15 Oktober 1995

198. Gunung Es

Lilin beku tenggelam dalam lilin cair. Inilah sifat zat pada umumnya, zat yang beku tenggelam dalam zat serupa yang cair. Seperti telah dijelaskan dalam Seri 013 tidak demikian halnya dengan air. Air beku (baca es) timbul pada air cair (baca air). Demikianlah air diciptakan Allah dengan sifat yang tidak normal. Dalam ilmu fisika disebut sifat anomali dari air. Dengan sifat anomali itu Allah memelihara binatang-binatang air di tempat-tempat yang bermusim dingin. Jika lilin cair membeku maka pembekuan itu dari bawah ke atas oleh karena lilin beku tenggelam dalam lilin cair. Pada air proses pembekuan itu mulai dari atas ke bawah karena air beku timbul pada air cair. Sampai pada ketebalan tertentu suhu dingin tidak dapat lagi menembus lapisan es yang tebal, sehingga air tidak membeku di bawah lapisan es yang tebal. Maka terpeliharalah binatang-binatang air di musim dingin.

Gunung es mempunyai makna dalam sosiologi. Berat jenis es 0.9, yang berarti gunung es yang mengapung sembilan bagian yang tenggelam dan satu bagian yang timbul. Dalam sosiologi utamanya mengenai bahaya yang mengancam masyarakat, bagian gunung es yang di bawah air itu dipakailah ungkapan latent, tersembunyi. Seperti misalnya: Organisasi tanpa bentuk (OTB) dalam wujud komunisme gaya baru (KGB) merupakan bahaya latent ibarat gunung es. Kalau gunung es yang tersembunyi dalam air tetap besarnya, maka dalam hal sosiologi tidaklah dapat diketahui berapa banyak bagian yang terpendam dan yang tersembul. Lagi pula senantiasa dalam keadaan dinamis antara kuantitas fraksi yang tersembunyi dengan yang nyata. Dalam tawuran yang dapat diindera misalnya tidaklah diketahui berapa banyak yang terpendam penyebab tawuran itu. Keadaan lingkungan sangat mempengaruhi tinggi rendahnya perbandingan kuantitas yang nampak dengan yang tersembunyi dalam masyarakat, seperti keadaan hiruk-pikuk (crowding), kerumunan, lapangan kerja yang sulit, keadaan yang tidak menentu dan persaingan sengit.

Yang akan saya bahas selanjutnya adalah kondisi yang dapat menurunkan intensitas tawuran pelajar dan mahasiswa. Atau dengan perkataan lain memperkecil kuantitas fraksi yang tersembunyi dari penyebab tawuran. Sangatlah dikenal ungkapan proses belajar mengajar. Dalam ungkapan itu tidak ada sama sekali kata kunci yang sangat penting: pendidikan. Ungkapan menunjukkan pola pikir. Ungkapan proses belajar mengajar menunjukkan pola pikir yang kurang menekankan pada pendidikan. Memang secara teori dikatakan bahwa suatu kurikulum yang bulat dan utuh haruslah mengandung: pengetahuan, keterampilan dan sikap. Mentransfer pengetahuan dan keterampilan itulah yang pengajaran, sedangkan mentransfer yang akan membuahkan sikap, yaitu meneruskan pesan nilai-nilai, itulah yang pendidikan. Akan tetapi dengan ungkapan proses belajar mengajar maka pola pikir itu bobotnya hanya diarahkan pada pada pengajaran: kognisi dan psikomotorik, yang diukur dengan Index Prestasi. Pola pikir yang demikian kuranglah mengacuhkan pendidikan.

Dalam penjabaran kurikulum seharusnyalah kognisi dan psikomotorik itu bermuatan pesan-pesan nilai. Kurikulum yang dijabarkan dalam silabus, TIU ke TIK, tidak boleh mengabaikan nilai yang akan membentuk sikap dan watak anak didik. Tidak terkecuali tentang sikap yang dimulai mencintai alma mater, meningkat kepada mencintai sesama manusia dan seterusnya mencintai Allah dan RasulNya. Mahasiswa yang mencintai alma maternya akan menghormati dan menjaga serta memelihara baik-baik nama dan kehormatan alma maternya itu.

Walhasil, ungkapan proses belajar mengajar harus diperbaiki, dengan memasukkan ke dalamnya kata kunci pendidikan. Lalu menjadilah ia dengan ungkapan mendidik dalam proses belajar mengajar. Suatu pekerjaan rumah bagi para pendidik, yang tentu saja bukan hanya dalam ruang lingkup pendidikan tinggi, melainkan dalam ruang lingkup yang lebih luas, mulai dari pendidikan taman kanak-kanak, sampai dengan pendidikan tinggi.

Hal yang serupa terlihat dalam hal Da'wah Islamiyah, yang bobotnya hanya difokuskan pada yang kognisi, mentransfer pengetahuan tentang keIslaman. Contohnya mengenai shalat. Pengetahuan mengenai shalat yang betul menurut fiqh itu perlu untuk tertibnya shalat. Tetapi jangan hanya berhenti sampai di situ, karena shalat bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan. Apa tujuan shalat?

Inna shShalawta Tanhay 'Ani lFahsya-i wa lMunkari (Al 'Ankabuwt 45), Sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar (29:45). Alhasil, da'wah itu bukan hanya sekadar untuk yang kognisi (filosofi), keterampilan (menurut fiqh), melainkan haruslah pula menyentuh hati nurani (tasawuf) yang akan menghasilkan pola pikir yang Islami, yang selanjutnya sikap yang Islami dan selanjutnya lagi tingkah laku yang Islami. WaLlahu a'lamu bi shshawab.

*** Makassar, 15 Oktober 1995