20 Desember 1998

353. Bulan Introspeksi

Sejak matahari terbenam tadi malam, masuklah 1 Ramadhan 1419 Hijriyah. Bulan suci Ramadhan adalah bulan untuk introspeksi, seperti Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari: man sha-ma ramadha-na i-ma-nan wahtisa-ban ghufira lahu- ma- taqaddama min dzanbih, artinya: Siapa yang berpuasa ramadhan dalam keadaan beriman dan introspeksi diampuni bagi dia dosanya yang silam.

Ihtisa-ban, dari akar kata Ha, Sin, Ba, berarti menghisab, mengintrospeksi diri mengenai semua tindak tanduk kita lahir dan batin selama ini tentang pahala atau dosa dalam kriteria: benar atau salah, baik atau buruk, adil atau zalim, istiqamah atau munafiq, menyejukkan atau meresahkan, sabar atay bringas, sopan atau brutal, lemah lembut atau vulgar, terpuji atau tercela, rendah diri atau arogan, membujuk atau menterror, mau mendengar pendapat orang atau memaksakan kehendak, tasamuh atau tidak toleran, jujur atau curang, ikhlas atau ada pamrih, cermat atau ceroboh, menolong atau mencelakakan, bermanfaat atau merugikan, membangun atau merusak, menghormati atau melecehkan, beradab atau jahil.

Amin Rais mengatakan boleh saja berdemo dalam bulan Ramadhan asal tertib, tidak anarkis. Menurut hemat saya selama bulan Ramadhan sangatlah terpuji jika para mahasiswa berhenti turun kejalan. Sebab kenyataan menunjukkan pimpinan demonstran mahasiswa tidak dapat mengontrol kelompoknya dari mahasiswa radikal yang memprovokasi petugas keamanan dengan lemparan batu sehingga terjadi benrokan fisik yang akan menodai bulan Ramadhan. Andaikata pun benturan fisik dapat dihindarkan dalam berdemo, namun ingat buruh dan karyawan yang berpuasa yang terpaksa jalan kaki ke kantor kemudian pulang ke rumah terpaksa pula capek jalan kaki dan terlambat buka puasa, karena jalan tersumbat oleh aksi demo. Bukankah itu sangat melanggar HAM karena menzalimi orang yang sedang berpuasa?

Lebih baik mencoba secara kreatif memikirkan thema baru untuk diutarakan dengan cara yang lebih beradab yang berwarna akademis. Seperti misalnya mengundang pimpinan fraksi-fraksi dari DPR dan tokoh-tokoh partai baru untuk datang berdiskusi di kampus mengenai sistem distrik yang wakil rakyat dipilih secara langsung lebih demokratis ketimbang sistem proporsional. Bukankah thema yang selama ini dikemukakan telah direspons hampir seluruhnya dalam wujud Tap MPR? Bukankah menyampaikan aspirasi dengan cara turun ke jalan itu mengganggu aktivitas kehidupan rakyat sehari-hari yang justru diperjuangkan nasibnya itu?

Bahkan ada aspirasi yang sudah tidak proporsional lagi. Melalui layar kaca saya sempat melihat poster bertuliskan BUBARKAN ABRI, dalam pawai hari HAM baru-baru ini. ABRI bertugas melindungi tumpah darah Indonesia kok minta dibubarkan. Itu berarti melecehkan Hak Asasi Bangsa Indonesia untuk merdeka. Suatu pemikiran dan sikap yang sangat jahil, memperingati HAM dengan melecehkan Hak Asasi Bangsa Indonesia. AlhamduliLlah, ada kemajuan dari kepolisian, karena mulai bersikap tegas memberlakukan UU no.9 thn 1998, yaitu menangkap 143 orang dari Forkot, 15 Desember 1998 ybl. Juga telah berhasil menggiring mahasiswa Forkot dll ke kampus Atmajaya, tanpa ada korban tewas, tanggal 17 Desember 1998 ybl.

Bulan Ramadhan adalah bulan introspeksi. Ada baiknya dalam rangka introspeksi itu kita angkat sedikit ucapan WS Rendra alias Willy si burung merak, yang ditujukan kepada sebagian mahasiswa dalam dialog nasional MASA DEPAN BANGSA di Hotel Indonesia, tanggal 14 Desember 1998 sbb: Kalau anda menjadi pemimpin akan menjadi fasis yang lebih kejam dari Soeharto. Anda benar-benar fasis, dan saya tidak bisa menerima cara-cara anda yang memaksakan kehendak seperti itu. Anda itu belum ada apa-apanya sudah berlaku fasis seperti itu. Mencekal orang yang ingin berbicara. Anda fasis sangat berbahaya kalau anda menjadi pemimpin nanti.

Dalam mengintrospeksi diri ataupun kelompok dalam bulan suci Ramadhan ini tidak ada salahnya merenungkan ucapan Rendra ini, untuk dapat membersihkan jiwa dari penyakit tidak mau mendengarkan orang lain. Secara ilmu nafsani penyakit 'ujub (arogan) dapat timbul dalam diri seseorang apabila menganggap dirinya berjasa dalam memenangkan perjuangan.

Dalam mengintrospeksi diri ataupun kelompok dalam bulan suci ini perlu merenungkan keberhasilan menumbangkan Orde Baru. Dalam konteks kemenangan gerakan reformis nilai dari alinea ketiga Pembukaan UUD dapat diterjemahkan menjadi: Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan sinergi kekuatan-kekekuatan reformis, maka rakyat Indonesia berhasil menggulingkan Orde Baru.

Yang manakah gerangan kekuatan-kekuatan yang bersinergi itu. Pertama, gerakan moral mahasiswa sebagai motor pendorong. Kedua, KH Ali Yafie berkata di depan Soeharto bahwa yang dimaksudkan dengan reformasi ialah Pak Harto harus turun. Ketiga, 14 orang menteri tidak bersedia lagi duduk dalam kabinet baru yang akan dibentuk oleh Soeharto. Keempat, Yusril Ihza Mahendra yang menyusun konsep pidato singkat Soeharto dengan memakai ungkapan berhenti jadi presiden, sehingga dengan alasan itu Soeharto bersedia turun tahta. Tak kurang pula pentingnya adalah Rahmat Allah yang menyebabkan hati nurani (al Fuad) Soeharto mencegah nalurinya (al Haway) untuk mempertahankan kekuasaannya dengan pertumpahan darah. Ini betul-betul Rahmat Allah, karena ingat ada Tap MPR yang memberikan kekuasaan penuh kepada Soeharto untuk bertindak apa saja.

Inilah antara lain bahan-bahan yang dapat berguna untuk melakukan introspeksi diri dalam bulan suci Ramdhan ini, sehingga mudah-mudahan terbacalah dosa-dosa kita terhadap sesama manusia dalam wujud: perbuatan salah, buruk, zalim, munafiq, meresahkan, bringas, brutal, vulgar, tercela, arogan, menterror, memaksakan kehendak, tidak toleran, curang, tidak ikhlas, ceroboh, mencelakakan, merugikan, merusak, melecehkan, jahil.

Kaum reformis telah mencapai kemenangan menggulung Orde Baru. Firman Allah yang berikut adalah obat supaya orang tidak merasa hebat setelah mencapai kemenangan.

FSBH BHMD RBK W ASTGHFRH ANH KAN TWABA (S. ALNSHR, 3), dibaca: fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirhu innahu- ka-na tawwa-ba-, artinya: maka sucikanlah serta panjatkanlah puji kepada Maha Pemeliharamu dan minta ampunlah kepadaNya, sesungguNya Dia Maha Penerima taubat (110:3).
Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 20 Desember 1998