21 Juni 1998

327. Para Pakar Penganut Mazhab Berkeley yang Bertanggung Jawab Secara Moral dan Intelektual

Keputusan pemerintah yang populis mendapat kritikan dari pakar madzhab Berkeley, seperti yang dapat kita ikuti dalam diskusi-diskusi dan wawancara tayangan Indosiar.

Dalam kolom ini hari Ahad lalu yang berjudul: Perahu Bocor, telah dikemukakan antara lain seperti berikut. Negara Republik Indonesia dengan seluruh penduduknya adalah perahu yang memuat penumpang. Sayangnya perahu kita ini telah bocor, oleh karena tidak ada yang mencegah tatkala perahu kita ini digerek oleh mata gurdi (boor) yang berwujud akselerasi modernisasi, untuk mendapatkan air dengan cepat. Konseptor strategi pembangunan akselerasi modernisasi ini adalah CSIS, yang diotaki oleh para pakar madzhab Berkeley. Strategi akselerasi modernisasi ini ialah mempercepat (acceleration) petumbuhan ekonomi yang diukur dalam gross national product (GNP). Maka muncullah para taipan, konglomerat yang dekat istana (baca: nepotisme), yang disusul oleh anak cucu Presiden Suharto. Para taipan yang konglomerat ini bersama-sama dengan anak cucu Presiden Suharto memberikan imbas pada birokrat yang menumbuh suburkan kolusi dan korupsi.

Demikianlah madzhab Berkeley ini yang tidak menghiraukan kebijakan yang populis dalam strategi pembangunan, yang bersinergi dengan gerakan "sikap kebulatan tekad" di bidang politik menjelang pemilihan presiden, itulah sesungguhnya yang bertanggung-jawab secara moral dan intelektual tumbuhnya KKN dalam era Suharto.

Dalam kolom ini pula tanggal 1 Maret 1998 dengan judul Sekapur Sirih Untuk Sidang Umum MPR, telah dikemukakan ulasan mengenai Firman Allah SWT:

Kay Laa Yauwna Duwlatan Bayna lAghniyaai Minkum (S. AL Hasyr, 59:7), supaya kedaulatan (ekonomi) itu jangan (beredar) di antara orang-orang kaya di antara kamu.

Apa-apa yang dilarang Allah SWT niscaya membawa mala-petaka apabila dikerjakan, tidak terkecuali kekayaan yang hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Selama ini kita bangsa Indonesia sadar atau tidak sadar telah melanggar ayat (59:7) tersebut.

Konglomerat sebelum terjadinya polykrisis telah menguasai peredaran dana sekitar 70%, padahal jumlah mereka hanya sedikit sekali, sekitar 200 orang. Perekonomian kita selama ini ditopang oleh para konglomerat, yang nota bene juga mempunyai bank, yang menarik dana dari rakyat banyak melalui sistem tabungan berbunga. Yang juga meminjam dana dari negeri-negeri atas angin, yang sudah tiba masanya harus dikembalikan bersama bunganya. Yang harus mendapatkan dollar untuk membayarnya. Yang menyebabkan dollar menjadi barang dagangan, yang berujung pada krisis moneter. Bersinergi pula dengan kredit macet, akibat ulah petinggi bank yang berkolusi dengan pengusaha, yang menyebabkan bank-bank sakit parah, yang 16 buah di antaranya telah dilikwidasi.

Sudah terlalu lama kita melanggar ayat (59:7). Oleh karena kekayaan itu selama ini hanya sekitar 30% yang beredar dalam kalangan pengusaha menengah dan pengusaha kecil yang jumlahnya ribu-ribuan, maka landasan perekonomian menjadi rapuh. Lalu dengan ambruknya kebanyakan dari para konglomerat itu, karena menanggung utang dari negeri-negeri atas angin yang tak sanggup mereka bayar, maka ambruk pulalah perekonomian kita (baca: krisis ekonomi).

Para penganut madzhab Berkeley dengan strategi pembangunan akselerasi modernisasi yang tidak populis menyangka bahwa mereka itu berbuat baik. Namun seperti kita lihat dalam kenyataan sejarah di Indonesia yang telah dikemukakan di atas sesungguhnya menjuruskan negara yang kita cintai kepada ambruknya perekonomian yang diakibatkan ambruknya para pelaku ekonomi tingkat atas, para taipan tersebut. Mereka yang menyangka dirinya berbuat baik, namun sesungguhnya merusak, inilah yang diisyaratkan oleh Firman Allah SWT:
-- Wa Idzaa Qiyla laHum Laa Tufsiduw fiy lArdhi Qaaluw Innamaa Nahnu Mushlihuwn (S. Al Baqarah, 2:11), apabila dikatakan kepada mereka janganlah kamu merusak di atas bumi, mereka berkata, sesungguhnya kami hanya berbuat baik.
-- ALaa InnaHum Humu lMufsiduwna wa La-kin laa Yasy'uruwn (S. Al Baqarah, 2:12), ketahuilah, sesungguhnya mereka itu merusak tetapi mereka tidak sadar.

Perahu Republik Indonesiia sedang bocor, seperti yang dikemukakan dalam kolom ini hari Ahad yang lalu. Di atas geladak tidak perlu dahulu berpesta retorika dan banyolan politik, ataupun teori-teori ekonomi yang tidak populis untuk melayarkan perahu Republik Indonesia. Yang penting bagaimana menutup lubang supaya kapal tidak tenggelam, yaitu seperti yang dikemukakan dalam kolom yang lalu: Pertama, membantu pemerintah dalam hal penyaluran sembako, sehingga terjadi distribusi yang merata, sehingga harga menjadi stabil dalam bingkai daya beli rakyat. Kedua, membersihkan birokrasi dari KKN sampai ke daerah-daerah.

Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa kita semuanya karena kita telah menzalimi diri kita telah melanggar perintah-perintahNya, sehingga perahu Republik Indonesia tidak tenggelam, sehingga dapat berlayar dengan konsep-konsep teori politik ekonomi yang populis, bukan seperti konsep akselerasi modernisasi yang tidak populis ala madzhab Berkeley. WaLla-hu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 21 Juni 1998