3 September 1995

192. Yang Lucu-Lucu

Pada malam Sabtu yang lalu Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Cabang Tallo' menyelenggarakan peringatan maulud Nabi Muhammad SAW bertempat di masjid Syura. Pembawa acara sekali-sekali menyisipkan ilustrasi yang lucu dalam ceramahnya. Seperti misalnya ketika ia mengemukakan pentingnya shalat berjama'ah, dikatakannya apabila tidak sempat shalat berjama'ah di masjid, maka shalatlah mengimami keluarga yang sedang ada di rumah. Shalat berjama'ah dengan isteri dan anak-anak sungguh sangat bagus efeknya dalam membina keluarga sakinah. Akan tetapi ibu-ibu harus hati-hati mengamini doa para suami setelah shalat. Hendaknya meminta kepada suaminya agar menyuarakan doanya hingga jelas kedengaran. Jangan sampai mengamini doa suami yang berbunyi: "Ya Allah tambahlah rezekiku hingga aku dapat beristeri lagi."

Karena saya duduk bersandar pada dinding barat masjid mengarah ke timur berhadapan dengan para hadirin, saya sempat memperhatikan bahwa ada yang menganggapnya lucu, namun ada pula yang tidak bereaksi apa-apa. Demikianlah sesuatu itu lucu atau tidak tergantung dari selera masing-masing.

***

Pada malam sebelumnya, yaitu malam Jum'at, saya bersama isteri naik taksi untuk berta'ziyah. Sudah beberapa bulan ini saya sudah tidak berminat lagi menyupir sendiri di malam hari, karena persepsi saya mengenai ruang sudah tidak akurat lagi di waktu lampu-lampu jalanan dan kendaraan bermotor mulai menyala terang-benderang. Tepat di samping Bamboden lampu merah menyala, taxi berhenti bersebelahan truk pengangkut sampah Pemda. Karena saya tidak suka AC taxi dinyalakan, maka sejak berangkat dari rumah kaca jendela taxi diturunkan, sehingga masuklah menyengat bau sampah menusuk hidung yang berasal dari sampah yang sedang dikais dari tempat sampah Bamboden masuk ke dalam truk pengangkut sampah Pemda. Walaupun kaca taxi dinaikkan, namun proses gerak menutup kaca mengambil waktu, maka terjadilah balapan antara gerak menutup kaca dengan serbuan masuk bau busuk sampah. Maka terperangkaplah bau busuk di dalam taxi. Siapapun akan jengkel jika ruang yang ditempatinya menjadi perangkap bau busuk. Rasa jengkel itu tidak saya tujukan kepada karyawan Pemda yang mengais sampah itu, karena mereka itu hanya melaksanakan tugas untuk kebersihan, salah satu di antara Sapta Tertib yang dicanangkan Walikota. Rasa jengkel itu saya tujukan kepada Bamboden yang menjadi sumber polusi itu.

Dalam situasi kejengkelan itu tiba-tiba supir taxi berucap:

  • Lucu Pak.
  • Apanya yang lucu, saya cepat menyela.
  • Itu pak, mestinya Pemda yang memberi contoh tentang Tertib Lalu Lintas, ini malahan truknya memacetkan jalur kiri.
  • Kau tahu apa itu Sapta Tertib?
  • Tahu Pak, tetapi tidak hapal semua. Yang saya hafal betul dua di antaranya yaitu tertib tentang kebersihan dan lalu lintas.
Lampu hijau menyala, kami mulai bergerak ke barat. Sementara taxi melaju dalam hati saya berkata, bahwa sopir itu tergolong waga kota yang baik, ia sudah tahu apa itu Sapta Tertib. Kejadian yang baru saja berlangsung itu menunjukkan kepada kita bahwa apa yang dikatakan lucu itu tidaklah semuanya menggelikan, tetapi ada kelucuan yang menjengkelkan.

***

Pada zaman jahiliyah orang-orang Arab menyembah sejumlah patung-patung berhala. Ada berhala yang bertaraf inter-qabilah, disembah oleh seluruh qabilah penyembah berhala. Ada pula berhala yang hanya bertaraf nasional, yang disembah oleh qabilah Quraisy. Ada pula berhala harian, semuanya mendapat giliran disembah dalam satu tahun, karena setiap berhala harian itu disembah bergilir setiap hari sepanjang tahun. Ada pula berhala khusus untuk keluarga dalam sebuah rumah. Berhala keluarga ini ada yang terbuat dari tepung dan kurma, jadi dapat dimakan. Dan betul-betul berhala ini dimakan jika dalam keadaan paceklik.

Pernah suatu waktu Khalifah 'Umar ibn Khattab RA dipergoki tertawa sendirian oleh seorang sahabat. Maka bertanyalah sahabat itu:
- Hai 'Umar, mengapa tertawa sendrian, ada apa gerangan?
'Umar menjawab:
- Saya teringat zaman jahiliyah. Saya tertawa sendirian itu, karena sedang membayangkan bagaimana mempreteli patung berhala untuk dimakan. Saya mulai dengan mencungkil matanya yang dari kurma itu. Kemudian saya mengiris telinganya. Bukankah itu lucu? Alangkah jahilnya kita waktu itu.

***

Ada seorang yang bernama Azar. Dia itu pemahat patung berhala. Ia mempunyai seorang anak namanya Ibrahim, yang kelak diangkat Allah SWT menjadi salah seorang Nabi dan Rasul. Semasa remajanya, sebelum menjadi nabi, Ibrahim sudah giat memperingatkan Azar dan kaumnya supaya berhenti menyembah berhala.

Wa Idzqa-la Ibrahiymu Liabiyhi Azara Atattakhidzu Ashna-man Alihatan Inny Ara-ka wa Qawmaka fiy Dhala-lin Mubiynin (S.Al An'a-m 74), dan ingatlah tatkala Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar: Mengapa engkau mengambil berhala menjadi Tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata (6:74).

Suatu hari ketika rumah berhala ditinggalkan kosong karena semuanya pergi ke tempat pesta, Ibrahim masuk kedalamnya dan merusakkan patung-patung berhala. Hanya patung berhala yang paling besar yang dibiarkannya utuh. Setelah orang banyak menyaksikan kerusakan patung-patung itu, mereka terus berkesimpulan bahwa itu adalah ulah Ibrahim.

Qa-luw Sami'na- Fatan Yadzkuruhum Yuqa-lu Lahu Ibra-hiymu (S.Al Anbiya-u, 60), mereka berkata kami dengar seorang pemuda yang mencela tuhan kita namanya Ibrahim (21:60).

Setelah Ibrahim dipanggil diperhadapkan kepada orang banyak, terjadilah dialog yang lucu.

Qa-luw Aanta Fa'alta Hadza- Bialihatina- Ya- Ibra-hiymu. Qa-la Bal Fa'alahu Kabiyrahum Hadza- Fasaluwhum in Ka-nuw Yanthiquwna (S.Al Anbya-u 62-63). (Mereka) berkata: Engkaukah yang berbuat ini terhadap tuhan kami, hai Ibrahim? Jawab (Ibrahim): Justru yang berbuat ialah patung yang besar ini, tanyakanlah kepada berhala-berhala itu jika mereka dapat berbicara (21:62-63). WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 3 September 1995