16 Oktober 1994

149. Salah Dengar Karena Pesan Lisan, Sertakan Ayat Otentik Kitab Suci Bersama Terjemahannya

Pernah suatu hari tangan saya ditarik cucu saya ke depan televisi sambil mengatakan namanya disebutkan lagi dalam televisi, yang waktu itu sedang menyiarkan lagu-lagu. Memang cucu saya itu yang masih duduk di kelas nol besar TK ABA Cabang Tallo' biasa mendengarkan namanya disebut dalam warta berita, karena namanya Yasser Arafat. Selama ini apabila namanya disebut dalam warta berita, tidak pernah Yasser menarik tangan saya ke depan televisi, karena saya selalu menyempatkan diri mendengarkan warta berita. Demikian pula Yasser selalu tertarik pada warta berita yang disiarkan di luar jam tidurnya, karena ingin mendengar apakah namanya disebutkan lagi. Apa yang terjadi, bukanlah Yasser Arafat yang sedang menyanyi, melainkan nyanyian itu berjudul I swear, yang di telinga Yasser kedengarannya sebagai yasser.

Pada waktu perpeloncoan di Makassar ini tidak jarang kita dengar perintah kepada pelonco untuk kengkreng. Saya tetap memakai istilah pelonco ini oleh karena apapun istilah yang dipakai yang dipoles ataupun dikemas dengan beberapa peristilahan dari tahun ke tahun, pada hakekatnya tetaplah perpeloncoan. Istilah kengkreng berasal dari bahasa Belanda kikkeren, yang artinya berlaku seperti kikker (kodok), lompat katak. Kalau adil dari bahasa Arab menjadi adele' dalam bahasa Makassar, maka itu adalah penyesuaian lidah. Namun apabila kikkeren diubah menjadi kengkreng itu bukanlah penyesuaian lidah, melainkan salah dengar, akibat proses awal penyerapan kata asing itu berlangsung secara lisan, tak ubahnya seperti bunyi I swear yang didengar oleh cucu saya sebagai yasser.

Salah dengar I swear menjadi yasser wajar-wajar saja, karena yang salah dengar itu murid TK. Namun dalam proses lahirnya kengkreng karena salah dengar itu, sesungguhnya merupakan salah satu petunjuk kurangnya minat tulis-baca dalam lingkungan kampus. Maka eloklah kiranya diadakan penelitian seberapa jauh minat tulis-baca dalam kalangan masyarakat akademis kita.

***

Al Quran artinya yang dibaca. Ayat yang mula-mula diterima oleh RasuluLlah SAW, yaitu Iqra Bismi Rabbika, bacalah atas nama Maha Pengaturmu (S.Al'Alaq,1). Untuk dapat dibaca haruslah dituliskan, sehingga Al Quran disebut pula Al Kitab, artinya yang ditulis: Dza-lika lKita-bu La- Rayba fiyhi Hudan li lMuttaqiyna, itulah Al Kitab tak ada keraguan dalamnya petunjuk bagi orang-orang yang taqwa (S.AlBaqarah,2). Dalam teknis pelaksanaannya bagimana RasuluLlah mengkomunikasikan wahyu yang diterimanya kepada ummatnya, dapat kita simak dalam Hadits: "Janganlah kamu menulis tentang aku selain Al Quran, dan barang siapa yang menulis tentang aku selain Al Quran, maka hendaklah dihapusnya." Ada dua hal penting yang dapat disimak dari Hadits tersebut.

Pertama, larangan RasuluLlah untuk menuliskan dari beliau selain Al Quran, menghindarkan tercampurnya wahyu dengan ucapan RasuluLlah yang tidak bersumber dari wahyu. Dengan demikian tidak ada yang bukan wahyu yang diselipkan dalam Al Quran dan sebaliknya tidak ada wahyu yang diterima RasuluLlah yang luput dituliskan dalam Al Kitab.

Kedua, bahwa Al Quran itu dikomunikasikan kepada ummat secara tertulis, dengan demikian menghindarkan menyimpangnya pesan-pesan wahyu baik dari segi maknanya, maupun dari segi redaksionalnya, bahkan sampai kepada sistem ejaannya. Memang ada sebagian kecil ummat Islam penghafal Al Quran, namun mereka itupun tetap memerlukan Al Quran yang tertulis. Ustadz Drs H. Hasnawi Marjuni, guru Pesantren Putera Pendidikan Al Quran, IMMIM Tamalanrea, penghafal Al Quran, setiap hari menyediakan waktu khusus untuk upaya tetap dapat memelihara hafalannya, dan untuk itu ia memerlukan Al Quran yang tertulis.

Pesan yang disampaikan dapat pula berubah dari maknanya yang asal, apabila pesan itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Itulah sebabnya diharuskan jika orang menuliskan terjemahan ayat Al Quran, hendaklah senantiasa menyertakan kutipan ayat dalam wujud bahasa aslinya yang otentik, yaitu bahasa Al Quran. Hal ini sangat penting untuk dapat mengetahui apabila terjadi perubahan makna dalam terjemahan itu.

Seperti misalnya dalam terjemahan Al Quran yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Dengan segera tampak kesalahan terjemahan S. Baniy Isra-iyl,1: al Bashiyr diterjemahkan dengan Maha Mengetahui, semestinya Maha Melihat.
S.Al Anbiya-,33: Kullun fiy Falakin Yasbahuwna, diterjemahkan dengan masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. Terjemahan itu menambah materi, yaitu menyisipkan penggalan kalimat: dari keduanya itu. Yasbahuwna, bentuknya jama', sehingga fa'il (pelaku, subyek) jumlahnya tiga ke atas. Seperti diketahui dalam bahasa Arab terdapat 3 tingkat ordinal
dalam hal jumlah, yaitu: mufrad-mutsanna-jama', (tunggal, dual, jamak). Tidak seperti dalam bahasa-bahasa Indo-Jerman yang hanya mempunyai 2 tingkat: singular-plural (Inggeris), enkelvoud-meervoud (Belanda). Penambahan embel-embel sisipan dari keduanya itu dalam terjemahan, merupakan suatu kesalahan oleh karena 2 tidak termasuk dalam rentang (range) 3 ke atas. Tanpa menyertakan ayat yang asli pada terjemahan tidaklah akan dapat ketahui terjadinya penyisipan yang salah.

Hendaknya Departem Agama Republik Indonesia yang bertanggung jawab atas publikasi Al Quran dan Terjemahannya membetulkan terjemahan Al Bashiyr dan membuang sisipan dari keduanya itu! Menuliskan kutipan ayat sebaiknya dalam huruf aslinya. Namun jikalau terbentur dalam kesulitan teknis, maka dipakailah huruf Latin dengan mengikuti sistem ejaannya, seperti misalnya Dza-lika lKita-bu, bukan Dzalikal Kitabu.

*** Makassar, 16 Oktober 1994