24 September 1995

195. Disekitar Kelahiran PCPP dan Gayung Bersambut Untuk Sarwono Kusumaatmaja

"Cuma yang saya pertanyakan apakah relevan kalau menggunakan istilah cendekiawan pada organisasi itu," demikian antara lain omongan Sarwono Kusumaatmaja," setelah ia menghadiri rapat kerja dengan Komisi X DPR RI baru-baru ini. Omongan itu diomongkannya dalam menanggapi penggunaan istilah cendekiawan pada Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan pada sebuah organisasi cendekiawan yang bakal lahir, yaitu Persatuan Cendekiawan Pembangunan Pancasila (PCPP). Selanjutnya Meneg Lingkungan Hidup itu beromong pula: "Kalau kita menggunakan istilah cendekiawan, seolah-olah yang berkumpul di organisasi itu merasa paling cendekiawan. Yang benar aja."

Tanpa melihat pada data statistik yang akurat kita berani mengatakan bahwa ummat Islam di Indonesia ini kebanyakan menempati posisi pinggiran (marginal). Untuk mengangkat harakat mereka itu baik dari segi kesejahteraan maupun dari segi kecerdasan perlu penanganan khusus. Organisasi-organisasi ummat Islam antara lain seperti Muhammadiyah, NU, ICMI didirikan oleh kaum Muslimin Indonesia untuk beramal shalih menjawab tantangan itu, sebagai mitra pemerintah dalam upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dua di antara empat Tujuan Nasional seperti tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Ada pula yang mensinyaler bahwa terdapat erosi nasionalisme khususnya di kalangan remaja kita. Boleh jadi kelahiran PCPP dimotivasi oleh adanya erosi kebangsaan ini, dan ingin pula menjadi mitra pemerintah untuk menanggulanginya.

***

Gayung bersambut untuk Sarwono saya mulai dengan mengubah sedikit omongannya: "Cuma yang saya pertanyakan apakah relevan kalau menggunakan istilah ulama pada organisasi itu. Kalau kita menggunakan istilah ulama, seolah-olah yang berkumpul di organisasi itu merasa paling ulama. Yang benar aja." Saya pikir para ulama kita yang merupakan Waratsatu lAnbiyai yang tergabung dalam Nahdhatu l'Ulama, ataupun dalam Majelis Ulama Indonesia sangat terjauh dari merasa paling ulama.

Memang ada perbedaan antara cendekiawan dengan ulama. Yang pertama hanya dalam bidang pengkajian ayat Kawniyah, sedangkan yang kedua dalam bidang pengkajian ayat Qawliyah dan ayat Kawniyah dengan pembobotan pada bidang pengkajian ayat Qawliyah. Namun dalam hal sifat dan sikap ada persamaan. Tidak semua lulusan perguruan tinggi adalah cendekiawan, demikian pula tidak semua luaran pesantren ataupun IAIN berpredikat ulama. Baik cendekiawan maupun ulama sifatnya berupa pengakuan masyarakat. Dalam hal sikap, baik cendekiawan maupun ulama bersikap menerima pengakuan itu dengan rendah hati (low profile) terjauh dari sikap pongah (arogan).

Apakah sesungguhnya kriteria seorang cendekiawan? Itu dapat kita baca dalam Al Quran:

Yatafakkaruwna fiy Khalqi sSamawati wa lArdhi (S. Ali 'Imra-n 191), memikirkan seluk beluk terciptanya sejumlah langit dan bumi (3:191).

Cendekiawan yang berpikir berarti melaksanakan perintah: Iqra. Menjadi cendekiawan saja belumlah cukup, karena belum melaksanakan perintah Allah secara utuh: Iqra Bismi Rabbika. Bagian ayat yang telah dikutip di atas itu didahului oleh:

Alladziyna Yadzkuruwna Llaha Qiya-man wa Quuwdan wa 'alay Junuwbihim, yaitu yang berzikir kepada Allah (dzikruLlah) dalam keadaan tegak, duduk dan berbaring.

Maka dalam skala prioritas harus muslim dahulu untuk berzikir barulah cendekiawan yang berpikir. Sesuai hukum DM dalam bahasa Indonesia, seyogianya dalam rangkaian kedua kata itu muslim dahulu baru cendekiawan: Muslim Cendekiawan. Inilah yang disebut dengan predikat Ulu lAlbab, yang melaksanakan perintah Iqra Bismi Rabbika, yaitu dalam mengkaji ayat Kawniyah tidak melepaskan diri dari ayat Qawliyah, memakai pendekatan Satu Kutub dalam meng-ilmu. Maka hasilnya adalah kesadaran seperti yang dinyatakan dalam penutup ayat (3:191):

Rabbana- Ma- Khalaqta Hadza Ba-thilan Subhanaka faQina- 'Adz-ba nNa-ri, wahai Maha Pengatur kami, tidaklah Engkau ciptakan semuanya ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka jauhkanlah kami dari siksaan neraka.

Adapun berzikir kepada Allah ada tiga jenis, pertama berzikir secara lisan, seperti mengucapkan: tasbih, tahmid, takbir, tahlil, tamjid dll. Berzikir dengan lisan ini yang paling rendah nilainya. Kedua berzikir dengan hati. Zikir jenis yang kedua ini mempunyai tiga bentuk yaitu mengingat dalil-dalil Dzat dan Sifat Allah, selanjutnya mengingat dalil-dalil taklif berupa perintah, larangan, janji dan ancaman, berusaha keras untuk memahami hikmah dan rahasianya sehingga menjadi mudah melakukan perbuatan taat dan meninggalkan perbuatan maksiyat, kemudian akhirnya mengingat rahasia seluruh makhluk Allah SWT sehingga setiap bagian yang terkecil akan mampu olehnya dijadikan cermin untuk menampak alam ghaib dengan mata hati. Inilah derajat zikir yang tidak berujung dan tidak bertepi. Jenis zikir yang ketiga adalah berzikir dengan jasmani yaitu memanfaatkan seluruh anggota tubuh untuk beramal shalih. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 24 September 1995