22 Maret 1998

315. Mafia Peradilan dan Cagar Budaya

Pada hari Selasa, 17 Maret 1998, mulai jam 12.20 Wita ditayangkan oleh SCTV acara dialog mengenai mafia peradilan dengan nara-sumber Bismar Siregar, mantan hakim agung yang muballigh. Yang menarik dari dialog yang patut dicatat disini, bahwa dalam kenyataannya selama ini diakui berlangsung semacam mafia peradilan di Indonesia. Bismar Siregar dalam dialog tersebut mengatakan apa yang terjadi dalam lembaga peradilan di Indonesia ini belumlah sampai pada taraf mafia peradilan, akan tetapi diakuinya bahwa telah terjadi kolusi, korupsi dan manipulasi yang dilakukan secara kolektif, yang berkisar dalam substansi uang dan waktu dalam wujud pertanyaan: bayar berapa dan berapa lama? Apa yang dikatakan oleh Bismar Siregar itu sejalan dengan pernyataan Menteri Kehakiman Muladi yang mengatakan bahwa lembaga peradilan bukan tempat mencari uang, melainkan tempat untuk mencari keadilan. Itu berarti secara jujur Menteri Muladi mengakui adanya lahan subur untuk mencari uang di lembaga untuk mencari keadilan tersebut.

Demikianlah poly-krisis (agak menyimpang peristilahan multi-krisis, tetapi maknanya identik) ini bukan hanya terjadi dalam bidang moneter, ekonomi, kepercayaan, akan tetapi juga terjadi krisis di bidang hukum. Kalau krisis moneter dan ekonomi baru berlangsung dalam hitungan bulanan, namun menurut apa yang disimak dari informasi Bismar Siregar tersebut di atas, krisis di bidang hukum telah terjadi dalam bilangan tahunan, sampai membentuk semacam filsafat bodoh: adalah bodoh, kalau tidak ikut dalam aktivitas kolektif kolusi, korupsi dan manipulasi. Menurut Bismar Siregar tidak semuanya yang menganut filsafat bodoh semacam itu, namun jumlahnya tidak banyak. Sungguh suatu pekerjaan rumah yang berat di atas pundak Menteri Muladi untuk membenahi dan membersihkan lembaga peradilan di Indonesia. Pembersihan birokrasi dari kolusi, korupsi dan manipulasi betul-betul harus dimulai dari lembaga tempat orang mencari keadilan ini.

Allah SWT berfirman: WaLa- Ta'kuluw Amwa-lakum Baynakum bilBa-thili waTudluw biHa- ila- lHukka-mi liTa'kuluw Fariyqan min Amwa-li nNa-si bilItsmi waAntum Ta'lamuwna (S. Al Baqarah, 2:188). Janganlah sebahagian dari kamu makan harta orang lain dengan batil dan (jangan) kamu bawa ke hadapan Al Hukkam, supaya kamu dapat makan sebagian dari harta orang dengan berdosa, padahal kamu mengetahuinya.

Secara substantif makan harta orang lain dengan batil adalah merugikan orang lain. Al Hukkam tidak diterjemahkan dengan hakim, oleh karena Al Hukkam itu pengertiannya lebih luas dari hakim. Al Hukkam adalah sebuah sistem lembaga yang berwewenang memberikan sanksi terhadap suatu pertikaian. Itu dapat berarti lembaga peradilan yang memutuskan benar atau salah baik itu dari jenis perkara perdata maupun pidana. Al Hukkam dapat pula berarti lembaga birokrasi seperti misalnya Pemda yang menggusur pemukim yang telah beranak bercucu yang dianggap tidak sah bermukim di tanah negara ataupun di tanah milik sebuah badan usaha yang telah membeli tanah negara itu dari Pemda.

Ayat (2:188) yang dikutip di atas itu menjelaskan perkara perdata yang di dalamnya tersirat perkara pidana. Orang ataupun badan hukum yang membawa kepada Al Hukkam secara perdata, namun ia tahu betul bahwa apa yang dilakukannya itu sesungguhnya tidak benar, artinya ia mengelabui ataupun menipu hendak merampas hak orang lain dengan memakai lembaga peradilan untuk menguatkan tipu dayanya. Ayat (2:188) tersebut juga mengisyaratkan bahwa hal merugikan orang lain dengan jalan membawanya kepada Al Hukkam itu akan berlangsung sepanjang sejarah ummat manusia. Katakanlah antara sebuah badan usaha developer yang berupaya menguasai tanah bertikai dengan penghuni yang telah bermukim di atas tanah itu. Di hadapan Al Hukkam developer itu dapat membuktikan hak kepemilikan atas tanah itu, oleh karena badan usaha itu menyodorkan sertifikat atas tanah tersebut, yang diperolehnya dengan kolusi, korupsi dan manipulasi yang dilakukan secara kolektif. Sedangkan para pemukim yang sebenarnya berhak atas tanah itu tidak dapat membuktikan dalam sidang karena tidak mempunyai sertifikat, berhubung mereka itu buta hukum. Maka tentu saja developer yang bersangkutan akan memenangkan perkara perdata tersebut.

Secara kontextual yang parsial ayat (2:188) mengisyaratkan terjadinya beberapa kasus dalam pembangunan, seperti misalnya pulau Lae-Lae. Pulau itu harus dikosongkan oleh karena konon pulau tersebut telah dibebaskan (baca: dibeli) oleh sebuah badan usaha industri pariwisata. Masyarakat pemukim atas pulau itu tentu saja merasa dirugikan karena disuruh pindah. Buktinya? Mereka diberikan ganti rugi, jadi Pemda mengakui itu suatu kerugian bagi masyarakat yang akan meninggalkan pemukimannya. Bagaimana caranya supaya dapat berlepas diri dari dosa merugikan orang lain. Caranya gampang, berikanlah mereka itu ganti untung, artinya di pemukiman baru mereka itu lebih beruntung kelak.

Atau dapat pula dengan cara nenek moyang kita. Menarik rambut di tepung, rambut tak putus, tepung tidak berserak. Kedua belah pihak sama-sama beruntung, ini sangat sesuai dan konsisten dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Pulau Lae-Lae tetap sebagai obyek wisata. Pulau tersebut ditata sedemikian rupa sehingga menjadi Cagar Budaya kampung nelayan. Wisatawan manca-negara tentu lebih tertarik pada Cagar Budaya kampung nelayan itu ketimbang membangun bangunan-bangunan yang sudah biasa dilihatnya di negerinya masing-masing. Apa pula jika badan usaha itu mengorganiser sampan-sampan tradisional yang akan dipakai untuk menyeberang, menggantikan perahu bermotor yang mengeluarkan polusi. Pada sisi lain dari pantai yang tidak berpenghuni didirikan restoran sederhana yang mengumandangkan lagu-lagu jenis musik hawaian, musik yang cocok sekali dengan alunan ombak di laut. Ada seorang tokoh yang ingin sekali menghidupkan kembali musik hawaian, yaitu Pak J.E. Habibie, mantan Dubes di United Kingdom. WaLlahu a'lamu bi shshawab.

*** Makassar, 22 Maret 1998