7 Juni 1998

325. Jabariyah dengan Qadariyah Bukanlah Dikhotomi

"Suatu ketika saya pernah menangis tersedu-sedu. Sungguh-sungguh saat itu saya menangis. Yaitu ketika di mushalla dibacakan suatu ayat, bahwa kalau Tuhan menghendaki Dia akan berikan rezeki kepadamu yang dari mana saja asalnya yang kamu tak bakal mengira. Kurang lebih begitu. Saya mendengarnya di sel nomor 6 yang dipakai untuk mushalla. Sel saya nomor 7. Ayat tadi dibacakan saudara Joko saat kultum (kuliah tujuh menit), seusai shalat. Dalam kondisi biasa ayat itu sudah sering saya dengar. Tetapi pada ketika itu saya betul-betul merasakan bahwa itu seperti petunjuk yaitu 'kamu itu tidak usah khawatir tentang rezeki anak isterimu'. Sebab ada kekhawatiran juga di dalam hati saya, bagaimana mereka mendapatkan kebutuhan hidup sehari-hari." Inilah pengakuan Sri Bintang Pamungkas seperti dapat dibaca pada halaman 8 Harian FAJAR, edisi Minggu 31 Mei 1998.

Adapun ayat yang dibaca oleh Joko pada saat kultum tersebut ialah: -- WALLH YRZQ MN YSYAa BGHYR HSAB (S. ALBQRT, 212), dibaca: Walla-hu yarzuqu bighayri hisa-b (s. albaqarah), artinya: Allah memberi rezeki kepada siapa yang menghendaki (rezeki) dengan tidak disangka (dari mana asalnya). Ayat tersebut dapat pula diartikan: Allah memberi rezeki kepada siapa yang (Allah) kehendaki dengan tidak disangka (dari mana asalnya).

Perbedaan terjemahan itu terletak dalam hal fa'il (pelaku) dari fi'il (perbuatan) yasya-u (menghendaki). Apabila pelaku yasya-u adalah man (siapa), maka itulah terjemahan yang pertama. Sedangkan apabila pelaku yasya-u adalah Allah maka itulah terjemahan yang kedua. Pada terjemahan yang pertama Allah aktif memberi rezeki dan manusia juga aktif berkehendak untuk mencari rezeki. Allah aktif dan manusia aktif. Sedangkan pada terjemhan yang kedua Allah aktif berkemauan untuk memberi rezeki namun manusia pasif menerima rezeki. Allah aktif manusia pasif. Terjemahan yang pertama cenderung pada aliran Qadariyah dan terjemahan yang kedua cenderung pada aliran Jabariyah.

Pemahaman tentang Allah aktif dan manusia aktif meruju' pada ayat: AN ALLH LA YGHYR MA BQWM HTY YGHYRWA MA BANFSHM (S. ALR’AD, 11), dibaca: innaLla-ha la- yughayyiru ma- biqawmin hatta- yughayyiru- ma bianfusihim (s. arra’d), artinya: sesungguhnya Allah tidak mengubah apa (keadaan) pada suatu kaum hingga mereka mengubah apa (keadaan) pada diri mereka (13:11).

Sedangkan pemahaman tentang Allah aktif dan manusia pasif meruju' pada ayat: -- QL ALLH HM MLK ALMLK TwaTY ALMLK MN TSYAa WTNZ’A ALMLK MMN TSYAa WT’AZ MN TSYAa WTDZL MN TSYAa BYDK ALKHYR ANK ‘ALY KL SYAYa QDIYR (S. AL ‘AMRAN, 26), dibaca: quliLla-humma ma-likal mulki tu’til mulka man tasya-u watanzi’ul mulka mimmn tasya-u wa tu’azzi man tasya-u wa tudzillu man tasya-u biyadikal khayru innaka ‘ala- kulli syay.ing qadi-r (3:26), artinya: Katakanlah, ya Allah yang mempunyai kerajaan Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki Engkau muliakan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki di tangan Engkaulah segala kebajikan sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.

Terus terang selama ini saya berpihak kepada penafsiran yang pertama: Allah aktif, manusia aktif. Namun dengan pengalaman batin Sri Bintang dalam penjara, yang sangat merasakan bagaimana Allah memberikan rezeki kepada anak isterinya yang tak terkira dari mana asalnya, maka saya sekarang menyadari bahwa kedua jenis penafsiran itu bukanlah dikhotomi. Penafsiran ayat itu tergantung pada sikap kejiwaan seseorang. Kepada mereka yang tidak bebas, seperti Sri Bintang dalam penjara, maka penafsiran kedualah yang dijiwai oleh ayat (13:11) yang cocok dengan sikap kejiwaannya. Akan tetapi bagi mereka yang bebas di luar penjara, penafsiran pertamalah yang dijiwai oleh ayat (3:26) yang cocok dengan sikap kejiwaannya.

Di pesantren-pesantren pada umumnya, termasuk Pesantren IMMIM Tamalanrea menganut penafsiran yang kedua. Ini adalah produk sejarah penjajahan Belanda. Penafsiran kedua yang dijiwai oleh ayat (13:11) itulah sikap kiyai-kiyai dan santri-santri dalam pesantren. Dengan sikap ini pesantren menutup diri dari pemerintahan penjajah. Ini bermanfaat karena pesantren-pesantren dapat bertahan dari penjajahan mental dan nilai non-Islami dari penjajah Belanda. Demikian pula sikap dari rakyat yang merasa tidak berdaya pada rejim Orde Pra Reformasi. Namun setelah Orde Reformasi membuka pintu kebebasan, hendaknya sikap kita seyogianya kita ubah menjadi sikap yang dijiwai oleh ayat (3:26): Allah aktif memberi rezeki, manusia aktif berkehendak dan mencari rezeki.

Alhasil sikap yang condong pada Jabariyah, Allah aktif manusia pasif, bukanlah dikhotomi dari sikap yang condong pada Qadariyah, Allah aktif manusia aktif. Sikap jiwa yang condong pada Jabariyah sangat bermanfaat supaya dapat bertahan dalam derita bagi yang tidak berdaya melawan rejim yang berkuasa, sedangkan sikap jiwa yang condong pada Qadariyah sangat bermanfaat untuk mengatasi, mencari jalan keluar bagi pemecahan penderitaan bagi mereka yang telah bebas dari cengkeraman rejim yang berkuasa. WaLla-hu a’lamu bishshawab.

*** Makassar, 7 Juni 1998