28 Juni 1998

328. Warga Keturunan Cina

Musibah 13 dan 14 Mei 1998 menyebabkan sejumlah besar warga keturunan Cina meluputkan diri ke luar negeri dari amukan massa yang sangat brutal, yang sepantasnya tidak mungkin dapat dilakukan oleh bangsa yang beradab. William Soeryadjaya, pendiri Astra yang bangkrut gara-gara bank Summa yang diundang oleh Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid ke rumahnya, menghimbau hendaknya warga keturunan Cina yang telah mengungsi ke luar negeri secepatnya kembali. William Soeryadjaya sengaja diundang oleh KH Abdurrahman Wahid ke rumahnya untuk mengajak warga keturunan Cina yang telah lari ke luar negeri akibat musibah 13 dan 14 Mei 1998 tersebut, sebab menurut ucapan KH Abdurrahman Wahid: "untuk mengajak kembali saudara-saudara kita yang sudah keluar negeri, tidak bisa sembarang orang, karena itu mestinya yang memanggil mereka kembali, ya, Oom William ini." Dengan memperkenalkan pandangan dan tindakan sosok warga turunan Cina di bawah ini, kita akan mendapat gambaran tentang sikap penduduk asli terhadap warga Cina timbal balik.

Di sebelah Timur Jalan Muhammadiyah berhadapan dengan perguruan Muhammadiyah, dahulu berdiri sebuah rumah warga keturunan Cina bernama Ho Eng Djie. Dahulu Jalan Muhammadiyah masih disebut Diponegoro Weg. Jadi Diponegoro Weg dahulu tegak lurus dengan Jalan Diponegoro yang sekarang. Ho Eng Djie juga disebut dengan nama Baba' Lompo, karena ia anak sulung, jadi waktu kecilnya lebih besar dari adik-adiknya. Lompo berarti besar dalam bahasa Makassar. Saudaranya yang bungsu bernama Ho Eng GoE, dipanggil Baba' Ca'di. Dalam bahasa Makassar ca'di artinya kecil, karena anak bungsu ini yang terkecil waktu masih anak-anak.

Waktu saya masih remaja biasa pergi kerumah Ho Eng Djie bersama-sama sepupu saya Ruku' Dg Mappata' (seorang veteran yang tidak mau pusing mengurus kartu veterannya, semua veteran dari Selayar tahu hal itu). Di rumah Ho Eng Djie terdapat sebuah kotak tanpa penutup berisi lembaran-lembaran kertas. Setiap lembar bertuliskan Kelong Mangkasara' hasil gubahannya dalam aksara Lontara'. Menurut sejarah aksara Lontara' ini dikarang oleh Sabannara' Daeng Pammatte. Sabannara' artinya syahbandar, karena Daeng Pammatte ini adalah syahbandar Kerajaan Gowa dahulu.

Suatu waktu tatkala kami berdua berkunjung ke rumah Ho Eng Djie, ia menyodorkan lembaran kertas: "E turungka niassedeng ribangngiya kelong le'ba' kupare', apanne (hai anak muda, tadi malam saya berhasil menggubah kelong, ini dia)", sambil mengambil lembaran yang bertuliskan Kelong Mangkasara' seperti yang dikutip di bawah ini.

Kamma memangi' linoa,
tena tojeng kabajikang.
Kodi nicalla,
Bajika nikimburui.

Begitulah adat di dunia
Tak dibiarkan berlalu mulus
Kalau buruk dicela
Yang baik merangsang cemburu

"Tena kussituru' kelongta Baba', nasaba' tena nakamma ngaseng tauwa ri lino, sipa'gangji kammanjo. Napunna niya' ancallaki iyareka nasere ati rikalenta, nia baca-bacana ilalang ri Koranga (saya tidak sependapat dengan isi kelong yang Baba' gubah, sebab tidak semua orang dalam dunia demikian sikapnya, hanya sebagian saja yang demikian. Namun jikalau ada yang mencela ataupun dengki kepada kita ada baca-bacanya di dalam Al Quran)". "Ha, niya baca-bacana? Antekamma! (Oh ya, ada baca-bacanya? Bagaimana!). Maka saya bacakanlah S. Al Falaq: Qul A'uwdzu bi Rabbi lFalaqi. Min Syarri maa Khalaqa. Wa min SYarri Ghasiqin Idzaa Waaaba. Wamin SYarri nNafFatssati fi l'Uqadi. Wamin SYarri Haasidin idzaa Hasada. Katakan, saya berlindung kepada Yang Maha Pengatur falak. Dari kejahatan makhluk. Dan dari kejahatan malam bila telah gelap. Dan dari kejahatan penyihir yang meniup dengan air ludahnya pada buhul tali. Dan dari kejahatan orang yang iri-hati bila ia melahirkan dengkinya.

Sejenak Ho Eng Djie tertegun, kemudian berkata: "Baji' sikali antu baca-bacayya, mingka sitojeng-tojengna niya' ilalanganna anjo kelonga (baik benar itu baca-baca, namun sebenarnya ada yang tersirat dalam syair itu)". Kemudian Ho Eng Djie menjelaskan. Sikap warga asli pada umumnya terhadap warga peranakan Cina tidak ada yang baik. Kalau warga peranakan buruk kelakuannya mereka dicela, dan itu memang wajar. Yang tidak wajar ialah warga asli memukul rata. Punna niya Cina kodi sipa'na, e, iya ngaseng Cinayya anggappa passepolo' (Kalau ada warga Cina tidak baik sifatnya, buruk kelakuannya, maka semua Cina yang kena semprot). Kalau baik dalam pengertian maju dalam usaha dagangnya mereka dicemburui.

Kemudian Ho Eng Djie melanjutkan. Sikap warga asli yang demikian itu karena kesalahan warga keturunan Cina juga dalam bersikap. Assingkammai sipa'na Yahudiya ri Eropa, iyamintu naallei kalenna (seperti sikapnya orang Yahudi di Eropa, yaitu eksklusif). Itulah latar belakangnya saya mendirikan Orkes Kullu-Kulluwa. (Orkes Kullu-Kulluwa, adalah orkes lagu-lagu daerah Makassar, beberapa yang direkam di atas piring hitam. Dahulu belum ada pita kaset). Ho Eng Djie berupaya a'bengkoro' (membaur) dengan warga asli melalui seni suara, karena dalam Orkes Kullu-Kulluwa kedua warga yang seperti air dengan minyak itu dibaurkan bersama. Waktu saya masih menjadi mahasiswa di Bandung, saya selalu mengikuti acara siaran lagu-lagu Makassar yang secara rutin disiarkan oleh studio RRI Bandung, yang hampir semuanya diambil dari piring hitam rekaman dari Orkes Kullu-Kulluwa. Di antaranya ialah Ati Raja, Amma' Ciyang, Sailong, yang sekarang di Makassar ini telah direkam dalam kaset yang dinyanyikan oleh Iwan Tompo'.

Kesimpulannya dari kedua belah pihak harus ada perubahan sikap. Dari pihak warga asli mengubah sikap seperti yang dinyatakan oleh kelong Ho Eng Djie, dan dari pihak warga keturunan Cina mengubah sikap eksklusifnya. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 28 Juni 1998