27 Juli 1997

283. Komunikasi Dua Arah

Pada waktu saya menyampaikan sekapur sirih, pesan-pesan hikmah Mawlud di Balai Wartawan di hadapan majelis (audience) anggota dan pengurus PWI Cabang Sulsel pada hari Selasa, 22 Juli 1997, saya mulai dengan mengemukakan muqaddimah. Bahwa apa saja yang akan kita kerjakan harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada Allah SWT, tidak terkecuali memperingati Mawlud Nabi Muhammad SAW. Hal ini perlu oleh karena dalam sejarah RasuluLlah SAW dan para sahabat tidak pernah memperingati Mawlud beliau. Walaupun RasuluLlah SAW tidak pernah menyuruh ummat Islam untuk memperingati Mawlud beliau, namun tidaklah berarti bahwa aktivitas memperingati Mawlud tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepada Allah SWT. Maka saya jelaskan selanjutnya dalam pesan-pesan Hikmah Mawlud tersebut seperti berikut ini.

Syari'at Islam dapat diklasifikasikan dalam dua kategori: syari'at yang ritual dan syari'at yang non-ritual. Syari'at yang ritual itu ketat, semua tidak boleh kecuali yang diperintahkan oleh Nash (Al Quran dan Hadits Shahih). Berlainan dengan syari'at yang non-ritual itu longgar, semuanya boleh kecuali yang dilarang oleh Nash. Seumpama membuang beling dari tengah jalan, caranya boleh bermacam-macam, dapat dengan memungut, dapat pula dengan menyapu.

Apabila peringatan Mawlud itu berupa aktivitas menyampaikan pesan-pesan nilai Islami, itu menyangkut pendidikan, maka itu termasuk dalam syari'at yang non-ritual, sehingga berlaku qaidah semua cara boleh dilakukan kecuali yang dilarang oleh Nash. Maka bentuk ataupun tata-cara dalam peringatan Mawlud beraneka-ragam, seperti membaca riwayat Nabi Muhammad SAW karya Jafar alBarzanji, seni menghias bakul-bakul songkolo' dan telur untuk kegembiraan anak-anak, ceramah-ceramah Mawlud, diskusi, sunnat massal, yang kesemuanya itu tidak dilarang oleh Nash, maka peringatam Mawlid itu boleh saja dilakukan. *)

Lalu apa yang diberitakan dalam koran keesokan harinya? Yang membawakan hikmah Maulid mengatakan, peringatan Maulid tidak pernah diperingati oleh para sahabat. Karena dalam sejarah terdiri dua hal, yang pertama syariat ritual dalam arti tidak berubah atau tidak boleh ditambah dan atau dikurangi. Sementara syariat yang non-ritual yang bisa berubah-berubah atau bisa ditambah atau dikurangi (lihat Pedoman Rakyat edisi Rabu, 23 Juli 1997, halaman satu).

Apa yang diberitakan oleh Pedoman Rakyat itu sungguh sangat menyimpang ceramah saya. Bahwa klasifikasi syari'at yang ritual dan non-ritual bukanlah produk sejarah. Syari'at, apakah itu ritual ataupun non-ritual bersumber dari wahyu, bukanlah berakar historis. Syari'at yang non-ritual tidak boleh berubah-ubah, seperti misalnya nilai kecintaan terhadap Allah dan RasulNya yang diekspresikan dalam wujud peringatan Mawlud Nabi Muhammad SAW. Yang boleh berubah-ubah adalah tata-cara peringatan Mawlud, sedangkan nilai kecintaan kepada Allah dan RasulNya tetaplah mutlak, nilai tersebut tidak boleh bergeser. Demikianlah pula misalnya syari'at non-ritual bersedekah. Nilai bersedekah itu tidak bergeser, namun cara bersedekah itu dapat bermacam-macam. Dapat dengan cara langsung memberikan uang atau barang, dapat dengan secara membentuk yayasan untuk mendirikan panti asuhan, dapat pula bersedekah dalam bentuk jasa seperti mengajarkan keterampilan supaya fakir miskin itu dapat mandiri mencari nafkah dan lain sebagainya.

Sebenarnya cara berceramah (baca: komunikasi satu arah) yang umumnya dipergunakan dalam peringatan-peringatan Mawlud, Isra'-Mi'raj, dan Tahun Baru Hijriyah mempunyai kekurangan dalam hal apa-apa yang berupa pesan-pesan nilai yang disampaikan terkadang yang ditangkap oleh majelis menyimpang dari apa yang disampaikan oleh penceramah. Apa pula jika pesan-pesan itu diteruskan secara berantai seperti misalnya berupa liputan yang disebarkan pula melalaui media cetak ataupun elektronik.

Bahkan menurut pengalaman saya dalam diskusi tidak jarang pula terjadi pemandu acara diskusi mencoba menyingkatkan ataupun menyimpulkan apa yang telah disajikan, ternyata menyimpang, ataupun sekurang-kurangnya yang penting-penting tidak dikemukakan dalam singkatan. Maksud pemandu acara itu menyingkatkan adalah baik, yaitu untuk mempermudah majelis peserta diskusi untuk menangkap apa yang telah disajikan, berhubung karena saya tidak sempat menuliskan makalah, cukup dengan coretan-coretan di atas kertas. Jadi walaupun maksud pemandu acara itu baik, namun tujuan mempermudah itu akhirnya menjadi sebaliknya, yaitu malahan mempersukar.

Firman Allah:

Ud'u ilay Sabiyli Rabbika bilHikamti walMaw'izhati lHasanati waJa-diluhum biLlatiy Hiya Ahsanu (S. An Nahl, 125). Himbaulah ke jalan Maha Pengaturmu dengan kebijaksanaan, keterangan yang baik, dan berdiskusilah dengan mereka dalam cara yang terbaik (16:125).

Menurut ayat (16:125) yang dikutip di atas itu bahwa pesan-pesan nilai yang disampaikan itu pertama-tama haruslah bijaksana dalam arti apa yang disampaikan sesuai dengan kemampuan mencerna ataupun taraf berpikir dari majelis, tidak terkesan seperti menggurui. Pesan-pesan yang disampaikan harus jelas. Namun cara yang terbaik jika memungkinkan ialah dengan cara komunikasi dua arah. Sebab walaupun pesan-pesan itu telah kita anggap sudah bijaksana, juga sudah kita anggap cukup jelas, namun dalam kenyataannya belum tentu demikian. Perlu ada umpan balik, dan itu hanya mungkin jika ditempuh cara berdiskusi, sekurang-kurangnya tanya jawab, yaitu komunikasi dua arah. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 27 Juli 1997