11 Januari 1998

306. Puasa Meningkatkan Kecerdasan Perasaan, Pikiran dan Naluri

Dalam bahasa Makassar dikenal ungkapan: rupa tau, ilalanganna taua dan ma'nassa tau. Manusia dapat dikenal identitasnya dari tubuh kasarnya, inilah yang disebut dengan rupa tau, yang dikenal dengan istilah jismun (jisim). Di dalam jisim ada bagian halus, itulah yang disebut ilalanganna taua (bagian dalam manusia), yang dikenal dengan istilah nafsun (nafsu). Lebih dalam dari itu ada bagian yang sangat halus, itulah yang disebut rahasia yaitu ma'nassa tau (manusia sesungguhnya), yang dikenal dengan istilah ruwhun (ruh).

Ilmu yang menyangkut dengan jisim disebut ilmu jasmani, ilmu tubuh manusia. Ilmu mengenai nafsu disebut ilmu nafsani (ilmu kedirian, ilmu jiwa, psikologi). Nafsu (diri, jiwa) inilah yang merasa dan berpikir (berakal) serta berkemauan. Ruh menyebabkan manusia sadar akan existensinya. Ruh itu menyinari jiwa sehingga jiwa itu menyadari semua aktivitasnya: merasa, berpikir dan berkemauan. Jadi tidak ada alam bawah sadar, seperti telah saya bahas dalam OPINI, Harian FAJAR, hari Kamis 31/3-1994 dan Sabtu 2/4-1994 yang berjudul: Psikoanalisis Hasil Iqra Sigmund Freud yang Diecerkan Secara Global). Ruh juga mengatur perimbangan aktivitas jiwa dalam merasa, berpikir dan bernaluri. Hanya itulah pengetahuan manusia yang sedikit tentang ruh. Tidak ada ilmu ruhani, oleh karena ruh tidak dapat dikaji oleh manusia.

-- WaYasaluwnaka 'ani rRuwhi Quli rRuwhu min Amri Rabby waMa- Uwtiytum mina l'Ilmi Illa- Qaliylan (S. Bany Isra-iyl, 17:85). Mereka bertanya kepada engkau tentang ruh, katakan ruh itu urusan Maha Pengaturku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit..

Ada tiga jenis kecerdasan yang bisa diukur, yaitu kecerdasan perasaan (emosi), kecerdasan pikiran (akal) dan kecerdasan naluri (instink). Jiwa merasa di dalam shadrun (dada halus, sadru), berpikir di dalam fuadun (fuad), dan bernaluri di dalam haway (hawa). Jiwa merasa dan berpikir serta bernaluri dengan memakai mekanisme perangkat kasar dalam jisim yang disebut otak. Tingkat kecerdasan perasaan diukur dalam besaran emotional quotient (EQ), tingkat kecerdasan pikiran diukur dalam besaran intelligence quotient (IQ), namun sepanjang pengetahuan saya walaupun secara teori tingkat kecerdasan naluri dapat diukur, sampai sekarang belum ada tolok ukurnya. Lebih-lebih lagi yang tak mungkin dapat diukur itu kecerdasan ruhaniyah, berhubung telah disebutkan di atas, bahwa ruh itu adalah rahasia.

Dalam tataran jasmani ada yang disebut qalbun (qalbu) yaitu jantung. Qalbu juga terdapat dalam tataran nafsani, ini yang disebut hati dalam bahasa Indonesia. Ada pula yang disebut lubbun (lub) di dalam tatarasan nafsani. Hubungan di antara kelima substansi dalam tataran nafsani itu dapat dijelaskan dalam bentuk rumus:

qalbu = lub + hawa
lub = sadru + fuad
qalbu = sadru + fuad + hawa

Iman terletak di dalam sadru. Alladziy Yuwaswisu fiy Shuduwri nNa-si (S. An Na-s, 114:5), yaitu (syaitan) yang membisikkan dalam sadru manusia. Yang diganggu syaitan dalam sadru manusia ialah iman.

Puncak kecerdasan emosi ialah rasa cinta dan anNafsu lMuthmainnah, (S. Al Fajr, 89:27), nafsu (jiwa) yang tenang. DzikruLlah (ingat akan Allah) bukanlah dengan akal melainkan dengan rasa. DzikruLlah bagi seorang sufi dalam lapangan tasawuf akan mencapai puncaknya berupa rasa cinta kepada Allah dan RasulNya. Kecerdasan berpikir filosof dan pakar dalam lapangan filsafat dan ilmu pengetahuan akan menghasilkan kepuasan intelektual.

Apabila dalam diri seseorang tercapai keseimbangan antara perasaan dengan pikiran, maka dalam Al Quran yang bersangkutan mendapat predikat Ulu lAlbab. Al Albab adalah bentuk jama' dari al Lub. Siapakah Ulu lAlbab itu?

Alladziyna Yadzkuruwna Llaha Qiya-man waQu'uwdan wa'alay Junuwbihim waYatakkaruwna fiy Khalqi sSamawati walArdhi Rabbana- Ma- Khalaqta Hadza Ba-thilan Subhanaka faQina- 'Adza-ba nNa-ri (S. Ali 'Imra-n, 3:191). yaitu mereka yang berdzikir akan Allah tatkala berdiri, duduk dan berbaring, dan memikirkan tentang terciptanya (benda-benda) langit dan bumi (lalu berkata): Wahai Maha Pemelihara kami tidaklah Engkau jadikan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau peliharalah kami dari azab neraka. Ulu lAlbab ialah mereka yang jiwanya berdzikir dan berpikir secara seimbang, EQ dan IQnya sama tingginya. Tidak membiarkan EQnya tinggi, sedangkan IQnya rendah. Juga tidak membiarkan IQnya tinggi, sedangkan EQnya rendah.

Naluri mempertahankan diri berwujud mencari makanan kalau lapar, mencari minuman kalau haus, melawan atau melarikan diri kalau diancam bahaya, dan hasrat sexual untuk melanjutkan keturunan. Termasuk dalam naluri mempertahankan diri ialah bernafas, yaitu mengambil O2 dan mengeluarkan CO2 (respirasi). Boleh jadi kata nafas berasal pula dari nafsun. Bagian naluri yang mendorong untuk bernafas ini disebut nyawa. Apabila manusia mati, ruhnya ke alam barzakh menanti hari qiyamat (berbangkit). Demikianlah ruh itu kekal, sedangkan jiwa padam, nyawa putus dan tubuh hancur menjadi tanah setelah manusia mati.

Bukan saja perasaan dan pikiran yang harus seimbang. Jiwa harus pula menyeimbangkan lub (perasaan + pikiran) di satu pihak dengan naluri di lain pihak. Naluri yang agresif akan menurunkan kecerdasan naluri hingga ketitik yang serendah-rendahnya, asfala sa-filiyna (S. At Tiyn, 95:5), yaitu naluri mempertahankan diri itu menjadi liar, sehingga seseorang akan menjadi pemangsa sesamanya (kannibal). Kecerdasan naluri mencapai puncaknya jika terjadi keseimbangan antara lub dengan naluri.

Dalam bulan Ramadhan yang suci ini jiwa dilatih untuk mengendalikan naluri mempertahankan diri yang terdiri utamanya dari hasrat yang bersifat biologis, yaitu makan minum dan sex. Demikianlah puasa dapat meningkatkan kecerdasan naluri, hasrat biologis dapat terkendali.

Dalam bulan Ramadhan jiwa mengadakan imanan wahtisaban (introspeksi atas dasar iman) sehingga jiwa dapat meningkatkan kecerdasan perasaan dan pikiran. Dan yang tidak kurang pentingnya, puasa dapat merasakan derita orang miskin yang juga akan meningkatkan kecerdasan perasaan. Jikalau tingginya IQ (hasil ihtisaban) hanya menggeluti teori-teori mengentaskan kemiskinan, maka tingginya EQ (hasil olah rasa) yang membuahkan rasa cinta dan solidaritas atas derita orang-orang sengsara hidupnya, akan menumbuhkan sikap tanggung jawab untuk mewujudkan teori-teori mengentaskan kemiskinan itu dalam kenyataan. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar 11 Januari 1998