10 Maret 1996

219. Bolehkah Rasionalisasi Pesan-Pesan Religi yang Terkandung dalam Ibadah Ritual?

Saya akan mulai dengan mengutip bagian kecil dari tulisan H.Jalaluddin Rahman yang berjudul Syawal dan Fasilitas Kesetahunannya dalam rubrik OPINI Harian FAJAR, Jum'at 8 Maret 1996: Meski dasarnya teks Hadits Nabi, seorang yang berjuang menangkap pesan-pesan religi dan keimanan secara rasional dapat saja mengupayakan pengungkapan maksudnya secara rasional. Usaha pemakaian rasio ini tidak berarti bahwa seseorang mengakal-akali soal agama, tetapi menggunakan akal dalam menangkap makna agama. Hal ini sangat dihargai dan didorongkan oleh AlQuran. Saya dapat menyetujui pendapat tersebut, akan tetapi bukan tanpa reserve, artinya dalam bingkai tertentu. Yaitu dalam upaya mengungkapkan maksud pesan-pesan religi secara rasional itu, haruslah tetap terjaga keaslian pesan-pesan religi yang sifatnya ritual. Seperti misalnya dalam ibadah ritual berkurban dengan memotong hewan sembelihan. Pesan-pesan nilai dalam berkurban itu dapat saja dirasionalkan bahwa digantinya Ismail dengan seekor binatang sembelihan menekankan bahwa betapapun tinggi sasaran yang ingin dicapai tidak boleh mengurbankan nilai kemanusiaan. Pesan-pesan menyembelih binatang sembelihan mengandung makna ekonomis dilihat dari segi marketing. Penyembelihan hewan kurban yang berkualitas secara besar-besaran merupakan pasar yang tersedia setiap tahun bagi para produsen peternak dan merupakan tantangan bagi para peternak itu untuk tetap menjaga kualitas ternaknya. Selanjutnya dapat pula dirasionalisasikan penyembelihan hewan itu yakni untuk memenuhi hasrat manusia yang normal yaitu kesenangan berpesta. Orang miskinpun mempunyai kesempatan berpesta makan daging hasil sembelihan itu. Demikianlah pesan religi ibadah ritual 'Iydu nNahr dirasionalkan dengan tetap menjaga keaslian pelaksanaan menyembelih binatang itu. FaShalli liRabbika waNhar (S. Al Kawtsar, 2). Maka shalatlah engkau karena Maha Pemeliharamu dan sembelihlah (kurbanmu).

Dalam upaya J. Rahman merasionalkan pesan nilai puasa enam hari Syawal tidaklah mengubah keaslian ibadah sunnat yang ritual itu, sehingga tentu saja upaya itu dapat diterima dan dihargai sepenuhnya. Bahkan dalam kolom ini ingin saya menambahkan dua butir lagi mengenai puasa enam hari bulan Syawal itu.

Pertama, karena hanya enam hari di antara dua puluh sembilan atau tiga puluh hari, maka ada kecenderungan orang untuk menggampangkannya dalam arti selalu menunda-nundanya. Akhirnya tenggelam dalam keasyikan menunda-nunda itu, maka akibatnya menjadi kepepet bahkan keliwatan sehingga waktu lowong enam hari bulan Syawal sudah lewat. Lebih-lebih lagi jika yang menunda-nunda itu adalah kaum Hawa yang haid dalam pertengahan bulan Ramadhan. Maka tanpa disadarinya karena keasyikan menunda itu sang bulan (bukan bulan yang di langit) tiba-tiba datang menjenguk. Hilanglah kesempatan yang enam hari itu. Kecenderungan menunda-nunda karena banyaknya waktu lowong ini biasa pula terjadi dalam pelaksanaan ibadah shalat 'Isya bagi orang yang tidak berkesempatan bershalat jama'ah di masjid. Waktu 'Isya adalah waktu shalat yang terpanjang, sehingga ditunda dari jam ke jam hingga larut malam, tambahan pula untuk waktu 'Isya ini kita mendapatkan fasilitas untuk tidak menyegerakan (lebih baik melanggar kaidah EYD sehingga lebih jelas: mensegerakan) shalat pada permulaan waktu. Sebenarnya shalat 'Isya larut malam dapat lebih khusyu', asal saja tidak diserang kantuk lebih dahulu.

Kedua, rasionalisasi puasa sunnat enam hari bulan Syawal secara kuantitatif, dihubungkan dengan nilai kuantitatif kesetahunan. 29 hari puasa Ramadhan ditambah 6 hari puasa Syawal, menjadi 35 hari. Atau kalau bulan Ramadhan jumlah harinya 30, ditambah dengan 6 hari bulan Syawal, menjadi 36 hari. Kalau dirata-ratakan (35 + 36) : 2 = 35,5 hari. Satu tahun kalender Qamariyah berselang antara 354 dngan 355 hari.

Berdasarkan Hadits Nabi: Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkan 6 hari Syawal laksana berpuasa terus-menerus (selama setahun), maka 35,5 hari dinilai 355 hari, yang berarti amal puasa kita dinilai 10 kali lipat. Jadi sama dengan nilai ibadah shalat yang mula-mula diterima RasuluLlah SAW pada waktu Mi'raj sebanyak 50 kali sehari semalam, maka atas permohonan RasuluLlah yang mendapatkan saran dari Nabi Musa AS untuk minta keringanan, akhirnya Allah SWT memperkecil intensitasnya menjadi 5 kali saja, namun tetap dinilai 50 kali.

Hanya saja jangan sampai analisa kuantitatif itu disalah gunakan. Bahwa karena Allah SWT bermurah hati satu kali dibayar 10 kali, maka kita cukup berpuasa tiga hari saja dalam bulan Ramadhan, satu kali permulaan, satu kali pertengahan dan satu kali pada akhir Ramadhan, dengan demikian sudah senilai sebulan penuh Ramadhan. Itu namanya salah kiprah, itu main akal-akalan namanya. Kalau diwajibkan sebulan penuh, maka mesti melaksanakannya sebulan penuh. Dilanjutkan dengan 6 hari Syawal dinilai 10 kali lipat, menjadilah seperti puasa terus menerus hingga bulan Ramadhan yang berikutnya. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 10 Maret 1996