4 Januari 1998

305. Profesionalisme dan Teknologi Jangan Dikultuskan

Matsumoto yang menjadi pimpinan kelompok penyelam, adalah penyelam yang profesional. Betapa tidak, dia pemegang bintang lima untuk klasifikasi penyelam. Dengan klasifikasi bintang lima itu dia handal untuk menyelam di bagian laut mana saja di dunia. Demikian pula keempat orang anggotanya semuanya penyelam profesional, itu menurut keterangan petugas biro perjalanan kepada Zubair Ali, pemandu wisata bawah laut, yang memandu kelima penyelam Jepang itu. Maka menyelam di selat Selayar, rupanya soal kecil bagi mereka itu.

Kelima penyelam Jepang itu menolak memakai tali pengaman yang dihubungkan dengan perahu yang gunanya untuk menjaga jangan sampai para penyelam itu terpisah dari perahunya. Rupanya tali pengaman itu mereka anggap kuno, karena menghalangi kebebasan mereka untuk menikmati pemandangan bawah laut, ataupun mengejar ikan. Tatkala menolak itu mereka memperlihatkan peralatan canggih, seperti lampu kecil yang otomatis menyala dan balon yang dapat muncul sampai ketinggian dua meter di atas permukaan laut. Maka bertemulah ruas dengan buku, profesional dan teknologi canggih. Apa yang mesti dikuatirkan lagi! Ternyata kelima orang Jepang yang profesional itu hilang lenyap di telan ganasnya arus laut di kawasan selat itu. Upaya menyisir perairan teluk Bone tidak berhasil menemukan mereka. Ironisnya, Zubair yang belum profesional itu yang selamat.

Kembali pada tali pengaman, itu sangat perlu dipakai di tempat seperti selat Selayar, yang arusnya canggih (complicated, bukan dalam arti sophisticated). Arus laut di dalam air biasa bertentangan arahnya dengan arus laut pada permukaan. Bayangkan jika penyelam diseret arus di dalam air dengan kecepatan 15 km perjam, sementara perahu diseret dengan kecepatan sama oleh arus laut pada permukaan dalam arah yang berlawanan, maka setelah 30 menit penyelam itu nongol di permukaan laut, jarak antara dia dengan perahunya sudah 15 km. Dalam jarak itu perahu dilihat dari penyelam sudah terlindung di bawah lengkungnya bumi, demikian pula dari pihak perahu, penyelam itu walaupun menaikkan balon setinggi 2 meter sudah lenyap di bawah lengkungnya bumi.

Saya teringat waktu masih kecil di Batangmata, Selayar. Waktu itu perahu pinisi masih jaya-jayanya. Waktu mereka berlayar (ke Ambon di musim barat, ke Jawa dan Sumatera di musim timur), seisi kampung mengantar melepas perahu-perahu itu, diikuti terus dengan mata dari pinggir pantai. Mula-mula badan perahu itu seakan-akan ditelan oleh laut, kemudian menyusul layarnya makin tenggelam, mulai dari layar besar hingga cocoro' (layar segi tiga di puncak) hilang dari cakrawala. Saya bertanya kepada orang tua-tua mengapa demikian. "Iya minjo tanrana a'bo'dong linonni dongo'". (Itu tandanya bumi bulat dungu).

Korea Selatan adalah salah satu macan ekonomi Asia. Tentu saja gelar macan ini dapat dicapai, oleh karena para pengatur dan pelaku ekonominya para profesional. Ternyata macan ini tak urung digoncang oleh gempa krisis moneter. Konon kabarnya setiap hari ada saja seorang pengusaha yang bunuh diri di negeri macan Asia itu, yang sekarang sudah menjadi macan ompong.

Pesawat penumpang Silk Air Boeing 737-300 dalam penerbangan ke Singapura baru-baru ini meledak di udara, kemudian jatuh di sungai Musi, Sungsang. Padahal pesawat tesebut sudah dijamin betul laik terbangnya oleh para teknisi yang profesional. Bertahun-tahun lalu roket yang membawa kapal angkasa ulang-alik Chalenger meledak belum jauh dari bumi, masih di lapisan atmosfer. Padahal yang merekayasa teknologi canggih itu adalah para profesional dalam bidang ilmunya masing-masing.

Dari contoh-contoh itu membuka mata hati kita semua, yakni sesungguhnya kejadian-kejadian itu merupakan peringatan Allah SWT bahwa profesionalisme dan kecanggihan teknolgi tidaklah menjamin akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Profesionalisme dan teknologi merupakan persyaratan yang perlu, tetapi belum cukup. Profesionalisme dan teknologi adalah upaya untuk mencapai keinginan kita. Namun keinginan manusia dalam skala mikro hanya akan tercapai, apabila sinkron dengan skala makro Kehendak Allah SWT. Inilah makna ucapan Insya Allah.

Orang-orang Quraisy pada zaman pra-Islam adalah pedagang profesional yang membawa kafilah dalam musim dingin dan musim panas. Dalam musim panas mereka membawa kafilah dagang ke Syria dan dalam musim dingin mereka berdagang ke Yaman. Allah mengingatkan dalam S. Quraisy supaya mereka jangan hanya mengandalkan profesionalisme berdagang dan teknologi kafilah dagang. Mereka itu jangan lupa kepada Allah, Yang memberikan mereka makan sehingga terbebas dari kelaparan: Alladziy Ath'amahum min Juw'in (S. Quraisy, 106:4).

Nabi Muhammad SAW diutus untuk seluruh ummat manusia di segala tempat di permukaan bumi pada setiap waktu hingga kiamat. Oleh sebab itu peringatan Allah kepada orang-orang Quraisy itu berlaku juga untuk segala bangsa, tidak terkecuali bangsa Indonesia. Kita bangsa Indonesia mempunyai potensi kekayaan alam yang harus dikelola dengan baik. Untuk itu diperlukan sumberdaya manusia yang profesional dan teknologi. Namun profesionalisme dan teknologi tidak berdaya terhadap tentara Allah yang berwujud angin puting beliung seperti el Nino yang diikuti oleh tentara Allah berupa api yang membakar hutan, akibat kemarau panjang yang baru saja kita alami. Apa yang dihadapi oleh kelima orang Jepang itu adalah arus laut salah satu pula tentara Allah yang berupa air. Setelah kemarau panjang ini kita akan menghadapi lagi tentara Allah berupa air bah, dan sewaktu-waktu tanpa di sangka-sangka muncul pula tentara Allah berupa gempa bumi. Profesionalisme dan teknololgi tidak berdaya menghadapi itu semua. Upaya teknologis menabur awan (bukan membuat hujan!) seperti yang baru kita upayakan pada waktu kemarau yang baru saja lampau, ternyata tidak membawa hasil apa-apa. Kemarau panjang ataupun air bah membawa akibat bahaya kelaparan. Inilah makna Alladziy Ath'amahum min Juw'in, seperti Firman Allah yang telah dikutip di atas tadi.

Alhasil profesionalisme dan teknologi canggih itu sangat diperlukan, tetapi harus hati-hati jangan dikultuskan. Allahu Akbar! WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 4 Januari 1998