1 Maret 1998

312. Sekapur Sirih Untuk Sidang Umum MPR

Dalam Syari'at yang dipertajam dalam Ilmu Fiqh kekayaan itu harus dibingkai dengan cara-cara yang harus ditempuh untuk mendapatkan kekayaan itu, serta kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi untuk memanfaatkan kekayaan itu. Dalam bidang tasawuf kekayaan itu dibingkai oleh sikap tidak mencintai dunia (baca: uang dan harta). Seorang sufi tidak harus membelakangi dunia, ia dapat saja kaya, akan tetapi hatinya tidak terpaut pada kecintaan uang dan harta, melainkan cinta kepada Allah dan RasulNya.

Dalam kolom ini pembahasan tidak difokuskan pada kekayaan yang dibingkai dalam Ilmu Fiqh maupun tasawuf, melainkan yang akan dibicarakan adalah kekayaan yang dibingkai secara sosiologis ekonomis. Mengapa? Karena itulah yang relevan sekarang dalam kontex poly-krisis, yang bermula dari krisis moneter, meningkat ke krisis ekonomi dan ketingkat krisis selanjutnya.

Firman Allah SWT:

Kay La- Yakuwna Duwlatan Bayna lAghniya-i minKum (S. Al Hasyr, 59:7), supaya (apa-apa yang diberikan Allah) itu jangan beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu.

Apa-apa yang dilarang Allah SWT niscaya membawa mala-petaka apabila dikerjakan, tidak terkecuali kekayaan yang hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Sila Kelima yang telah dijabarkan ke dalam urutan pertama Trilogi Pembangunan, telah diwujudkan dalam kenyataan, yaitu pembangunan dan hasil-hasilnya telah relatif merata di seluruh Indonesia. Namun demikian, selama ini kita bangsa Indonesia sadar atau tidak sadar telah melanggar ayat (59:7) tersebut. Konglomerat selama ini telah menguasai peredaran dana sekitar 70%, padahal jumlah mereka hanya sedikit sekali (sekitar 200 orang).

Perekonomian kita selama ini ditopang oleh para konglomerat, yang nota bene juga mempunyai bank, yang menarik dana dari rakyat banyak melalui sistem tabungan berbunga. Yang juga meminjam dana dari negeri-negeri atas angin, yang sudah tiba masanya harus dikembalikan bersama bunganya. Yang harus mendapatkan dollar untuk membayarnya. Yang menyebabkan dollar menjadi barang dagangan, yang berujung pada krisis moneter. Bersinergi pula dengan kredit macet, akibat ulah petinggi bank yang berkolusi dengan pengusaha, yang menyebabkan bank-bank sakit parah, yang 16 buah di antaranya telah dilikwidasi.

Konglomerasi berasal dari bahasa Inggris conglomeration yang berarti anything composed of heterogeneous materials or elements, apa saja yang terdiri atas sejumlah material atau unsur-unsur yang heterogen. Contohnya seperti dalam geologi misalnya, batu karang adalah konglomerasi batu-batuan, kerikil dan sebangsanya. Dalam bahasa Indonesia pelaku konglomerasi disebut konglomerat. Istilah konglomerat dan konglomerasi mengalami pergeseran makna yang menyempit. Konglomerasi terkhusus hanya pada pengelompokan berjenis-jenis usaha dagang ataupun industri dalam satu badan usaha oleh konglomerat.

Konglomerasi dalam usaha dagang dan industri itu secara nafsani (kejiwaan) tidaklah terlepas dari nafsun ammarah yang mendorong manusia untuk tidak puas-puasnya. Secara teknis pragmatis timbulnya konglomerasi berdasar atas pertimbangan fluktuasi pasar di antara jenis usaha yang dikelompokkan itu. Secara bergantian dalam intern konglomerasi itu unsur jenis usaha yang sedang mengalami lesu pasar ditopang oleh unsur jenis usaha yang pasarnya sedang naik daun.

Dalam dunia ketiga (developing countries) ada dua pola dalam membangun negerinya. Ada pola Brazil yang sangat bernafsu mengejar dunia maju (developed countries), perbesar kue pembangunan baru dibagi. Ada pola Tanzania yang mementingkan distribusi dan penekanan pada usaha padat karya dengan risiko pertumbuhan lambat, kue pembangunan biar kecil-kecil sudah dibagi-bagi. Teknologi yang dipakai dalam usaha padat karya adalah teknologi sederhana, sedangkan teknologi sederhana akan menghasilkan nilai tambah yang rendah. Itulah sebabnya penekanan pada usaha padat karya akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang rendah.

Kita masih ingat mendiang Ali Murtopo (baca: CSIS) arsitek akselerasi modernisasi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, supaya dapat mengejar negara-negara maju. Rupanya CSIS memilih pola Brazil. Akselerasi lebih cepat dari kecepatan. Dalam ilmu mekanika kecepatan hanya diukur dalam meter per detik, sedangkan akselerasi dalam meter kuadrat per detik. Untuk mencapai tujuan itu perlu badan usaha dan industri yang padat modal. Bukan badan usaha dan industri yang padat karya yang hanya menghasilkan pertumbuhan yang rendah. Inilah asal-muasal munculnya para konglomerat yang menguasai peredaran dana yang 70% itu.

Bahwa belakangan, setelah CSIS telah tersingkir dari lingkaran kekuasaan, ada suara-suara utuk memihak pengusaha menengah dan kecil yang banyak jumlahnya, akan tetapi kesadaran itu sudah terlambat. Sudah terlalu lama kita melanggar ayat (59:7). Oleh karena kekayaan itu selama ini hanya sekitar 30% yang beredar dalam kalangan pengusaha menengah dan pengusaha kecil yang jumlahnya ribu-ribuan, maka landasan perekonomian menjadi rapuh. Lalu dengan ambruknya kebanyakan dari para konglomerat itu, karena menanggung utang dari negeri-negeri atas angin yang tak sanggup mereka bayar, maka ambruk pulalah perekonomian kita (baca: krisis ekonomi).

Currency Board System dengan konsultasi International Monetary Fund adalah jurus taktis untuk mengatasi krisis moneter, sedangkan jurus strategis adalah pola Tanzania. Dekonglomerasi, penekanan pada distribusi, badan usaha padat karya pada lapisan bawah, teknologi yang relevan dengan industri kecil. Strategi ini tentu saja tidak menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ini dapat diimbangi dengan teknologi canggih yang padat modal dalam bidang industri pesawat terbang dan industri logam & mesin utamanya mesin perkakas. Seperti diketahui teknologi canggih menghasilkan nilai tambah yang tinggi pula. Bantuan World Bank adalah jurus pertama dari jurus strategis. Sekapur sirih untuk Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang mulai bersidang pada hari ini. Mudah-mudahan kolom ini sempat dibaca oleh sahabat saya Rudy (sebutan akrab Prof. DR Dipl.Ing Al Hajj Baharuddin Jusuf Habibie), yang Insya Allah akan menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 1 Maret 1998