Air untuk minum diperluas wawasannya untuk air minum bagi mesin-mesin pabrik industri. Pemakaian ground water untuk keperluan industri katakanlah di Jakarta misalnya menimbulkan masalah. Karena air tanah disedot maka air laut merembes masuk. Tiang-tiang pancang gedung-gedung bertingkat yang waktu dahulu masih belum dibungkus dengan lapisan yang tahan air laut, karena waktu itu pembangunan belum berwawasan lingkungan, dalam keadaan tidak berdaya terhadap infiltrasi air laut yang bergaram itu. Di Jakarta tidak kurang jumlahnya gedung-gedung bertingkat yang tiang-tiang pancangnya masih telanjang. Gedung-gedung tersebut dalam keadaan rawan menanti nasibnya akan ambruk insya Allah, karena tiang pancangnya dimakan air laut.

Alhasil, upaya untuk menyelamatkan kebudayaan ummat manusia dari kerusakan global, strateginya bukanlah ditujukan pada hasil yang berupa tiga sekawan itu, melainkan pada penyebabnya, yaitu hasrat naluri manusia yang ingin meningkatkan kwalitas kehidupan material yang tak ada puas-puasnya itu. Upaya penyelamatan itu terletak dalam hal kemampuan manusia untuk menahan dorongan Al Hawa- meningkatkan kehidupan material itu. Kemampuan itu hanya dapat diperoleh dengan jalan latihan yang intensif yaitu berpuasa. Ya-ayyuha Lladziyna A-manuw Kutiba 'Alaykumu shShiyaamu Kamaa Kutiba 'ala Llaziyna Min Qablikum La'allakum Tattaquwn (S. Al Baqarah, 2:183), artinya: Hai orang-orang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa, seperti telah dowajibkan atas mereka sebelum kamu, supaya kamu bertraqwa. WaLla-hu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 27 Februari 1994