14 Desember 1997

302. Dua Wanita Hamil, serta Hubungan antara Atasan dengan Bawahan

Berita dua wanita hamil ternyata simpang siur. Berikut ini kita kutip dari tiga sumber:

Dua karyawan Puskesmas Tamamaung, Kartini dan Rosdiana, yang berniat menggugat Walikota Ujung Pandang H.A. Malik B. Masry kemarin (maksudnya hari Kamis, 11 Desember 1997), masih tetap masuk kerja. Keduanya sejak mendapat hukuman jalan kaki sepanjang Jalan Abdullah Dg Sirua beberapa hari lalu memang sangat mengkhawatirkan keselamatan janinnya. "Keduanya kini harus menjalani penanganan dokter secara intensif," ujar sejumlah pegawai Puskesmas Tamamaung Kamis kemarin. (FAJAR, 12/12-97)

Sebenarnya yang ada dalam rahim kedua wanita itu sudah lebih dari janin. Sejak terjadi pembuahan sel telur oleh sperma suaminya hingga rentang waktu 3 x 40 hari = 120 hari masih berupa janin. Jika dikeluarkan dengan paksa dari dalam rahim disebut pengguguran kandungan (aborsi). Liwat 120 hari Allah telah meniupkan ruh ke dalam janin itu, sehingga menjadi makhluk yang lain yang disebut bayi. Tsumma Ansya"nahu Khalqan Akhara (S. Al Baqarah, 2:14), kemudian Kami jadikan dia (janin) makhluk yang lain (bayi). Mengeluarkan bayi itu dengan paksa, atau tindakan perlakuan terhadap sang ibu yang menyebabkan bayi keluar dari dalam rahim, bukan lagi aborsi melainkan termasuk pembunuhan manusia.

Menanggapi tentang materi dari gugatan para pegawai Puskesmas itu, Walikota H.A. Malik B. Masry membantahnya. Menurut Malik, pegawai tersebut disuruh berjalan kaki pada pagi hari, usai apel pagi, yakni sekitar pukul 08.00 Wita. Dan saat itu pula, Walikota tidak melihat ada pegawai yang sedang hamil 7 bulan. "Kalau toh ada, kenapa dokternya tidak memberitahukan kepada kami," kata Walikota. (FAJAR, 12/12-97)

Lain pula keterangan pers Kepala Bagian Humas Pemda KMUP, H.M. Rusli Kamaruddin. Menurut Rusli Kamaruddin, petugas kesehatan yang ikut dalam rombongan terdapat dua wanita hamil. Namun, kedua wanita itu dikeluarkan dari barisan jalan pagi. (PR, 12/12-97)

Demikianlah simpang siurnya berita tentang dua wanita hamil yang disuruh berjalan di Jalan Abdullah Dg Sirua tersebut. Menanggapi berita itu ada yang percaya, yaitu sejumlah pegawai Puskesmas Tamamaung, "Keduanya kini harus menjalani penanganan dokter secara intensif," ujar mereka itu. Ada yang ragu-ragu yaitu Walikota Ujung Pandang H.A. Malik B. Masry. Walikota tidak melihat ada pegawai yang sedang hamil 7 bulan. "Kalau toh ada, kenapa dokternya tidak memberitahukan kepada kami," katanya. Ada yang membantah, yaitu Kepala Bagian Humas Pemda KMUP, H.M. Rusli Kamaruddin. Menurut Kamaruddin, kedua wanita hamil itu dikeluarkan dari barisan jalan pagi.

Bantahan H.M. Rusli Kamaruddin tersebut adalah bersifat keterangan resmi dari Pemda KMUP, oleh karena dikeluarkan oleh lembaga resmi, yaitu Kepala Bagian Humas Pemda KMUP dalam keterangan persnya pada malam Jum'at, sehubungan dengan pemberitaan pers tentang keberatan para pegawai Puskesmas Tamamaung. Secara logika kita lebih mempercayai informasi dari sejumlah pegawai Puskesmas Tamamaung bahwa kedua orang wanita hamil itu termasuk dalam barisan (tidak dikeluarkan), oleh karena kalau benarlah keterangan resmi Kepala Bagian Humas Pemda KMUP tersebut, mana mungkin kedua wanita hamil itu akan menuntut Walikota.

Mengenai hubungan antara atasan dengan bawahan, antara kepala Puskesmas Tamamaung dengan bawahannya dalam skala kecil, atau hubungan antara Walikota dengan para pegawainya dalam skala yang lebih tinggi, hendaklah menjadi renungan kita bersama apakah hubungan itu melulu yang bersifat normatif yang kaku? Apakah masih ada relung-relung kehidupan berkomunikasi yang bersifat manusiawi?

Tidak perlu kita terlalu jauh menyangkutkannya dengan HAM. Ada tempat ruju' yang lebih dekat, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dalam konteks keterbukaan menampung aspirasi bawahan, menyelesaikannya dengan bijaksana, seperti kata pepatah Minang: Ba' manari' rambui' dalam tapuang, rambui' inda' putuih, tapuang inda' basera', (ibarat menarik rambut dalam tepung, rambut tidak putus, tepung tidak berserak). Ini akan menghasilkan bawahan yang disiplin karena segan dan suka kepada atasannya, bukan bawahan yang tampaknya disiplin dari zahirnya, tetapi mengerutu dalam batinnya, disiplin hanya karena takut tetapi benci kepada atasannya yang arogan. Disiplin karena segan, walaupun atasannya tidak di tempat tetap ia disiplin. Disiplin karena takut, akan buyar disiplinnya tatkala atasannya tidak di tempat. Disiplin karena segan, tidak memerlukan aktivitas sidak, disiplin karena takut, selalu membutuhkan aktivitas sidak.

Cobalah kita renungkan ayat di bawah ini, memetik nilai berkomunikasi antara Atasan dengan bawahan:

Waidz Qa-la Rabbuka lilMalaikati Inniy Ja-'ilun fiy lArdhi Khalifatan Qa-luw Ataj'alu fiyHa- Man Yufsidu fiyHa- waYasfiku dDima-a wa Nahnu Nusabbihu biHamdika waNuqaddisulaka (S. Al Baqarah, 2:30). Ingatlah tatkala Maha Pengaturmu berfirman kepada para Malaikat, sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di atas bumi. Berkata (Malaikat), adakah patut Engkau jadikan di atas bumi yang akan berbuat bencana di atasnya dan menumpahkan darah, padahal kami tasbih dan tahmid kepadaMu?

Aspirasi para malaikat yang menyatakan bahwa jenis malaikat lebih baik dari jenis manusia, karena malaikat selalu tasbih dan tahmid kepada Allah, sedangkan manusia itu sifatnya suka berbuat bencana dan menumpahkan darah, tidaklah menyebabkan Allah murka kepada malaikat atau menghukum mereka karena aspirasi mereka berlawanan dengan kehendakNya. Dalam rentetan ayat berikutnya kita dapat baca bahwa Allah memberi pengertian kepada malaikat, yaitu Adam (baca: manusia) mempunyai kemampuan yang melebihi malaikat untuk menjadi khalifah di bumi. Yaitu Allah memberikan ilmu kepada manusia untuk mampu mengenal tiap-tiap sesuatu di atas bumi, sehingga manusia lebih mampu dari malaikat untuk menjadi khalifah dalam mengelola bumi.

Sedangkan Allah SWT Yang Sangat Maha Kuasa Yang dapat berbuat sekehendakNya (Fa'a-lu liMa- Yuriyd) memperlakukan bawahan malaikatNya sedemikian pula, apatah pula makhluqNya yang berjenis manusia yang sangat-sangat kecil dan sangat tidak berkuasa itu. Allahu Akbar! WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 14 Desember 1997