5 April 1998

316. Menyimak Nilai-Nilai Upacara Qurban

Allah SWT berfirman:

FalammaA Balagha Ma'ahu (A)lSa'ya QaAla YaBunayya Inniy Aray fiy AlManaAmi Anniy Adzbahuka fa (A)nzhur MaAdzaA Taray QaAla yaAbati (A)f'al MaA Tu"wmaru Satajiduniy In SyaAa (A)llahu mina (A)lShabiriyna (S. Ash ShafaAt 37:102). Tatkala meningkat remaja sehingga telah sanggup membantu pekerjaan nya, maka berkata: Hai anakku, sesungguhnya aku melihat di dalam tidurku, bahwa aku menyembelihmu, maka bagaimanakah pendapatmu mengenai hal ini? berkata: Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, engkau akan mendapati aku, insya Allah, termasuk golongan orang-orang tabah.

Ayat (37:102) mengungkapkan keikhlasan kesediaan berkurban dari kedua belah pihak, ayah dan anak, namun Allah SWT mengganti Ismail dengan hewan sembelihan:

Wafadaynahu biDzibhin 'Azhiymi (S. Ash ShafaAt 37:107). Dan Kami menggantinya dengan seekor sembelihan yang besar.

Apakah yang tersirat di balik penggantian Ismail dengan domba ini? Untuk dapat menyimaknya perlu kita ketahui situasi keagamaan di zamannya Nabi Ibrahim AS, yaitu sekitar 18 abad sebelum Miladiyah. Menjadi kebiasaan dalam agama-agama penyembah berhala dan penyembah dewa-dewa melakukan upacara kurban dengan membunuh manusia. Di Kan'an bayi-bayi dipersembahkan kepada dewa Ba'al; di Mesir gadis-gadis perawan dilemparkan ke dalam S. Nil untuk dipersembahkan kepada dewi penjaga S. Nil, bahkan upacara kurban gadis-gadis perawan ini masih berlangsung hingga zaman permulaan Islam, hingga datangnya pasukan Amr ibn Al Ash ke Mesir, seperti dapat kita baca dalam roman sejarah karya Jirji Zaidan yang berjudul Armanusatu (A)lMishriyah. Maka nilai yang tersirat di balik penggantian Ismail dengan domba, ialah untuk memberikan penekanan, penggaris-bawahan, pembedaan yang jelas antara agama wahyu dengan agama-agama kebudayaan penyembah berhala. Yaitu upacara kurban dari agama wahyu yang diturunkan dari Allah SWT tidak boleh menyembelih, tidak boleh membunuh manusia. Alhasil nilai yang dapat disimak dari sini adalah menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Dari ayat (37:102) dapat pula disimak tentang umur produktif. Isma'il tatkala diinformasikan untuk disembelih sudah baligh, sudah dapat membantu ayahnya bekerja, artinya ia sudah termasuk dalam kategori umur produktif. Berapa umur Isma'il waktu itu? Perlu dijelaskan bahwa pada waktu Isma'il akan disembelih Ishaq belum lahir. Kelahiran Ishaq oleh Sarah, ibunya yang sudah tua renta, adalah suatu kegembiraan sebagai salah satu imbalan terpenting yang diperoleh Nabi Ibrahim AS dari Allah SWT atas kerelaan beliau menyembelih anak tunggalnya, seperti Firman Allah:

WaBasysyarnahu biIshaqa NabiyyAn mina (A)lShalihiyna (S. Ash ShafaAt 37:112). Dan Kami gembirakan ia dengan Ishaq, seorang nabi, yang termasuk orang-orang shalih.

Menurut Perjanjian Lama Isma'il 14 tahun lebih tua dari Ishaq: Abram was eighty-six years old when Hagar bore Ishmael to Abram (Genesis 16:16). Ibrahim berumur delapan puluh enam tahun tatkala Hajar melahirkan Isma'il untuk Ibrahim. And Abraham was an hundred years old, when his son Isaac was born unto him (Genesis, 21:5). Dan Ibrahim berumur seratus tahun tatkala Ishaq dilahirkan untuknya.

Alhasil umur produktif, yaitu apabila seorang anak telah meningkat baligh, tatkala berumur 14 tahun.

Imbalan lain dari Allah SWT atas Nabi Ibrahim AS disebabkan oleh kerelaan beliau menyembelih anak tunggalnya, ialah keinginan beliau untuk mendapatkan anak-cucu keturunan dikabulkan Allah SWT. Bahkan sejumlah nabi-nabi dan rasul-rasul berasal dari keturunan beliau, ditutup dengan nabi dan rasul yang terbesar, yaitu Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Ni'mat itu dianugerahkan kepada Nabi Ibrahim AS tidak secara gratis melainkan didahului dengan cobaan berat, perintah menyembelih anak tunggalnya. Dari sini dapat kita simak sebuah nilai yang penting sekali, yaitu tidak ada yang didapatkan dengan gratis di dunia ini.

Kemajuan Ipatek yang memegang peranan penting dalam pembangunan fisik dan mempermudah hidup, meningkatkan kualitas kehidupan material, juga sama sekali tidak gratis, melainkan harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Teknologi, utamanya mesin-mesin pengganti otot manusia, membawa bencana global. Mesin-mesin perlu makanan, yaitu bahan bakar. Sumber-sumber bahan bakar menjadi incaran negara-negara industri untuk menguasainya. Musibah perang teluk yang dahsyat itu, berpangkal dari perebutan untuk menguasai sumber-sumber bahan bakar di Asia Barat. (Orang-orang barat memakai ungkapan Timur Tengah untuk Asia Barat. Kita di Indonesia ini yang berada di sebelah timur Asia Barat, yang ikut-ikutan pula memakai ungkapan Timur Tengah, bukankah itu berarti kaki kita berjejak di Indonesia, namun kepala kita di Amerika atau Eropa?).

Mesin-mesin mengeluarkan kotoran, yaitu hasil pembakaran, utamanya gas CO2 yang sekarang sudah mengglobal saking banyaknya. CO2 menyebabkan efek rumah kaca, suhu udara naik. Karena CO2 sudah mengglobal, maka pencemaran panas ini mengglobal juga. Bungkah-bungkah es di kutub mencair, air laut naik. Untuk kenyamanan, maka teknologi memberikan kita udara sejuk, ruangan ber-AC. Cairan pendingin atau refrigeran mesin-mesin pendingin berupa zat yang sangat stabil tidak gampang terurai, yaitu zat Freon (nama dagang) atau Chlor Fluor Carbon (CFC). Zat ini karena tidak gampang terurai juga mengglobal, membubung naik ke stratosfer dan memakan zat pelindung ozon yang ditempatkan Allah SAW di atas sana untuk mengurangi intensitas sinar ultra lembayung dari matahari, sinar penyebab kanker kulit. Inilah harga yang harus kita bayar dari penggunaan teknologi: pencemaran panas yang mengglobal serta makin menipis dan berlubangnyanya lapisan ozon. Para ahli lingkungan yang cukup pusing oleh ulah CO2 dan CFC ini berkumpul di Rio de Janeiro, Brazilia. Mereka mencari upaya-upaya maximal berupa konvensi penyelamatan lingkungan. Syukurlah kita di Indonesia telah melaksanakan protokol Rio de Janeiro tentang CFC ini. Yaitu CFC ini tidak dipakai mulai tahun 1998, kecuali yang sudah terlanjur masih dipakai sebagai refrigeran dalam alat rumah tangga, baik yang di rumah-rumah maupun yang dijual di toko-toko. Wallahu A'lamu bisShawab.

*** Makassar, 5 April 1998