6 Desember 1998

351. Ummat Islam dan Nasrani Supaya Menahan Diri, serta Jangan Mudah Terpancing

Firman Allah dalam Al Quran:

W LW LA DF'A ALLH ALNAS B'ADHHM BB'ADH LHDMT SHWAM'A W BY'A W SHLWAT W MSJD YDZKR FYHA ASM ALLH KTSYRA (S. ALHJ, 22:40), Dibaca: walaw la- daf'u lla-hi nna-sa ba'dhahum biba'dhi llahuddimat shawa-mi'u wa bi-'un wa shala-tun wa masa-jidu yudzkaru fi-ha smu lla-hi katsi-ra-, Artinya: sekiranya Allah tidak menahan manusia sebagian mereka terhadap yang lain niscaya robohlah biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog dan masjid-masjid yang di dalamnya diingat nama Allah banyak-banyak.

Ayat (22:40) yang dikutip di atas itu menunjukkan bahwa Allah menyuruh ummat menahan diri supaya tidak terjadi perobohan tempat-tempat ibadah yang didalamnya manusia mengingat Allah banyak-banyak. Ummat Islam mempunyai landasan moral dan hukum untuk mencegah perobohan (perusakan dan pembakaran) tempat-tempat ibadah berlandaskan ayat (22:40) tersebut.

Kita angkat sedikit beberapa kalimat dari Seri 350 ybl. yang berjudul Tragedi Ketapang.

Tragedi Ketapang menunjukkan masih aktifnya aktor intelektual (aktel) yang terpendam sosoknya namun muncul pula menunggangi tragedi Ketapang ini. Aktel itu mengeluarkan dan menyebarkan isu ada mesjid dibakar di Ketapang sehingga membakar kemarahan ummat dengan bertindak di atas batas kewajaran.

Siapa tahu, hanya Allah Yang Maha Tahu, para tersangka makar dari tokoh-tokoh Barnas, Pudi dan PDI perjuangan yang mengklaim atas nama rakyat (entah dari mana mereka mendapatkan legitimasi untuk mengklaim itu) untuk membubarkan MPR dan menggantinya dengan MPRS atau komite rakyat dan mengganti Pemerintahan Habibie dengan presidium, boleh jadi mereka sang tersangka itu hanya sekadar pion-pion dari seorang atau sekelompok kecil aktel tersebut.

Kita lihat bagaimana liciknya aktel ini mengirim pion-pionnya mengeruhkan kemurnian gerakan moral reformasi damai anak-anak kita mahasiswa yang berunjuk-rasa membawakan aspirasinya untuk didengarkan oleh anggota SI MPR yang sedang bersidang. Anak-anak kita mahasiswa yang masih murni itu tidak menginginkan untuk menggagalkan SI MPR, sebab kalau gagal lalu bagaimana aspirasinya itu dapat tertampung. Harapan atau keinginan aktel itu untuk menciptakan khaos dengan sasaran menggagalkan SI MPR tidak tercapai. Sekian kutipan itu.

Baik selama Orde Lama maupun selama Orde Baru ummat Islam di bidang politik senantiasa dipojokkan berhadapan melawan pemerintah dan ABRI. Namun dalam Orde Reformasi ini ummat Islam, dengan legitimasi Kongres Ummat Islam di Jakarta, berdiri di pihak pemerintah dan ABRI.

Secara pemikiran logis yang rasional ada benang merah atau sekurang-kurangnya resonansi antara gerakan mahasiswa radikal yang berupaya menerobos untuk menduduki gedung MPR guna menggagalkan SI MPR dengan komunike ke-17 tersangka makar, benggolan-benggolan Barnas, PUDI, PDI perjuangan. Seperti dijelaskan dalam kutipan dari Seri 350 di atas, komunike ke-17 tersangka makar tersebut mengklaim atas nama rakyat supaya SI MPR dihentikan, supaya dibentuk komite rakyat semacam MPRS dan supaya membentuk prsedium yang menggantikan pemerintahan Habibie. Upaya kepolisian memeriksa Syahrir yang berorasi di depan mahasiswa yang anti SI MPR patut diduga keras bahwa kepolisian sedang berupaya mengungkapkan benang merah tersebut.

Biarkanlah kepolisian menyidik benang merah tersebut, namun secara teori sangat diterima akal adanya aktel di belakang penanda tanganan komunike dan gerakan mahasiswa radikal yang didanai oleh Arifin Panigoro. Ini bukan trial by the press (baca: kolom Wahyu dan Akal - Iman dan Ilmu) melainkan sekadar mengemukakan opini dalam rangka kebebasan mengeluarkan pendapat.

Tragedi Kupang menyusul tragedi Ketapang sangat masuk diakal tidak berdiri sendiri. Ini merupakan rentetan upaya aktel untuk memancing kemarahan ummat Islam di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia untuk mengadakan pembalasan. Ada perbedaan antara tragedi Ketapang dengan tragedi Kupang. Masyarakat Ketapang dibangunkan malam-malam oleh penyerbuan preman-preman bayaran yang menyerang mereka dan merusak masjid. Jadi pada mulanya masyarakat Ketapang melakukan serangan balik terjadi secara spontan, tidak ada yang menggerakkan mereka. Nantilah setelah itu keributan meluas keluar daerah Ketapang karena dipicu oleh isu pembakaran masjid yang disebarkan oleh pion-pion aktel. Pada tragedi Kupang secara akal sehat dapat kita lihat penyerangan dan perusakan itu tidak terjadi secara spontan, betul-betul direkayasa. Itulah sebabnya dikatakan di atas bahwa tragedi Kupang sangat masuk diakal tidak berdiri sendiri, melainkan sengaja direkayasa oleh aktel untuk memancing kemarahan ummat Islam di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia untuk mengadakan pembalasan.

Maka jelas aktel yang membuat skenario tragedi Ketapang dan tragedi Kupang itu ibarat mata gergaji yang bekerja ganda. Pertama menciptakan khaos untuk mengkondisikan timbulnya revolusi sosial, dan kedua menyudutkan posisi ummat Islam menjadi lawan ABRI. Sebab apabila ummat Islam secara meluas terpancing untuk merusak gereja tentu akan berhadapan dengan petugas keamanan dari ABRI yang menjaga gereja. Sama keadaannya dengan gerakan moral reformasi damai anak-anak kita mahasiswa yang berunjuk-rasa membawakan aspirasinya untuk didengarkan oleh anggota SI MPR yang sedang bersidang. Terjadi bentrokan fisik yang disebabkan oleh pion-pion yang dikirim oleh aktel ikut mengambil bagian pada baris terdepan, yang tatkala berhadap-hadapan dengan petugas keamanan menggoda, menghasut, melempari batu bahkan kotoran, sehingga memancing emosi petugas keamanan. Pada saat petugas keamanan terpancing emosinya pion-pion tersebut membuka barisannya, sehingga anak-anak kita mahasiswa yang membawakan aspirasi murni dilibatkan dalam bentrokan fisik dengan petugas keamanan.

Oleh sebab itu sangat diharapkan supaya ummat Islam utamanya di Makassar ini dapat menahan diri untuk tidak melanjutkan perusakan gereja. Dan kepada saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang beragama Nasrani dapat pula menahan diri. Jangan terpancing oleh ulah pion-pion aktel sehingga keadaan menjadi aman dan kita dapat memfokuskan perhatian kita untuk menanggulangi krisis di tanah air kita yang tercinta ini.

Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 6 Desember 1998