31 Agustus 1997

287. Teknologi Mengontrol Iklim?

Saya ingat betul pada hari Senin, 28 Juli 1997, tatkala saya menuju ke Kampus UMI saya dihadang oleh asap kabut yang cukup tebal menyapu kota Makassar. Musim kemarau tahun 1997 ini termasuk lama. Kesulitan mendapatkan air tawar bergaung ke mana-mana dan di mana-mana. Air sungai menjadi payau, sumur-sumur mengering. Air leding megap-megap, menetes, bahkan ada yang berhenti mengalir sama sekali. Lalu timbul pula asap yang menyatu dengan kabut, turun ke bawah menyapu permukaan bumi, di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Singapura, Malaysia, bahkan pula menjenguk Makassar, seperti asap kabut yang menghadang saya tatkala ke kampus yang saya ceritakan di atas itu. Sebelum pulau-pulau Sunda Besar dan negeri jiran itu diliputi asap kabut, telah saya kemukakan dalam Seri 280, 6 Juli 1997 tentang pembentukan kosa kata baru bahasa Inggris smog, dari smoke (asap) + fog (kabut). Barangkali ada baiknya dibentuk pula kosa kata baru dalam bahasa Indonesia asap kabut ini mejadi asbut.

Asbut adalah produk kemarau. Dalam musim kemarau yang panjang hutan-hutan rawan terhadap api, titik-titik rawan api menyebar ke mana-mana dan di mana-mana dalam hutan. Asap yang kemudian menyatu dengan kabut lalu menyapu permukaan bumi hanya dapat dipupus oleh oleh hujan. Tetapi mana mungkin ada hujan dalam musim kemarau. Maka orang menoleh ke teknologi membuat hujan. Membuat hujan? Mungkinkah hujan dibuat?

Dalam Seri 38, 19 Juli 1992 telah ditulis tentang menabur awan. Ungkapan ini saya terjemahkan dari bahasa Inggris seeding the clouds, ataupun dari bahasa Belanda het enten van wolken. Kedua ungkapan asing itu biasanya diterjemahakan kedalam bahasa Indonesia dengan ungkapan membuat hujan. Terjemahan ini dapat menyesatkan, lebih-lebih bagi mereka yang begitu kagum bercampur fanatik, yang hampir-hampir mengkultuskan iptek. Bagi yang tidak begitu mengetahui seluk-beluk hujan buatan itu dikiranya seenaknya saja hujan itu dapat dibuat.

Hujan itu merupakan bagian dari daur hidrologik. Daur adalah suatu yang melingkar. Hidrologi adalah ilmu tentang seluk beluk tabiat air. Daur hidrologik itu dapat dijelaskan seperti berikut. Air hujan turun ke bumi, ada air yang langsung mengalir di atas permukaan bumi, yang disebut sungai. Ada yang masuk meresap dalam tanah, disebut air tanah. Di mana mungkin air dalam tanah mengalir membentuk sungai dalam tanah, dan yang sempat muncul di permukaan tanah disebut mata air, yang menjadi hulu sungai. Sungai-sungai di atas tanah bersama-sama dengan sungai-sungai di bawah tanah mengalirkan air ke laut. Di tengah jalan aliran air itu di beberapa tempat berhenti mengalir, untuk beristirahat sejenak di danau-danau. Air di laut di danau dan di sungai-sungai menguap ke udara, karena dipukul oleh radiasi matahari. Di udara air itu berwujud awan. Dari awan ini turunlah hujan. Demikianlah daur hidrologik itu melingkar terus.

Bagaimana proses terbentuknya hujan dari awan merupakan masalah yang musykil, memusingkan para pakar. Pasalnya ialah walaupun suhu awan sudah jauh di bawah titik beku, air masih berbentuk uap. Seharusnya dalam suhu yang rendah itu sudah terbentuk butir-butir kristal es dari awan itu.

Sampai sekarang baru dikenal dua cara untuk menabur awan, dengan es kering (CO2 padat) dan dengan iodida perak. Keduanya didapatkan tidak dengan sengaja. Vincent Joseph Schaever tidak sengaja melihat hujan yang berasal dari nafasnya waktu membuka lemari es, akhirnya ia memperolah hasil menabur awan dengan es kering. Bernard Vonnegut tanpa disengaja suatu hari melihat titik air di udara. Sebuah pesawat terbang dalam rangka reklame Pepsi Cola, membuat tulisan asap nama minuman itu. Berdasar atas keyakinannya tentang teori inti hujan, ia akhirnya mendapatkan iodida perak (yang bentuk kristalnya seperti bentuk kristal es) sebagai inti untuk menabur. Kalau suhu awan cukup rendah, dipakailah cara Schaever, awan ditabur dengan es kering saja. Kalau tidak cukup rendah harus pakai inti iodida perak menurut cara Vonnegut.

Walhasil membuat hujan seperti menggali sumur. Bagaimanapun dalamnya tanah digali apabila di bagian bawah tanah galian untuk sumur itu tidak terdapat air resapan ataupun mata air, maka mustahil mendapatkan air. Demikian pula biar ada es kering ataupun iodida perak kalau tidak ada awan yang akan ditabur, niscaya mustahil ada hujan.

Firman Allah:

Alladziy Ath'amahum min Juw'in (S. Quaraisy, 4). Yaitu (Maha Pemelihara) Yang yang memberi kamu makan (sehingga terbebas) dari kelaparan (106:4).

Yang menjadi fa'il (subyek) dalam ayat di atas itu menunjuk kepada ayat sebelumnya, yaitu Rabb artinya Maha Pemelihara. Bumi ini yang mengikuti matahari mengedari pusat Milky Way, sewaktu-waktu masuk ke dalam daerah badai kosmik. Maka pada saat itu iklim tidak teratur. Bagaimanapun profesionalnya insinyur pertanian mendapatkan bibit unggul, kalau kemarau panjang, sawah akan kering, padi mati kekeringan. Sebaliknya jika musim hujan panjang sekali, bagaimanapun profesionalnya insinyur sipil membuat konstruksi bendungan, niscaya bendungan itu akan bobol ataupun air melimpah. Maka sawah-sawah tergenang banjir, padipun mati lemas. Iklim tak dapat dikontrol dengan teknologi, semuanya terpulang kepada Allah Rabbu l'Alamiyn, Yang yang memberi kita makan sehingga terbebas dari kelaparan.

Itulah potret kemarau yang harus dihadapi dengan sikap hemat air dan hati-hati terhadap api, serta management logistik bahan makanan yang sehandal dengan managementnya Nabi Yusuf AS. Wallahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 31 Agustus 1997