9 Agustus 1998

334. HIV/Aids dan Pasal 284 KUHP

Aids kependekan dari (A)quired (I)mmuno(d)eficiency (S)yndrome. Menurut kaidah EYD, karena huruf-huruf singkatan itu tidaklah semuanya huruf awal dari kata-kata yang disingkatkan, maka dalam bahasa Indonesia singkatan itu tidak boleh dituliskan AIDS, melainkan Aids. Berbeda dengan HIV dituliskan semuanya dengan huruf kapital karena ketiga huruf singkatan itu diambil dari kata-kata awal: (H)uman (I)mmunodeficiency (V)irus. Aids ialah kumpulan penyakit apa saja yang disebabkan oleh HIV, karena virus yang berbahaya itu memangsa sistem kekebalan tubuh. Jadi sebenarnya penyakit Aids yang disebabkan oleh HIV itu bukanlah penyakit yang sesungguhnya. Dengan lemahnya pertahanan tubuh karena dimangsa oleh HIV itu, maka semua penyakit dengan mudah masuk ke dalam tubuh. Terhadap HIV ini belum didapatkan hingga kini obat yang mampu untuk melumpuhkan ataupun mematikannya. Bahkan HIV ini menurut penuturan Dr Alimin Maidin, yang salah seorang aktivis pemerhati HIV/Aids kepada saya, HIV dapat menembus selaput otak, yaitu jaringan benteng pertahanan yang membungkus otak. Menurut Alimin Maidin selain HIV ini, virus, bacil dan bakteri serta suntikan obat tidak dapat menembus benteng pertahanan otak ini. Jadi walaupun nanti boleh jadi akan didapatkan obat pemunah HIV, tidak akan efektif 100%, karena HIV yang telah terlanjur menembus masuk ke dalam otak, tidak akan dapat dicapai lagi oleh obat suntikan.

Menurut informasi yang pernah saya baca, virus yang berbahaya tersebut merambat dari orang ke orang melalui hubungan seksual (97% menurut Prof. Rusli Ngatimin, juga salah seorang aktivis pemerhati HIV/Aids) dan selebihnya yang 3% melalui transfusi darah, jarum suntik dan dari ibu ke janin di dalam rahim.

Dalam penyuluhan-penyuluhan yang diberikan oleh para aktivis pemerhati HIV/Aids selalu diberikan informasi, bahwa orang berpenyakit Aids tidak perlu dihindari, mereka tidak perlu diisolasi seperti halnya pengidap penyakit TBC, karena berjangkitnya HIV/Aids hanya melalui keempat jalur seperti dijelaskan di atas itu. Namun yang saya masih pertanyakan ialah apakah sudah diadakan penelitian semua jenis serangga yang ada di dunia ini? Mula-mula hanya didapatkan nyamuk yang dapat memindahkan virus penyakit malaria, kemudian lalat yang dapat memindahkan virus penyakit tidur, terakhir nyamuk yang memindahkan virus demam berdarah. Sehingga menurut hemat saya ada risiko potensial serumah dan bergaul dekat dengan pengidap Aids oleh karena boleh jadi siapa tahu, hanya Allah Yang Maha Tahu, belakangan ternyata akan dapat pula terungkap bahwa ada sejenis serangga yang dapat memindahkan HIV, apakah sejenis nyamuk, sejenis lalat, ataupun sejenis semut!

Karena belum didapatkannya obat pemunah HIV, maka untuk menanggulangi Aids harus ditempuh upaya preventif. Firman Allah: La- Taqrabu zzina- (S. Bani- Isra-iyl, 32), jangan engkau dekati zina (17:32).

Jangan engkau dekati zina. Mendekati saja dilarang, terlebih-lebih larangan melakukannya. Inilah metode preventif yang paling efektif. Menyarungkan kondom dengan maksud berzina, itu berarti sudah mendekati zina. Secara syari'at dilarang memakai kondom, kecuali dengan isteri sendiri untuk mencegah pembuahan karena isteri misalnya mempunyai penyakit gula, kuning, jantung dll. sehingga tidak boleh hamil. Secara teknis kondom tidak efektif terhadap HIV, oleh karena virus ini lebih kecil dari pori-pori material kondom.

Yang patut disesalkan seperti apa yang saya pernah saksikan sendiri, dalam rangka kegiatan penyuluhan HIV/Aids, panitia pelaksana (LSM) mempertontonkan kondom di luar ruangan sidang, bahkan ada anggota panitia yang membagi-bagikan kondom kepada para remaja. Aktivitas ini patut dihentikan karena dapat merusak akhlaq remaja utamanya bagi para ABG (anak baru gede), mereka diberi keberanian untuk berzina. Kalau di barat itu bukan masalah, yaitu bagi mereka yang menganut filsafat permissiveness, kebebasan sex.

***

Ada tiga hal yang akan dikemukakan mengenai zina ini. Pertama, menurut pasal 284 KUHP, yang diancam pidana paling lama 9 bulan hanya yang bermukah (overspel = keliwat main), yaitu laki-laki ataupun perempuan yang telah kawin yang melakukan zina (ayat 1), hanya delik aduan artinya tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami ataupun isteri yang tercemar (ayat 2), pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai (ayat 4).

Pasal 284 tersebut harus diganti dengan undang-undang yang lebih efektif untuk mencegah perzinaan (pelacuran, hubungan seks secara liar). Betapa tidak! Sanksinya hanya maksimum 9 bulan, yang dapat dituntut hanya yang bermukah, hanya delik aduan, dan pengaduan dapat ditarik kembali.

Undang-undang pengganti pasal 284 KUHP tersebut, harus melarang perzinaan, baik yang masih belum kawin, ataupun lebih-lebih lagi yang sudah kawin, bukan delik aduan, siapa saja yang mengadukan kepada yang berwajib harus dilakukan penuntutan, pengaduan tidak boleh ditarik kembali. Fasal itu juga harus menegaskan tanpa pengaduan polisi wajib menangkap pelaku dan yang memberi kesempatan berzina, tegasnya berzina dan yang memberikan fasilitas untuk berzina adalah tindak pidana (kejahatan). Seperti telah dikatakan, bukan pezina saja yang mesti dituntut, akan tetapi orang ataupun badan usaha yang berbisnis seks harus pula mendapat sanksi hukum yang sama dengan pezina. Sanksi hukum ada batas bawah dan batas atas, batas bawah bagi bujangan sedangkan batas atas bagi yang telah diikat tali perkawinan dan pelaku bisnis seks. Sanksi hukum harus berat, hidung belang bujangan dan pelacur yang belum bersuami dicambuk 100 kali, serta muncikari dan pengusaha bisnis seks selain dicambuk 100 kali ditambah pula dengan sanksi hukuman penjara minimal 10 tahun. Hidung belang yang telah diikat tali perkawinan serta pelacur yang bersuami dirajam, untuk penggentar bagi yang akan coba-coba berani melakukannya. Sebab ingat, virus yang berbahaya tersebut 97% merambat/berjangkit dari orang ke orang melalui hubungan seksual secara liar, ganti-berganti pasangan.

Kedua, arus globalisasi memperlancar datangnya wisatawan manca-negara (Wisman) yang menghasilkan devisa, tetapi membawa HIV. Jika terdapat dua kriteria yang saling bertentangan, yang dalam hal ini penghasil devisa dengan pembawa HIV, maka pendekatannya melalui tinjauan skala prioritas, yaitu sesuai dengan qaidah dalam ilmu fiqh, "menolak mudharat lebih diprioritaskan ketimbang menarik manfaat". Menolak HIV lebih diprioritaskan ketimbang memperoleh devisa. Maka Jawatan Imigrasi perlu selektif terhadap Wisman, harus mendapatkan cara yang efektif untuk mencegah masuknya Wisman yang mengidap Aids, seperti misalnya Wisman itu harus melalui karantina supaya darahnya dites apakah bebas HIV.

Berkurangnya devisa karena memperketat masuknya Wisman tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi masalah Aids. Menurut perkiraan Peter Pot, Direktur UN AIDS (ini semuanya huruf kapital, karena bahasa Inggris), badan PBB yang bertugas mengawasi HIV/Aids, pada tahun 1997 di Kamboja harus mengeluarkan dana senilai 2,8 miliyar dollar.

Ketiga, Pemda harus selektif mengeluarkan izin tempat-tempat hiburan malam dan memperketat pengawasannya. Tak dapat disangkal bahwa hampir semua tempat hiburan malam sesungguhnya merupakan tempat maksiat pelacuran berselubung (bukan pelacurannya yang berselubung, melainkan tempatnya berselubungkan label night club). Aktivitas pelacuran berselubung pada hiburan malam tetap berlangsung. Mengapa, karena tidak ada aturan sanksinya menurut hukum dalam batas kewenangan Pemda. DPRD harus menterjemahkan nilai moral ke norma hukum ke dalam Peraturan Daerah yang mempunyai kekuatan yang mengikat Pemda tentang perizinan dan pengawasan ketat tempat-tempat hiburan malam, dengan sanksi denda dan penutupan usaha maksiyat itu. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 9 Agustus 1998