5 Maret 1995

167. Beriman dan Beramal Shalih Menuju Taqwa, Apakah Tolok Ukur Keberhasilan Puasa?

Rasulullah SAW bersabda:
Man Sha-ma Ramadha-na Iyma-nan wa Htisa-ban Ghufira lahu ma- Taqaddama min Dzanbihi. Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan menghisab diri, maka diampuni dosanya yang telah liwat.

Berpuasa Ramadhan, berpuasa dengan sungguh-sungguh, yaitu atas landasan iman dan menghisab diri, introspeksi. Hasilnya mendapatkan anugerah Allah yang tidak sedikit: mendapatkan ampunan Allah, bersih dari dosa. Itu artinya meninggalkan bulan Ramadhan memasuki 1 Syawwal, kembali ke fithrah semula, 'IydulFithri. Inilah makna Hari Raya 'IydulFithri.

Ibadah puasa menjadi pembentuk jiwa yang ikhlas, penempa jujur dan perangai yang mulia, pengikis riya, pembersih dari semua akhlaq yang rendah. Bukankah ibadah puasa mengangkat derajat orang beriman ke derajat yang mulia yaitu derajat taqwa?

Ya-Ayyuha- Lladziyna A-manuw Kutiba 'Alaykumu shShiya-mu kama- Kutiba 'alay Lladziyna min Qablikum La'allakum Tataquwna. Hai orang-orang beriman, telah diwajibkan atasmu berpuasa, seperti telah diwajibkan atas mereka sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa (S.AlBaqarah,183).

Beriman itu penting tetapi belum cukup. Harus diikuti dengan beramal shalih. Dalam Al Quran kedua ungkapan itu disebut bergandengan: A-manuw wa 'Amilu shSha-liha-t, beriman dan beramal shalih (S.Al'Ashr,3; S.AtTiyn,6).

Beramal shalih yang paling pokok adalah Yuqiymuwna shShala-ta wa mimma- RazaqNa-hum Yunfiquwna, mendirikan shalat dan dari sebagian yang Kami rezekikan kepada mereka itu dinafakahkan (untuk fungsi sosial), [S.AlBaqarah,3].

Beriman saja tanpa beramal shalih tidak akan membuahkan taqwa. Beramal tanpa iman bukanlah beramal shalih. Keduanya harus seiring bergandengan beriman dan beramal shalih barulah dapat membuahkan derajat taqwa, derajat yang paling mulia disisi Allah.

Taqwa memberikan bekas di dalam jiwa. Taqwa melahirkan potensi sifat-sifat yang baik, yang dapat menumbuhkan kemampuan untuk mengendalikan diri dari segi negatifnya penguasaan dan perebutan serta ketamakan dalam bidang harta dan ekonomi. Taqwa menumbuhkan potensi mengendalikan diri dari kecenderungan pada demoralisasi. Taqwa mampu menghiasi tingkah laku menjadi indah dan sejuk dalam pergaulan sesama manusia.

Orang-orang bertaqwa disebut para Muttaqiyn. Mereka yang senantiasa memelihara Al Quran sebagai petunjuk baginya, di kala isme-isme: sekularisme, positivisme, modernisme dan post modernisme ingin unggul merebut pasaran. Mereka yang selalu sujud dan ingat kepada Allah di tengah-tengah arogansi intelektual dan kecongkakan pergaulan. Mereka yang senantiasa mensyukuri karunia ni'mat Ilahi dengan membayarkan zakatnya, mengeluarkan infaq dan sadaqahnya kepada kaum yang lemah, dhuafa, fukara dan masakin di tengah-tengah manusia tamak egois. Mereka yang senantiasa terpelihara dari segala macam malapetaka. Bukankah taqwa yang akar katanya dibentuk oleh huruf-huruf: waw, qaf, ya berarti terpelihara? Mereka inilah yang mendapat predikat Hudan min Rabbihim dan Muflihuwna, di atas jalur Petunjuk Maha Pengatur dan para pemenang (S.AlBaqarah,5)

***

Berakhirnya Ramadhan, bukanlah akhir dari perjuangan, bahkan kita akan menempuh perjuangan hidup sebelas bulan untuk tiba lagi dalam bulan Ramadhan berikutnya. Pada 1 Syawwal ibarat kita telah mendapatkan sertifikat selesai training, bukan ijazah. Hanya sekadar semacam sertifikat telah menjalani kursus Ramadhan, yang tidak menjamin apakah kursus Ramadhan kita telah berhasil menjadikan kita manusia yang berkualitas. Apakah kita telah berhasil? Apa tolok ukurnya?

Allah telah memberikan tolok ukur kelulusan dalam kursus Ramadhan. Dalam ayat terakhir dari paket 8 ayat tentang puasa Ramadhan, Allah berfirman:
Wa la- Ta'kuluw Amwa-lakum Baynakum bi lBa-thili wa Tudluw biha ilay lHukka-mi li Ta'kuluw Fariyqan min Amwa-li nNasi bi lItsmi wa Antum Ta'lamuwna. Dan janganlah kamu makan harta benda di antara kamu sekalian dengan jalan bathil. Bahkan kamu membawanya kehadapan hakim untuk dapat melahap sebahagian dari harta benda orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahuinya (S. AlBaqarah, 188).

Itulah tolok ukur dalam menilai hasil puasa kita yang baru saja selesai, untuk perjuangan hidup sebelas bulan mendatang mengendalikan nafsun ammarah. Yaitu tidak melahap harta orang lain dengan jalan bathil melalui pengadilan. Seumpama tanah ulayat, tanah yang diwarisi turun temurun oleh sekelompok masyarakat secara adat. Mereka tidak memiliki sertifikat atas tanah itu. Developer yang jeli matanya melihat bahwa tanah itu bagus untuk lapangan golf, ataupun kawasan pariwisata, berkolusi dengan oknum pejabat birokrat sehingga mendapatkan dokumen resmi formal normatif atas tanah ulayat itu. Terjadilah sengketa tanah antara masyarakat pemilik tanah ulayat dengan pemegang dokumen resmi. Dibawalah ke pengadilan. Di pengadilan kedudukan masyarakat lemah secara hukum, ibarat berebut badik, masyarakat memegang mata badik, pemegang dokumen resmi memegang gagangnya.

Maka dimusnahkanlah tanaman sayur-sayuran, kebun-kebun dibuldozer, para petani digusur dan kebun-kebun menjadilah lapangan golf. Maka berdirilah fasilitas-fasilitas pariwisata milik pribadi oknum pejabat atau keluarganya sebagai persiapan pensiun. Inilah proses secara modern dalam teknik menguasai tanah. Inilah yang disebut makan harta orang lain dengan jalan bathil melalui pengadilan, padahal ia mengetahui bahwa itu perbuatan dosa.

***

Hari Jum'at 1 Syawwal 1415 H. ummat Islam ber'IydulFithri. Mereka berhari raya, merayakan kemenangan yang telah dicapai. Hari raya ini bukan harinya orang yang mampu berbaju baru, berperabot baru. Tetapi hari raya ini bagi semuanya, yang menang dalam perjuangan sebulan lamanya, berpuasa Ramadhan secara bersungguh-sungguh. Mereka inilah yang menikmati 'IydulFithri. Mereka inilah yang telah mempunyai kemampuan menaburkan kegembiraan dan kebahagiaan di perladangan hidup ini. WaLlahu a'lamu bishshawab

*** Makassar, 5 Maret 1995