Dalam proses penyidikan para tersangka peristiwa pembunuhan biadab Karunrung terjadi silang kata antara penyidik dengan penasihat hukum (PH). Ini dapat kita baca dalam Harian FAJAR edisi 13/7 dan 14/7 pada halaman satu dengan judul berita berturut-turut: PH Dinilai Terlalu Banyak Mengintervensi dan PH Merasa Tak Pernah Intervensi. Kita tidak akan membicarakan siapa yang benar di antara kedua belah pihak, oleh karena keduanya tentu merasa benar menurut fisi mereka masing-masing. Yang menjadi perhatian bagi kita ialah bahwa silang kata antara PH dengan penyidik menunjukkan bahwa para tersangka peristiwa biadab Karunrung sangat diperhatikan hak asasinya. Karena memang menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) para tersangka berhak didampingi oleh PH dalam penyidikan dan terdakwa berhak mendapatkan PH untuk membelanya di pengadilan. Demikianlah para tersangka dalam kasus biadab Karunrung mendapatkan hak itu dalam tahap penyidikan.
Maka demi keadilan apakah tidak patut apabila dalam KUHAP termuat pula aturan yang menyangkut hak asasi korban, ataupun hak asasi ahli waris korban yang terbunuh? Apakah tidak perlu diperluas cakrawala pemahaman keluar menembus bingkai pidana murni? Apakah sudah cukup jika jaksa hanya sekadar mewakili negara menuntut terdakwa karena bersalah terhadap negara yaitu melanggar undang-undang? Apakah tidak patut jika korban atau ahli waris korban yang terbunuh ikut pula menentukan untuk menerima atau naik banding atas putusan hakim?
Ada hal yang dapat disimak dari film seri Kassandra dan Dark Justice, yaitu korban tidak dilecehkan hak asasinya. Pada Kassandra saksi pelapor yaitu saudara yang terbunuh berhak didampingi seorang pengacara. Dan pengacara saksi pelapor itu merupakan satu tim dengan jaksa baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Pada Dark Justice secara tersirat korban tidaklah dilecehkan. Yaitu sang hakim apabila mempunyai keyakinan bahwa terdakwa memang bersalah, akan tetapi karena bukti material tidak cukup sehingga tidak dapat dijaring oleh sistem formal yang berasaskan praduga tak bersalah, maka dia selesaikan di luar sistem formal. Menjadilah ia hakim ganda, hakim di dalam maupun di luar sistem formal. Di luar sistem formal sang hakim menciptakan sendiri sistem informal di mana ia bertindak menjadi hakim sendiri, merangkap polisi (penyidik dan penyelidik), merangkap jaksa, merangkap eksekutor. Sistem informal ciptaan sang hakim mirip dengan sistem peradilan formal satu atap dalam film seri Judge Bao (tayangan RCTI), atau Justice Bao (tayangan TPI), di mana lembaga peradilan, lembaga kejaksaan, lembaga penyidik dan penyelidik di bawah satu atap. Dalam film Judge Bao dapat pula kita lihat korban sangat diperhatikan oleh sistem.
Saya juga telah menonton sebuah film, kejadiannya dalam cerita di Amerika Latin. Judul film saya sudah lupa karena telah lama berselang saya menyaksikannya. Ceritanya sebuah kelompok eksekutor yang dibentuk oleh para orang tua yang anak-anaknya menjadi korban narkotika. Semacam kelompok penembak misterius yang mengeksekusi para terdakwa gembong narkotika yang dengan susah payah telah ditangkap oleh polisi, tetapi tak dapat dijaring oleh sistem peradilan formal. Terjadi saling pengertian antara kepolisian dengan kelompok eksekutor itu. Gembong narkotika yang dibebaskan oleh pengadilan dilepas dalam daerah yang telah dibersihkan oleh kepolisian dari kontrol sindikat itu. Maka dengan mudahnya kelompok eksekutor itu mengeksekusi gembong narkotika dengan para penjemputnya. Setelah secara formal polisi mengadakan penyelidikan, maka secara resmi dinyatakan sebagai bentrokan antar-gang.
Itu di dalam film, itu dalam imajinasi. Akan tetapi dalam kenyataannya lain. Awal tahun 1991 dalam Pos Kota dimuat sebuah peristiwa tragik. Seorang ibu berteriak histeris dalam ruang sidang pengadilan Jakarta Timur, sebagai reaksi spontan yang direnggut rasa keadilannya oleh lembaga peradilan tersebut. Anaknya yang bernama Kalvin diculik kemudian dibunuh dan mayatnya dibuang di belakang lapangan golf Rawamangun. Terdakwa dan jaksa menerima vonis hakim satu tahun buat pembunuh. Orang tua Kalvin tidak punya upaya hukum untuk memprotes hukuman yang ringan itu.
Posisi ahli waris korban hanya sekadar sebagai saksi, tidak lebih dari itu. KUHAP kita menaruh korban atau ahli waris korban di luar garis. KUHAP kita mencuekkan hak asasi korban atau ahli waris korban. KUHAP kita hanya memperhatikan hak asasi tersangka dan terdakwa. Sistem peradilan dalam film Kassandra yang tidak mencuekkan korban sangat patut untuk ditiru. Atau sekurang-kurangnya KUHAP memuat ketentuan sebelum jaksa akan menerima keputusan hakim, jaksa diwajibkan bicara dahulu dengan saksi korban atau ahli waris korban, mau menerima atau naik banding. Atau secara administratifnya jaksa dan korban atau ahli waris korban bertanda tangan bersama-sama, menerima atau naik banding. Motivasi korban atau ahli waris korban untuk menjadi hakim sendiri dapat diredam.
Dalam Hukum Islam korban atau ahli waris korban sangat diperhatikan. Hukum Qishash (pembalasan) seperti tercantum dalam Al Quran hanya dapat diubah, diringankan ataupun dibatalkan oleh korban atau ahli waris korban, bukan oleh institusi kenegaraan. Masih segar dalam ingatan kita kasus Zulfiqar Ali Bhutto terpidana mati karena pembunuhan. Presiden Ziaul Haq tidak dapat membatalkan hukuman matinya, karena ahli waris korban tidak bersedia mengampuni Ali Bhutto, walaupun dari seluruh dunia berdatangan permintaan kepada Presiden Pakistan itu agar kepada Ali Bhutto diberikan grasi. Kalau terpidana mendapat ampunan dari korban atau ahli waris korban (2:178), 'Ufiyalahu (S.AlBaqarah,178), korban atau ahli waris korban bersedekah melepaskan hak qishashnya (5:45), Tashaddaqa bihi (S.AlMa-idah,45), maka terpidana luput dari Hukum Qishash. WaLla-hu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 18 Juni 1995