3 Agustus 1997

284. Dunia dan Akhirat Menurut Visi Kesinambungan, Keseimbangan dan Efektivitas

Pada pagi hari Ahad, 27 Juli 1997 saya mengikuti tayangan ANTEVE dalam acara Mutiara Subuh. Pembahas di depan majelis dalam tayangan itu ialah DR Jalaluddin Rahmat. Yang menarik bagi saya dalam pembahasan tersebut adalah visi Syaikh Makarim Syirazi tentang dunia dan akhirat. Menurut Syaikh Makarim Syirazi apa saja aktivitas kita yang hasilnya mendekatkan diri kita kepada Allah SWT, maka itulah akhirat; apa saja aktivitas kita yang membuahkan diri kita jauh dari Allah SWT, maka itulah dunia.

Menurut hemat saya visi Syaikh Makarim tersebut dikembangkan dari asas bahwa apa saja yang kita kerjakan itu seharusnya dengan nawaitu murni karena Allah, sehingga semua aktivitas kita itu bernilai ibadah. Aktivitas yang bernilai ibadah hasilnya efektif untuk akhirat, sedangkan aktivitas yang tidak bernilai ibadah hasilnya hanya efektif di dunia. Visi Syaikh Makarim ini sesuai dengan sabda RasuluLlah SAW dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari: Innama- lA'ma-lu binNiya-ti, waInnama- liKulli Mriiy Ma- Nawaw, faMan Ka-nat Hijaratuhu Ilay Llahi waRasuwlihi faHijratuhu Ilay Llahi waRasuwlihi faMan Ka-nat Hijaratuhu Ilay dDunya- Yushiybuha- aw ilay Mraati Yankihuha- faHijratahu Ilay Ma- Ha-jara Ilayhi. Sesungguhnya aktivitas itu dengan niat. Dan bagi setiap orang balasan apa yang diniatkannya. Barang siapa hijrah karena Allah dan RasulNya, maka baginya pahala hijrah karena Allah dan RasulNya. Barang siapa hijrah karena dunia yang diimingnya atau perempuan yang hendak dinikahinya, maka balasan hijrahnya itu menurut niat hijrahnya.

Selama ini yang sering kita dengar tentang dunia dan akhirat adalah visi kesinambungan (continuum, dibaca kon-ti-nu-um), bahwa akhirat itu adalah hasil perjuangan di dunia. Menurut para sufi dunia adalah ladang akhirat. Ungkapan ladang ini dapat diperkembang menjadi pabrik yang menghasilkan amal-amal shalih dan sekali gus yang mengeluarkan pencemaran (baca: amal-amal kejahatan) yang nanti akan dipetik di akhirat. Ibaratnya siapa yang menabur angin di dunia, akan menuai angin sejuk sepoi-sepoi basah ataupun sebaliknya badai di akhirat. Di samping itu kitapun biasa mendengar tentang visi keseimbangan dunia dan akhirat. Yang diseimbangkan dalam hal ini ialah hubungan kita dengan Allah dan hubungan kita dengan sesama makhluk dalam kontex syari'at yang ritual dan syari'at yang non ritual.

Sebenarnya ketiga visi itu menurut hemat saya tidak boleh berdiri sendiri, melainkan hendaklah dilihat sebagai satu sistem. Ketiga visi itu sebagai satu sistem dapat dipetakan menjadi satu pola: menyelam di dunia timbul di akhirat. Menyelam di dunia membawa amal shalih untuk timbul di akhirat dalam kontex visi kesinambungan. Dalam beraktivitas di dunia yang menghasilkan amal shalih dapat membuat diri kita senang sentosa di dunia dan bahagia di akhirat dalam kontex visi keseimbangan. Yang dapat dibawa menyelam di dunia untuk dibawa ke akhirat adalah semua aktivitas yang mendekatkan diri kita kepada Allah, dalam kontex visi efektivitas dari Syaikh Makarim Syirazi.

Sebenarnya di samping pola menyelam di dunia timbul di akhirat seperti telah dikemukakan di atas itu, masih ada tiga pola yang lain: Pertama, menyelam di akhirat timbul di akhirat. Pola yang sama sekali tidak mau pusing tentang dunia ini tidak dibenarkan oleh ajaran Islam, karena mereka yang hidup dengan pola ini akan menjadi beban masyarakat. Kedua, menyelam di dunia timbul di dunia. Pola yang tidak mau pusing tentang kehidupan akhirat ini, bukan hanya sekadar dilarang, melainkan orang yang hidup dengan pola ini sudah bukan muslim lagi, karena sudah melanggar Rukun Iman yang kelima. Ketiga, menyelam di akhirat timbul di dunia. Orang yang hidup dengan pola ini diancam dengan neraka Wayl, karena meraka ini tergolong dalam Yura-uwn, orang-orang riya (berpenampilan). Aktivitasnya kelihatannya untuk akhirat seperti misalnya naik haji, pada hal sesungguhnya tujuannya berhaji itu untuk dunia, agar menempati status tertentu dalam masyarakat. Atau ia dermawan, kelihatannya beramal untuk akhirat pada hal tujuannya hanya untuk mengelabui masyarakat dan alat negara, berhubung ia gembong penyeludup obat bius.

Firman Allah SWT dalam Al Quran:

WaBtaghi fiyMa- Ataka Llahu dDa-ra lAkhirata waLa- Tansa Nashiybaka mina dDunya- ( Al Qashash, 77), tuntutlah pemukiman akhirat dengan apa yang diberikan Allah kepada engkau, dan janganlah kamu lupakan bagian engkau dari dunia (28:77).

Ayat (28:77) dapat ditafsirkan menurut kontex visi keseimbangan, efektivitas dan kesinambungan. Ma- Ataka Llahu, apa yang diberikan Allah kepada engkau, maksudnya adalah harta benda. Janganlah harta benda itu semuanya diberikan untuk membangun masjid, rumah sakit, panti asuhan dll., melainkan tinggalkan juga untuk keperluan pribadi dan anak-isteri. Visi keseimbangan tersebut adalah dalam kontex penggunaan harta benda yang diberikan Allah kepada kita. Yang diseimbangkan adalah penggunaan harta yang didapatkan dengan jalan yang halal, bukan harta yang didapatkan secara tidak halal.

Apa yang diberikan Allah kepada kita ialah rezeki yang kita dapatkan dengan melalui syari'at yang non-ritual, yaitu nilai kerja keras, kejujuran, keikhlasan karena Allah. Aktivitas atas landasan nilai kerja keras, kejujuran, keikhlasan karena Allah, membawa kita dekat kepada Allah dan inilah yang mempunyai nilai akhirat menurut kontex visi efektivitas. Sedangkan sebaliknya harta benda yang didapatkan tidak menurut aturan Allah, akan menjauhkan dirinya dari Allah, dan inilah disebutkan oleh Syaikh Makarim Shirazi dengan dunia, artinya tidak mendapatkan pahala di akhirat.

Bahwa harta benda yang didapatkan menurut aturan Allah, baik itu untuk mesjid, rumah sakit, anak yatim dan sadaqah lainnya serta untuk diri sendiri dan anak isteri pahalanya akan dibawa serta ke akhirat, inilah visi kesinambungan, dunia adalah ladang akhirat.

Dari segi visi kesinambungan, keseimbangan dan efektivitas inilah kita hendaknya meresapkan ma'na permohonan kita kepada Allah: Rabbana- Atina- fiy dDunya- Hasanatan wa fiy lAkhirati Hasanatan waQina- 'Adza-ba nNa-ri (S. Al Baqarah, 201), wahai Maha Pemelihara kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, peliharalah kami dari 'adzab neraka (2:201). WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 3 Agustus 1997