18 Oktober 1998

344. Makar, Menegakkan Benang Basah, dan Himbauan

Makar berasal dari bahasa Al Quran, dibentuk oleh akar kata yang terdiri atas tiga huruf Mim, Kef, Ra, MaKaRa yang berarti merencanakan, kata bendanya Makr(un), rencana. Diriwayatkan dalam Al Quran Allah mengutus Nabi Shalih AS kepada bangsa Tsamud, yang ahli dalam bangunan. Bangsa Tsamud merencanakan menyerang Nabi Shalih AS beserta keluarganya di malam hari.

Firman Allah:
-- WMKRWA WMKR ALH WALH KHYR ALMAKRYN (S. AL 'AMRAN, 3:54), dibaca: wamakaru- wamakara Lla-hu waLla-hu khairul ma-kiri-n, artinya: Mereka berbuat makar (rencana) dan Allah berbuat makar (rencana) dan Allah adalah sebaik-baik berbuat makar (rencana).
-- WMKRWA MKRA WMKRNA MKRA WHM LA YSY'ARWN (S. ALNML, 27:50), dibaca: wamakaru- makran wamakarna- makran wahum la- yasy'uru-n, artinya: Mereka bermakar dengan suatu makar dan Kami bermakar dengan suatu makar, sedang mereka tiada sadar.

Akibat makar bangsa Tsamud itu terhadap Nabi Shalih AS beserta umatnya, Allah merobohkan bangunan-bangunan bangsa Tsamud.
-- FANZHRWA KYF KAN 'AAQBT MKRHM ANA DMRNHM WQWMHM AJM'AYN (S. ALNML, 27:51), dibaca: fanzhuru- kaifa ka-na 'a-qibatu makrihim anna- dammarna-hum waqawmahum ajma'i-n, artinya: Maka perhatikanlah bagaimana akibat makar mereka itu, sesungguhnya Kami binasakan mereka dan kaumnya (Tsamud) sekalian.

Dalam bahasa Indonesia makar mempunyai arti khusus, yaitu berencana untuk menggulingkan sebuah pemerintahan yang sah (bukan syah!) secara inkonstitusional.

***

Pada waktu menjelang balig, dalam zaman pendudukan Jepang, saya menyaksikan di kampung seorang yang menganggap dirinya jagoan bernama Kade' bukan main beraninya menggertak lawannya memberikan ultimatum dengan badik terhunus di pasar. Tappali' sang lawan tidak gentar atas gertakan itu dan akibatnya? Sang jagoan tiba-tiba seperti ayam jantan yang bulu kuduknya merinding ke atas, kedua sayapnya dikepitkan masuk, bulu-bulunya menempel rapat sehingga tubuhnya menjadi kecil, sebuah pernyataan sikap yang sangat ketakutan. Skenario ini berulang dalam bulan Oktober 1998. Barisan Nasional (Barnas) yang menganggap dirinya berani, garang dalam pernyataan-pernyataannya tiba-tiba mulai bersikap membantah apa yang telah dilontarkannya, selayak menjilat ludah yang telah disemprotkannya keluar.

Rahmat Witular, sekjen Barnas merasa dituding oleh Presiden Habibie dalam pidatonya pada 5 Oktober 1998. Yang bungkuk dimakan sarung. Yang merasa tertuduh, sesungguhnya berindikasi tertuduh. Rahmat Witular mengatakan bahwa Barnas tidak bermaksud berbuat makar, karena, katanya, Barnas tetap mengacu pada UUD-1945. Barnas mencoba menegakkan benang basah, rupanya gentar merasa dituding, lalu mengingkari apa yang telah dinyatakannya di Bandung.

Syahdan, semua pemirsa media elektronika dan pembaca media grafika tahu, Barnas menyatakan diri mendukung Gerakan Reformasi se-Jawa (Gerja) yang diprakarsai Gerakan Reformasi Bandung. Pada 1 Oktober 1998, hari Kamis, Gerja ini memaklumkan seruan unjuk-rasa secara besar-besaran seluruh Jawa untuk menggerakkan kekuatan rakyat guna mengganti Habibie dengan presidium ataupun komite rakyat. Unjuk-rasa secara besar-besaran itu direncanakan akan dilancarkan selama 40 hari mulai 5 Oktober 1998 di seluruh pulau Jawa. Persekongkolan Bandung itu dihadiri oleh tokoh-tokoh Barnas, seperti Kemal Idris sang ketua Barnas, Subroto, Ali Sadikin dan Dimyati Hartono (yang tidak berani menyambut tantangan Yusril Ihza Mahendra untuk berdebat secara terbuka mengenai sahnya Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia).

Sejak di bangku SMP orang sudah tahu tidak ada itu yang dinamakan presidium atupun komite rakyat dalam UUD-1945. Itu cuma ada dalam perbendaharaan kamus revolusi Marx-Engels. Sehingga membentuk presidium ataupun komite rakyat adalah inkonstitusional. Padahal semua orang tahu mengganti pemerintahan dengan cara inkonstitusional, itu namanya makar. Rahmat Witular yang mengatakan belakangan bahwa Barnas tidak bermaksud berbuat makar, karena, katanya, Barnas tetap mengacu pada UUD-1945, padahal presidium ataupun komite rakyat tidak ada dalam UUD-1945, berarti berupaya mencoba menegakkan benang basah. Barnas telah menjilat air liurnya.

Ada baiknya direkam pula dalam kolom ini deklarasi Komite Aksi Kemaslahatan Ummat Sulawesi Selatan di masjid Al Markaz Al Islami dalam rapat akbar dan istighatsah, hari Selasa, 13 Oktober 1998, yang terdiri atas lima sikap. Pertama, tidak mentolerer setiap gerakan massa yang mengatas-namakan rakyat untuk meronrong pemerintahan BJ Habibie. Kedua, mendukung sepenuhnya rencana pemerintah untuk melaksanakan agenda reformasi nasional. Ketiga, menghimbau kepada ummat Islam agar senantiasa waspada terhadap gerakan komunis gaya baru. Keempat, menyerukan kepada ummat Islam Sulawesi Selatan untuk tidak terpancing dengan langkah-langkah Barisan Nasional. Kelima, mengingatkan pemerintah khususnya ABRI agar tidak terpancing meninggalkan atau memusuhi ummat Islam.

Sebelum deklarasi itu diumumkan, KH Ali Yafie mengingatkan ummat Islam untuk segera merapatkan barisan dan jangan mau diadu domba oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan situasi sesaat. Juga tokoh demonstran reformasi Egy Soejana mengingatkan dalam orasinya agar badut-badut politik utamanya Barisan Nasional mau menahan diri tidak memperkeruh suasana. Kalau tidak, ummat Islam akan melawan mereka, karena ketenangan sangat dibutuhkan untuk melaksanakan agenda reformasi nasional.

Alhasil, kolom ini menghimbau ummat Islam seluruhnya, utamanya remaja, pemuda, mahasiswa, tiliklah dengan baik jika diajak berunjuk-rasa. Jika ajakan unjuk-rasa itu murni menyangkut reformasi, seperti misalnya reformasi hukum dalam hal mendukung sepenuhnya langkah Kajati Sulsel HM Gaguk Soebagiyanto SH untuk tetap membawa HM Nurdin Khalid ke pengadilan, maka terpuji sekali jika ajakan itu dipenuhi. Akan tetapi apabila yang mengajak itu hanya menjadikan isu reformasi sekadar kendaraan untuk mengeruhkan suasana seperti Gerja, Barnas dan sejenisnya, maka tampiklah ajakan itu supaya terhindar dari musibah dimanfaatkan sebagai pendorong gerobak, lalu kemudian menjadi sepah tebu, habis manis sepah dibuang. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 18 Oktober 1998