17 September 1995

194. Oposisi atau Pressure Group?

Menurut Dictionary of Social Science, opposition berarti: a category of social processes including both competition and conflict, in which groups of people are essentially antagonistic to each other, and seek to destroy, subordinate, or thwart each other.

Pressure berarti: any means of trying to influence of others by informal or extra-institutional methods.

Yang manakah di antara keduanya: oposisi atau pressure group menurut pengertian di atas itu yang sinkron dengan sistem mekanisme pembangunan dalam Negara Republik Indonesia? Untuk itu maka berikut ini disajikan sistem mekanisme pembangunan:

UUD-1945 sebagai sumber hukum yang tertinggi adalah masukan rujukan (reference input) ke dalam proses yang berwujud Sidang Umum MPR. Luaran SU MPR antara lain adalah GBHN. Pola Pembangunan Lima Tahun dalam GBHN dijabarkan berwujud Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Karena Repelita ini adalah rencana, maka tidak berwujud UU, melainkan dalam wujud Kepres, sehingga mudah diubah kalau perlu. Namun demikian setiap tahun dari Repelita itu berwujud undang-undang, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang menjadi rujukan pembangunan.

Selanjutanya hasil-hasil pembangunan ini diumpan balik ke rujukan GBHN yang berwujud Pertanggung-jawaban Presiden, sekali dalam lima tahun. Apabila dalam selang waktu lima tahun itu DPR melihat bahwa Presiden dalam proses pembangunan sungguh-sungguh menyimpang dari rujukan GBHN, maka DPR dapat mengundang anggota MPR lainnya untuk Sidang Istimewa. Dalam Sidang Istimewa itu MPR dapat mencabut mandat yang telah diberikannya kepada Presiden dalam Sidang Umum sebelumnya.

Adapun umpan balik yang kedua, ialah hasil-hasil pembangunan diumpankan langsung ke UUD-1945, yang pada hakekatnya adalah penilaian atas MPR oleh rakyat yang memilihnya melalui Pemilihan Umum. Jika rakyat menilai bahwa hasil pembangunan menyimpang dari rujukan UUD-1945, maka rakyat yang sadar tidak akan memilih lagi wakilnya yang pernah dipilihnya dahulu.

Demikianlah, maka ada tiga gelanggang percaturan pendapat: SU MPR, Pemerintah dengan DPR dalam dalam proses membuat undang-undang dan dalam proses pembangunan. Dalam percaturan pendapat itu diusahakan secara maximal musyawarah mufakat (aklamasi), yaitu untuk menghindarkan tirani mayoritas. Akan tetapi jika waktunya sudah tidak memungkinkan lagi, karena SU MPR dibingkai oleh jadwal, sedangkan musyawarah mufakat belum tercapai, maka diadakanlah voting (sesuai dengan psl.37 UUD-1945). Ini untuk menghindarkan tirani minoritas.

Jelaslah bahwa oposisi seperti pengertian yang di atas itu tidak sinkron dengan sistem mekanisme pembangunan. Adapun pressure group dalam prakteknya dapat sinkron sehingga dapat menjadi sub-sistem dalam mekanisme pembangunan. Aktivitas bersuara pressure group berbanding terbalik dengan aktivitas bersuara DPR. Apabila mekanisme recall dihilangkan, maka DPR insya Allah akan dapat mengimbangi aktivitas pressure group.

Berikut ini dikemukakan beberapa aktivitas pressure group. Karena adanya tekanan pressure group dari masyarakat, maka pelaksanaan UU-Lalu Lintas ditunda satu tahun. Penundaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Dalam proses pembangunan tentu masih segar dalam ingatan kita tentang pressure group yang terdiri dari para alim ulama. Pertama, demonstrasi sejuk dari para alim ulama dalam wujud berdoa di luar gedung DPR. Hasilnya, eksekutif tidak memperpanjang lagi izin SDSB. Menurut KH Hasan Basri, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), demonstrasi atau unjuk rasa dibolehkan, asal selama menyatakan sikap dibarengi dengan sikap santun dan tahu tata-krama. Kedua, tanggapan para alim ulama terhadap gebrakan Silalahi yang pertama, yaitu dampaknya penambahan jam belajar akibat pengurangan hari belajar menjadi 5 hari terhadap anak didik. Suara alim ulama ini didengar, Presiden memerintahkan agar ujicoba dihentikan. Ketiga, tanggapan alim ulama terhadap gebrakan Silalahi yang kedua: rencana penarikan guru PNS di Sekolah Swasta. 68 orang ulama Jawa Timur mengeluhkan hal itu kepada Presiden. Alim ulama itu menyatakan keprihatinannya akan banyaknya lembaga pendidikan swasta yang akan gulung tikar. Maka Presiden memerintahkan untuk meninjau kembali rencana Silalahi itu.

Alim ulama itu mempunyai dimensi ataupun cakrawala yang lebih luas ketimbang pemikiran satu dimensi, yang hanya memikirkan soal uang saja. Alim ulama kita itu pemikirannya menjangkau ke arah terjadinya hambatan oleh rencana Silalahi itu terhadap salah satu tujuan nasional dalam alinea keempat UUD-1945: mencerdaskan kehidupan bangsa. Jangkauan cakrawala pemikiran para ulama yang lebih luas itu adalah wajar, oleh karena Al 'Ulama-u Waratsatu lAnbiya-i, ulama adalah pewaris para Nabi. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 17 September 1995