25 Januari 1998

308. Ujicoba Doktrin Freud Dengan Ayat Qawliyah

Rampatan (generalisasi) doktrin Freud melalui ilmu statistik belum pernah dan tak akan pernah dapat dilakukan. Hal itu adalah keniscayaan seperti dikatakan dalam Seri 307 yang lalu. Karena rujukan pada ayat Kawniyah (ayat alam) sebagai sumber informsi tak akan pernah dapat dilakukan, maka ditempuhlah alternatif rujukan pada ayat Qawliyah (Al Quran) dan Al Hadits.

Dalam Al Quran dikenal tiga jenis personalitas atau kejiwaan yang disebut An Nafs(u). Kata ini dipungut ke dalam bahasa Indonesia: nafsu dengan perubahan makna, berkonotasi jelek, biasanya dalam bentuk kata majemuk: hawa nafsu. Ketiga jenis kejiwaan itu adalah: Pertama, An Nafsu lAmma-rah. Sesungguhnya Nafsu Ammrah itu mendorong untuk berbuat kejahatan (S.Yuwsuf, 12: 53). Kedua, An Nafsu lLawa-mah. Dan Aku bersumpah dengan Nafsu Lawwamah (dalam diri manusia) (S.Al Qiya-mah, 75:2). Nafsu Lawwamah ini mendorong manusia untuk introspeksi. Wa ma- Ka-na liy 'alaykum min Sultha-nin illay an Da'awtukum faStajabtum liy, fala- Taluwmuwny wa Luwmuw Anfusakum, (Setan berkata) tidak ada kekuasaan dariku atasmu, kecuali aku membujukmu dan engkau tergiur. Sebab itu janganlah kamu mencercaku, melainkan cercalah dirimu sendiri (S.Ibrahim, 14:22). Ayat ini menjelaskan tentang ucapan setan kepada manusia yang sudah terlanjur mengikuti Nafsu Ammarahnya, lalu mengumpat setan yang telah menjerumuskannya. Janganlah mengumpat setan, kritiklah dirimu sendiri, introspeksilah. Yang ketiga, An Nafsu lMuthmainnah. Hai Nafsu Muthmainnah, (jiwa yang tenang dan suci) (S.Al Fajr, 89:27).

Freud telah berjasa memperinci jenis Nafsu Ammarah itu dalam gambaran Idnya. Namun kesalahan Freud yang fatal ialah bahwa agama yang bersumberkan wahyu dipandang sebagai perkembangan libido. Pandangan Freud bahwa libido adalah sumber dari karya kreatif sangatlah spekulatif dan terlalu ekstrem. Selanjutnya aktivitas mental Id yang diletakkan Freud dalam alam bawah sadar, memberikan konsekwensi bahwa manusia itu tidak dapat diminta pertanggung-jawabannya. Bukankah perbuatannya itu didorong oleh hasrat yang tidak disadarinya? Freud yang melecehkan tanggung jawab asasi manusia ini bertentangan dengan aqidah tentang Yawmu dDiyn (Hari Pengadilan).

Semua kehandalan kultural manusia, seperti seni, hukum, agama dll. bukanlah perkembangan libido. Libido yang berkarakteristik seksual itu hanyalah sekadar salah satu unsur dari Nafsun Ammarah. Doktrin libido bertentangan dengan aqidah, karena Freud menganggap libido itu sumber agama.

Menurut Hadits manusia berpikir dan kemudian berbuat jahat, oleh karena tatkala itu sedang lupa kepada Allah, namun ia menyadari akan pikiran dan perbuatannya itu. Rasulullah SAW bersabda: Pezina tidak berzina tatkala ia dalam keadaan beriman. Pencuri tidak mencuri tatkala ia dalam keadaan beriman, dan peminum tidak minum tatkala ia dalam keadaan beriman (Hadits Shahih riwayat Al Bukhari dan Muslim dan yang lain-lain dari keduanya, dari Abu Hurairah). Jadi orang berbuat jahat itu karena ia lupa kepada Allah, namun ia sadar kan dirinya tatkala ia berbuat itu.

Bahwa Super-Ego itu adalah evolusi mental yang tertinggi dari manusia itu ada benarnya. Bahwa manusia senantiasa berusaha mencapai Nafsu Muthmainnah, menjadi Sufi dan WaliyuLlah (dalam arti tasawuf yang tidak "liar"). Yang tidak benar adalah Super-Ego itu dimasukkan sebagai aktivitas mental dalam alam bawah sadar. Nafsu Muthma'innah itu adalah tahap kesadaran yang paling tinggi.

Dalam Al Quran disebutkan bahwa Nabi Yusuf AS bermimpi melihat 11 bulan, matahari dan bulan sujud kepadanya. Itu bukan drama dalam alam bawah sadar. Itu bukan hasrat terpendam Yusuf yang masih remaja itu ingin menjadi orang berkuasa sehingga orang-orang tunduk kepadanya. Itu adalah pertanda dari Allah SWT untuk masa yang akan datang. Yaitu Nabi Yusuf AS kelak di kemudian hari akan menjadi raja muda Mesir. Tatkala itu ke-11 saudaranya, bapaknya (Nabi Ya'cub AS) dan ibunya menghormatinya sebagai raja muda. Mimpi raja Mesir (bukan dari dinasti Fir'aun), 7 ekor sapi gemuk dimakan 7 ekor sapi kurus, bukan drama alam bawah sadar raja Mesir.

Di samping mimpi sebagai pertanda dari Allah SWT untuk para nabi dan waliyullah serta orang-orang tertentu yang dipilih Allah, mimpi adalah aktivitas jiwa dalam qalbu (sadru + fuad + hawa) yang bekerja terus. Mimpi tukang jahit Singer dikejar-kejar orang memegang tombak yang ujungnya berlubang adalah proses berpikir dalam fuadnya berjalan terus selagi ia tidur. Ia berhasil memecahkan permasalahan di dalam tidur bagaimana menyelesaikan jahitan yang bertumpuk menjelang tahun baru, yaitu dengan membuat jarum yang berlubang pada ujungnya yang runcing. Mimpi makan kenyang orang terapung di atas rakit di tengah laut adalah proses naluri mempertahankan hidup dalam hawanya berlanjut terus sementara ia tidur (hal ini juga diangkat dalam novel sastra daerah Makassar "I Kukang"), adalah proses naluri mempertahankan hidup dalam ALHWY (dibaca: al hawa-) yang berlanjut terus sementara ia tidur.

Demikianlah mimpi itu bukanlah pencapaian tersembunyi dari hasrat yang tertekan. Mimpi itu bukanlah drama dalam alam bawah sadar, dan bukan pula produk konflik dalam alam bawah sadar. Mimpi itu tidak lain adalah pertanda untuk masa yang akan datang dari Allah SWT yang diberikan kepada para Nabi, waliyuLlah ataupun orang-orang tertentu, atau mimpi itu adalah proses merasa, berpikir dan bernaluri yang berlanjut terus tatkala tidur.

Terakhir, tidak ada konflik antara Id dengan Super-Ego dalam alam bawah sadar, karena alam bawah sadar itu tidak ada. Sesungguhnya persepsi Freud tentang alam bawah sadar tidak lain melainkan rekaman pada kulit otak tentang pengalaman proses merasa, berpikir dan bernaluri, ibarat rekaman pada tape recorder. Telah dijelaskan dalam Seri 306 bahwa nafsu (jiwa) merasa, berpikir dan bernaluri dengan memakai mekanisme otak dalam jisim. Doktrin alam bawah sadar bertentangan dengan aqidah adanya Hari Pengadilan. Manusia harus mempertanggung-jawabkan seluruh aktivitasnya di dunia ini pada Hari Pengadilan kelak. Allah Maha Adil, memberikan ganjaran baik atau buruk sesuai yang dilakukan manusia dengan sadar. Semua aktivitas jiwa disadari, karena jiwa itu disinari oleh ruh. Ruh inilah yang menyebabkan manusia itu sadar akan eksitensinya. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 25 Januari 1998