19 April 1998

318. Reformasi

Gerakan moral mahasiswa tentang reformasi ekonomi dan reformasi politik sempat menimbulkan kerancuan semantik, yaitu ungkapan politik praktis, yang dilontarkan oleh Mendikbud Wiranto Arismunandar. Mahasiswa tidak boleh berpolitik praktis, kata Arismunandar. Itu bukan hanya sekadar ucapan, melainkan ucapan yang bermuatan instruksi. Kepada semua rektor diinstruksikan supaya menangani instruksinya itu. Maka repotlah para rektor, muncullah tanggapan di sana sini. Timbullah polemik tentang pengertian politik praktis, yang ujung-ujungnya ialah kerancuan semantik, memahamkan istilah itu sesuai dengan selera masing-masing.

Kalau kita tanya orang Bugis dari generasi kakek-nenek: "Aga diaseng politi'", kontan menjawab singkat: "Belle", (dusta). Kalau orang Makassar yang ditanya: "Apa nikana politi'", juga akan menjawab: "Balle-balle", (dusta). Kalau yang ditanya adalah generasi yang berpendidikan "tempo doeloe" (sekolah Belanda), maka akan menjawab: "Politiek is macht vorming en macht aanwending," (politik ialah membina kekuatan dan memanfaatkan kekuatan). Maka supaya tidak timbul kerancuan semantik, hendaknyalah kita meruju' pada istilah dalam nuansa akademik.

Politics is the exercise of power over others or the methods which are intended to influence the decisions and actions of others. Rupanya Mendikbud, seperti apa yang diucapkannya melalui media elektronik, memahamkan politik praktis menurut arti yang kedua, to influence the decisions and actions of others.

Gerakan moral mahasiswa tentang reformasi ini tidaklah mesti mempunyai konsep. Gerakan tersebut tidaklah mesti dituntut tanggung jawab untuk menyodorkan konsep. Syukur-syukur kalau ada. Sebagai analogi, H.B. Yassin sebagai kritikus seni sastra, tidaklah menonjol gubahannya baik berupa sanjak, maupun novel. Pada restoran-restoran yang terkenal ada tukang cicip makanan. Tukang cicip ini bukanlah juru masak yang handal. Ada sebuah cerita yang lucu di Akademi Pendidikan Djasmani Negeri di Bandung dalam tahun 50-han. Sebagaimana dituturkan oleh Yacob Nur, seorang mahasiswa dari APDN tsb., (sekarang dosen senior IKIP) ada seorang dosennya yang ahli betul dalam teori-teori gerakan berenang. Pernah suatu waktu tercebur di kolam renang, tidak timbul-timbul. Mahasiswanya menyangka dosen itu sedang berdemonstrasi menyelam. Akhirnya ketahuan dosen tersebut tidak tahu berenang.

Baik dengan dialog, ataupun tanpa dialog, hendaknya kita sebagai suatu bangsa mempunyai kesepakatan tentang bingkai reformasi itu. Apapun wujudnya reformasi itu hendaknya dibingkai oleh UUD-1945, dan Garis-garis Besar Haluan Negara. Reformasi itu hendaknya hanya menyangkut mengenai peraturan perundang-undangan di bawah GBHN. Seperti contohnya dalam hal reformasi politik, yaitu memperbaiki ataupun mengganti Undang-undang Pemilu agar Pemilu dapat berlangsung dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan bersih, meniadakan massa mengambang, dll. Dengan dialog, ataupun tanpa dialog, serta apapun wujudnya reformasi itu, maka reformasi ekonomi, reformasi politik dan reformasi hukum hendaknya merupakan satu sistem.

Firman Allah SWT: Ya-ayyuha lladziyna a-manuw ttaquLla-ha waltanzhur nafsun maa qaddamat lighadin wattaquLla-ha innaLla-ha khabiyrun bimaa ta'maluwn (S. Al Hasyr, 59:18), artinya: Hai orang-orang beriman, taqwalah kepada Allah dan mestilah setiap diri manusia itu mengobservasi masa lalu untuk hari esok, dan taqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah meliput apa yang kamu kerjakan.

Kita kenal dalam ilmu manajemen yang disebut SWOT. Itu adalah kependekan dari 4 kata: strength, weakness, opportunity, dan threat, kekuatan, kelemahan, kesempatan dan tantangan. Adapun kekuatan dan kelemahan dipihak yang satu dengan kesempatan dan tantangan pada pihak yang lain merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Kekuatan masa lalu membuahkan kesempatan masa depan. Kelemahan masa lalu membuahkan tantangan masa depan. Kekuatan dan kelemahan adalah hasil observasi masa lalu, sedangkan kesempatan dan tantangan adalah orientasi masa depan. Dalam waktu-waktu tertentu, artinya secara berkala, kita perlu mengobservasi masa lalu. Waktu-waktu tertentu itu dalam dimensi ruang-waktu dapat sangat singkat, yaitu berupa titik ruang-waktu.

Dalam tulisan ini kita tidaklah berdiri dalam dimensi ruang-waktu yang sesingkat demikian itu, melainkan dalam cakrawala yang lebih melebar, yaitu dalam ruang-waktu masa poly-krisis. Kemudian, kita itu siapa dan yang diobservasi itu apa. Kemudian masa lalu itu berupa apa? Kita dapat berupa perorangan atau kelompok, dan yang diobservasi itu dapat berupa diri kita sendiri, dan organisasi. Organisasi itu dapat berupa organisasi kecil seperti rumah tangga, organisasi sedang berupa lembaga kenegaraan atau kemasyarakatan, dan organisasi besar, seperti negara dan kumpulan negara. Kemudian masa lalu itu adalah informasi, hasil observasi.

Apa yang dapat diobservasi masa lalu antara lain kebijakan ekonomi, politik dan hukum tidak merupakan satu sistem. Gebrakan Sumarlin tentang menjamurnya bank-bank swasta, para pengusaha besar dan konglomerat berspekulasi bermain utang jangka pendek ke luar negeri untuk mendanai proyek jangka panjang tidak diikat oleh perangkat hukum. Gebrakan Sumarlin adalah akar penyebab utama bank-bank pada sakit parah, ada yang dilikwidasi, ada yang dibekukan, ada yang diawasi. Para spekulan pengutang menjadi akar penyebab krisis moneter. Utang-utang mereka itu ibarat raksasa yang dapat melahap habis devisa kita.

Alhasil bagaimanapun wujud reformasi ekonomi, politik dan hukum yang berbingkai UUD-1945 dan GBHN itu kelak, haruslah merupakan satu sistem, sehingga setiap kebijakan menteri tidaklah simpang siur seperti yang lalu, melainkan ibarat total footbal. Suatu kenyataan yang menyebalkan para spekulan pengutang jangka pendek untuk proyek jangka panjang itu tampaknya tidak dapat dijaring oleh pasal-pasal dalam KUHP, padahal sesungguhnya tindakan mereka itu bermuatan pidana, karena merusak struktur perekonomian nasional. Itulah perlunya reformasi ekonomi, politik dan hukum haruslah menjadi satu sistem. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 19 April 1998