17 Maret 1996

220. Tiga Tokoh, Empat Sahabat dan Mantera Ilmu Simpanan

Pada malam silaturrahim, 9 Maret 1996 yang diselenggarakan oleh IMMIM beserta dengan organisasi yang terkait (Permawi, Iapim dan BKPRMI) Prof. H. Halide yang membawakan hikmah halal bi halal (baca: silaturrahim) mengemukakan sebuah simpanannya berupa ilmu mistik penangkal diri yang melibatkan keempat tokoh al Khulafa al Rasyidun: Abu Bakar al Shiddiq, 'Umar ibn Khattab, 'Utsman ibn Affan, 'Ali ibn Abu Thalib radhiyaLlahu 'anhum.

Apabila akan bepergian, rantau jauh akan dijelang, tatkala mulai meginjakkan kaki dengan tumit kanan di atas tanah di bawah anak tangga terakhir maka dibaca dan diyakinkan, bahwa Abu Bakar ada di depan, 'Umar di sebelah kanan, Bagenda Ali di sebelah kiri dan 'Utsman di belakang, dikunci dengan bacaan nasaba' La Ilaha illaLlahu, Kun fa Yakun, kemudian badan diputar 360 derajat dengan bertumpu pada tumit kanan. Halide merasionalkan ilmu mistik itu dengan memberikan makna tentang sifat dan sikap keempat sahabat itu yang perlu membungkus diri kita. Di depan, diri kita berperisai dengan sifat sabar dan sikap untuk senantiasa menegakkan kebenaran seperti Abu Bakar, di sebelah kanan bertamengkan sifat dan sikap tegas yang berlandaskan keadilan seperti 'Umar, di sebelah kiri berlindungkan sifat berani dan sikap haus akan ilmu seperti Bagenda Ali dan di belakang ditopang oleh dana yang dipersonifikasikan sebagai 'Utsman.

Dalam Seri 19 (23-2-1992) telah dirasionalkan peristiwa di Telaga Mawang yang berbau mistik tentang tiga tokoh.

Lu'muka ri Antang menyulut rokoknya di titik air hujan yang menitik melalui saraungnya. Saya rasionalkan sebagai suatu sikap menanti Rahmat Allah dengan persiapan diri, yang dilambangkan sebagai saraung di atas kepala. Saraung adalah semacam topi lebar yang dipakai oleh petani di sawah ataupun nelayan di laut (bandingkan dengan sombrero bangsa Mexico). Tanpa saraung ia tidak akan mendapatkan titik air yang dikehendakinya. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, sikap menanti Rahmat Allah SWT, adalah mereka para petani yang mengerjakan sawah tadah hujan.

Datoka ri Pa'gentungang membakar rokoknya melalui sambaran kilat. Saya rasionalkan sebagai perlambang suatu sikap yang selalu sigap untuk mendapatkan Rahmat Allah dengan meraih kesempatan yang liwat di depannya. Mereka ini adalah para entrepreneur yang sigap. Untuk menyulut rokoknya Tuanta Salamaka (diangkat menjadi Pahlawan Nasional tahun 1996) masuk ke dalam telaga, memasukkan tangannya yang memegang rokok hingga siku. Dirasionalkan sebagai sikap yang sangat bersungguh-sungguh untuk mendapatkan Rahmat Allah, tidak hanya sekadar menunggu, ataupun bukan hanya sekadar meraih kesempatan yang melintas, melainkan menyonsong datangnya Rahmat Allah.

Tersebut pula sebuah kisah tentang keempat sahabat itu. Suatu ketika seorang suku Najran yang belum Islam datang kepada RasuluLlah SAW bertanyakan tentang bagaimana sikap seorang Muslim jika pipinya ditempeleng. Maka RasuluLlah SAW menyuruhnya untuk menempeleng pipi keempat sahabat itu. Mula-mula orang Najran itu menghadang Abu Bakar sewaktu Abu Bakar sedang menuju masjid untuk shalat subuh. Ia menempeleng pipi Abu Bakar, dan dengan rasa takjub orang itu menyaksikan sikap Abu Bakar yang tidak menghiraukannya, menolehpun tidak. Orang Najran itu mendapati 'Utsman di pasar sedang menawarkan barang dagangannya. Tatkala pipi 'Utsman ditempeleng, rekasinya juga menakjubkan orang Najran itu, yakni 'Utsman tersenyum kepadanya. Singkat cerita tatkala giliran 'Umar ditempeleng, orang Najran itu hanya menempeleng angin karena 'Umar berkelit mengelak. Akhirnya ketika orang Najran itu melayangkan tangannya untuk menempeleng pipi 'Ali, tangannya ditangkap 'Ali, kemudian ia dibanting dan seterusnya perutnya diinjak oleh 'Ali. Orang Najran itu melaporkan hasil temuannya itu kepada RasuluLlah SAW, dan mendapatkan jawaban bahwa sikap keempat sahabat itu semuanya baik.

***

Ilmu mistik penangkal diri dengan melibatkan keempat sahabat itu perlu dirasionalkan. Sebab kalau tidak, akan terjadi salah kaprah, bahwa keempat sahabat itu menangkal diri kita dari bahaya yang datangnya dari keempat penjuru mata angin, dan ini akan menjerumuskan pengamal ilmu itu jatuh ke dalam jurang kemusyrikan. Dengan merasionalkannya maka terungkap muatan pesan-pesan nilai yang sangat berharga dari sifat dan sikap dari keempat sahabat utama RasuluLlah SAW, dan yang paling penting pengamal ilmu itu luput dari bahaya jatuh ke dalam jurang kemusyrikan.

Umumnya ilmu-ilmu simpanan itu "manteranya" diberi nilai Tawhid, yaitu dikunci dengan bacaan nasaba' (disebabkan oleh) La Ilaha illaLlahu, Kun fa Yakun. Sayangnya kunci mantera itu walaupun diberi nilai Tawhid terjadi kerancuan, oleh karena disertai pula dengan Kun fa Yakun. Dikatakan rancu sebab kalimah Kun ini adalah Sabda Allah SWT, yang outputnya adalah ayat Kawniyah (alam semesta) sesuai dengan FirmanNya: Innama- Amruhu Idza- Ara-da Syayan an Yaquwla lahu Kun faYakuwnu (S. Yasin, 82). Sesungguhnya urusanNya bila Ia menghendaki (untuk mengadakan) sesuatu, Ia bersabda jadilah, maka jadilah (36:82).

Apa yang diceritakan pengarang hikayat Tuanta Salamaka di telaga Mawang itu mengandung ilmu yang tersirat, yang disajikan dalam gaya perumpamaan, yang kelihatannya berbungkus mistik. Inilah gaya para ilmuwan nenek moyang kita. Inilah gaya dalam ilmu tradisional, yang tidak disodorkan secara langsung, melainkan harus disimak apa yang tersirat dibalik bungkusan mistik itu. Sedangkan cerita orang Najran vs keempat sahabat itu menurut Allahu Yarham Syuhudi Ismail (Prof.DR H.Syuhudi Ismail, pakar hadits) bukanlah Hadits. Yang berarti itu adalah termasuk karya sastra, imajinasi sahibulhikayat yang mencoba menjelaskan watak, kepribadian dan temperamen keempat sahabat itu dalam bentuk cerita. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 17 Maret 1996