Lima puluh lima negara anggota Organisasi Konfrensi Islam (OKI) yang mengakhiri Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) tanggal 11 Desember 1997 di Teheran terdiri atas dua kelompok, yaitu garis keras dan moderat. Yang membesarkan hati ialah walaupun terdapat perbedaan sikap tersebut, KTT itu dijiwai oleh semangat persatuan dalam Islam. Hampir semua peserta dalam pidatonya membacakan Firman Allah:
-- Wa'thasimuw biHabli Llahi Jamiy'an waLa- Tafarraquw (S. Ali 'Imra-n, 3:103), berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali Allah dan janganlah kamu berpecah belah.
Ada pula segi yang menarik, yaitu negara-negara Islam yang tergolong dalam garis keras ada beberapa di antaranya mendapat predikat dari Amerika Serikat sebagai negara-negara penyokong kelompok-kelompok terorist. KTT OKI itu dengan tegas membantah Amerika Serikat, yakni konfrensi di Teheran itu dengan tegas mengutuk terorisme dalam segala bentuk dan pelaksanaannya. KTT tersebut juga menegaskan kembali komitmen OKI bagi undang-undang untuk memerangi terorisme yang disahkan dalam KTT OKI di Casablanca tahun 1994 yang menyerukan pula penyelenggaraan konfrensi internasional mengenai terorisme di bawah pengawasan PBB.
Sehubungan dengan itu akan disorot pemberitaan selama ini mengenai tuduhan atas FIS (Front Islamique du Salut) yang menteror dan membantai warga sipil di Aljazair tidak terkecuali terhadap perempuan dan anak-anak, bahkan diberitakan pula telah menggorok leher tujuh pelaut Italia yang kapalnya berlabuh di pelabuhan Jenjen Aljazair. Tuduhan terhadap FIS sebagai teroris yang kejam itu sangat merusak citra Islam.
Golongan Islam yang membentuk kekuatan politik dalam wadah Front Islamique du Salut, yang menempuh cara demokratis, menjadi salah satu kontestan pada Pemilu tahun 1992, dicap fundamentalis. Sebenarnya istilah fundamentalis ini pengertiannya sangat baik, yaitu Ahlu sSunnah. Tetapi dalam lapangan politik internasional istilah ini telah mempunyai konotasi yang khas, yaitu suka menempuh cara kekerasan. Kalaupun pada akhirnya kelompok ini terlibat dalam kekerasan dan pertumpahan darah, itu karena lebih dahulu dikerasi dan dizalimi oleh rejim militer. Karena Pemilu permulaan FIS menang mayoritas, maka Pemilu lanjutan dibatalkan kemudian FIS dibubarkan oleh rejim militer. Kalau akhirnya FIS terpaksa angkat senjata melawan rejim militer itu, apakah itu salah? Semutpun kalau diinjak, niscaya menggigit.
Amerika Serikat yang begitu menggemborkan dirinya pahlawan demokrasi, bungkam, bahkan bersikap menyokong rejim militer Aljazair, yang mentorpedo hasil dan proses lanjutan Pemilu itu. Mengapa? Amerika sedang risau. Iran potensial bakal menggantikan kedudukan mantan Uni Sovyet untuk menantang, menjadi rival Amerika. Ambisi Amerika untuk menjadi negara adidaya tunggal, menjadi polisi dunia, bakal mendapat hambatan, gangguan bahkan ancaman dari Iran. Ini membentuk sikap Amerika berprasangka kepada setiap gerakan Islam (doktrin Huntington) tidak terkecuali di Aljazair.
Hanya saja perlawanan bersenjata FIS itu diberitakan membantai perempuan dan anak-anak, menggorok pelaut Italia, menterror, itu merusak citra Islam. Kalau pemberitaan itu benar, maka FIS itu termasuk pula dalam golongan yang dikutuk oleh KTT OKI di Teheran itu. Namun kata pepatah: Sepandai-pandai membungkus barang yang busuk akhirnya berbau juga. Tokoh partai-partai Islam di Aljazair akhirnya mulai dapat melepaskan diri dari tuduhan perbuatan teror itu. Investigasi sejumlah media Inggris berhasil mendapatkan bukti bahwa elemen-elemen dalam tubuh rejim yang berkuasa di Aljazair bertanggung-jawab atas tewasnya ribuan warga sipil termasuk wanita dan anak-anak serta penggorokan leher tujuh pelaut Italia, yang dikambing-hitamkan selama ini ats FIS.
Tidak kurang 60.000 jiwa termasuk perempuan dan anak-anak yang melayang sejak Jenderal Muhammad Lamari melakukan aksi militer untuk membatalkan Pemilu Aljazair tahun 1992 tersebut yang nyaris dimenangkan oleh FIS. Di antara mereka yang tewas terdapat 70 orang wartawan yang semuanya mati secara mengenaskan. Setiap insiden berdarah rejim berkuasa di Aljazair melemparkan tuduhan FIS berada di belakangnya. Tuduhan itu tanpa kritis disiarkan media massa internasional. Namun kebenaran tidak menunggu hingga Hari Pengadilan sesudah kiamat. Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh jua. Masih di dunia ini rejim berkuasa di Aljazair tidak dapat mencuci tangannya dari lumuran darah rakyatnya.
Bungkusan yang berbau busuk ini berhasil dibongkar oleh para wartawan Inggris secara terpisah, yaitu Robert Fisk dari harian Independent, John Sweeney dari The Observer, Anthony Loyds dari The Times dan Sairah Shah dari TV Channel Four. Hasil investigasi dari para wartawan tersebut berhasil membongkar sebahagian kejahatan Jenderal M.Lamari, pejabar rejim militer Aljazair.
The Observer edisi Ahad, 16 November 1997 menurunkan wawancara eksklusif dengan seorang bekas anggota intelejen bernama "Joseph" yang mengaku berpartisipasi aktif dalam sejumlah pembunuhan. Karena begitu takutnya ia lari ke London setelah hati nuraninya tidak tahan lagi untuk melaksanakan tugas membantai sesama warga Aljazair sendiri dan melaksanakan aksi terorisme internasional. Dialah yang melaksanakan aksi pemboman di Paris serta menggorok leher tujuh pelaut Italia itu.
Pengakuan "Joseph" ini diperkuat pula oleh agen rahasia lain bernama "Hakim" yang diwawancarai oleh harian Le Monde di Paris. Akibatnya di ibu kota Prancis itu digelas demonstrasi terbesar selama 20 tahun terakhir ini di Paris yang menuntut "Hakim" yang didalangi oleh Jenderal M.Mediani dengan panggilan rahasianya "Tawfiq". Pemboman di Paris dan penggorokan pelaut Italia itu menimbulkan krisis diplomatik antara Italia dan Prancis di satu pihak dengan Aljazair pada pihak yang lain.
Wahai rejim militer Aljazair! Sepandai-pandai membungkus barang yang busuk akhirnya berbau juga. Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh jua. Di dunia ini telah terbongkar, apatah pula di Hari Pengadilan kelak. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 21 Desember 1997