8 Maret 1998

313. Tranparansi Kekayaan Para Umara

Setiap kali Nabi Zakaria AS, yang mengasuh dan membesarkan Maryam binti 'Imran, masuk ke mihrab senantiasa telah tersedia makanan di hadapan Maryam. Bertanyalah Nabi Zakariya AS:

YaMaryamu Annay Laki Hadza- Qa-lat Huwa min 'indi Llahi (S. Ali 'Imra-n, 3:37), hai Maryam, dari manakah engkau mendapatkan
ini, berkata (Maryam) ia dari sisi Allah.

Tatkala 'Umar ibn Khattab RA menjadi khalifah, ia memperkembang pertanyaan Nabi Zakaria AS menjadi Annay Laka Hadza-. Pertanyaan tersebut ditujukan Khalifah 'Umar kepada para umara, yaitu para aparatur negara. [Laki dalam ayat dikembangkan Khalifah 'Umar menjadi Laka, oleh karena Maryam adalah perempuan, sedangkan aparat adalah laki-laki]. Khalifah 'Umar mengharapkan (dan harapannya itu terkabul) bahwa seluruh aparat memberikan jawaban yang sama dengan jawaban Maryam, bahwa kekayaan para aparat itu adalah rezeki yang halal dari Allah SWT, bukan harta yang haram dari setan.

Bahkan pertanyaan dari manakah engkau dapatkan itu pernah pula ditujukan kepada Khalifah 'Umar sendiri oleh seorang rakyat biasa. Yaitu tatkala Khalifah 'Umar baru mulai angkat bicara di hadapan rakyatnya, lalu diinterupsi oleh salah seorang dari majelis (audience): "Hai 'Umar, saya tidak mau mendengarkan bicaramu, sebelum engkau menjelaskan dari mana asalnya kain yang engkau jadikan jubbah yang engkau pakai itu." Tubuh 'Umar besar tinggi, sehingga tidak mungkin kain pembagian yang dibagi rata akan dapat menutupi seluruh tubuh 'Umar setelah menjadi jubbah. Mendengar interupsi itu Khalifah 'Umar tidak marah, ia hanya
minta kepada anaknya untuk menjawabkannya. Maka berdirilah 'Abdullah memberikan penjelasan: "Jatah pembagian kain untuk saya, saya berikan kepada ayah saya."

Demikianlah dalam tarikh Islam kekayaan umara ditransparankan kepada khalayak, bahkan sampai kepada yang kecil sekalipun seperti jubbah. Walaupun para sahabat yang menjadi pejabat itu secara logika dapat dijamin tentang akhlaqnya, namun tranparansi dan pertanyaan Annay Laka Hadza- itu mempunyai hikmah dalam kontex kewibawaan para umara itu. Demikian pula menginterupsi bukanlah hal yang tabu, karena itu ada hubungannya dengan asas keterbukaan.

Harian FAJAR edisi Rabu, 4 Maret 1998 menjadikan head line tentang kesediaan calon wakil presiden Prof. B.J. Habibie untuk diaudit kekayaannya. Dalam berita itu dikatakan bahwa itu adalah langkah awal untuk menciptakan pemerintahan yang bersih.

Setelah saya pilah-pilah beberapa tanggapan dari beberapa orang terhadap kesediaan Habibie diaudit kekayaannya itu dalam berita tersebut, saya lihat ada tiga jenis tanggapan, pertama yang menyambutnya dengan positif, kedua yang menanggapi bahwa itu telah dikemukakan sebelumnya dan yang ketiga menyambutnya dengan nada mineur.

Yang pertama kita kutip tanggapan salah seorang di antaranya, yaitu pendapat pengamat politik dari UI, DR Amir Santoso. Ia mengatakan bahwa kesediaan Habibie untuk diaudit kekayaannya merupakan pernyataan yang aspiratif. Artinya meskipun tidak ada ketentuan dalam undang-undang, namun kesediaan diperiksa kekayaannya itu merupakan antisipasi hal-hal yang berkembang dimasyarakat. Sikap Habibie itu bagus sekali untuk dijadikan pedoman bagi kabinet yang akan datang.

Yang kedua kita kutip komentar Siswono Yudohusodo, menteri demisioner. Ia mengatakan bahwa ia dahulu pernah melontarkan gagasan agar para pejabat melaporkan kekayaannya. Ia sendiri telah melaporkan kekayaannya kepada presiden. T.B. Silalahi yang juga menteri demsioner mengatakan bahwa ada Kepres mengenai perlunya pejabat tinggi melaporkan harta kekayaannya kepada presiden, hanya saja Kepres itu belum banyak diketahui oleh umum.

Yang ketiga, yang menyambutnya dengan nada mineur, yaitu dari anggota FKP MPR St Hediati Prabowo. Menurut anggota MPR ini pejabat bersih dan jujur itu jauh lebih penting dari dibandingkan dengan hanya mencatatkan kekayaan karena hal itu masih mungkin dilakukan pemalsuan data. Apa gunanya kalau yang dilaporkan itu tidak cocok dengan yang dimilikinya.

Menurut hemat saya ada yang tajam yang tidak diungkap dalam ketiga jenis tanggapan itu. Habibie yang saya kenal betul watak dan sikapnya, tidak akan mengemukakan hal-hal yang telah pernah dikemukakan oleh orang lain. Artinya ia senantiasa mengemukakan gagasan yang orisinal. Watak dan sikap Habibie ini saya kenal akibat pergaulan bertahun-tahun sebagai seorang sahabat yang sering berdebat dengannya. Bahkan ketika Habibie baru pulang ke Indonesia dari Jerman yang datang ke Makassar ini, sempat malam-malam datang ke rumah saya, dan pada waktu itu bertukar pikiran tentang teknologi yang cocok dipakai di Indonesia.

Maksud Habibie bersedia diaudit kekayaannya bukan hanya sekadar diaudit, karena itu sudah dikemukakan oleh Siswono Yudohusodo, ataupun sudah ada dalam Kepres. Gagasan orisinal Habibie diaudit kekayaannya ialah hasil audit itu secara transparan disodorkan kepada rakyat. Silakan rakyat tahu akan kekayaannya itu.

Maka tidak perlu timbul kekhawatiran St Hediati Prabowo tentang kemungkinan adanya pemalsuan data, karena rakyat nanti yang akan ikut mengawasinya. Misalnya terjadi pemalsuan data audit tentang jumlah mobil yang dimiliki oleh seorang pejabat, katakanlah dua biji, maka rakyat, katakanlah teman sejawatnya atau tetangganya akan mengoreksi secara terbuka, bahwa yang bersangkutan sebagai kolektor mobil mewah memiliki katakanlah tujuh biji.

Meskipun Ketua FKP MPR Ginandjar Kartasasmita dan Wkl Ketua FKP St Hardiyanti Rukmana mengatakan bahwa mengaudit kekayaan menteri adalah hak prerogatif presiden, namun menurut hemat saya mengaudit kekayaan ini perlu dikuatkan dengan undang-undang, bahkan untuk seluruh pejabat top down. Karena tidak ada dalam UUD-1945 yang mengatakan bahwa mengaudit kekayaan menteri itu hak prerogatif presiden. Menunjuk menteri dengan mengaudit kekayaan menteri adalah dua hal yang berbeda.

Hendaknya dinyatakan dalam undang-undang itu yang mengaudit adalah sebuah lembaga tersendiri yang tidak bernaung dalam lembaga exekutif, melainkan bernaung dalam lembaga tinggi negara yang setaraf dengan lembaga exekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Dinyatakan pula dalam undang-undang itu bahwa lembaga pengaudit itu bertindak pula mengusut kekayaan para aparat itu dengan asas Annay Laka Hadza-. Maka aparatur negara yang bersih dan berwibawa Insya-Allah akan terwujud. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 8 Maret 1998