13 Desember 1998

352. Khutbah Jum'at Tentang Pam Swakarsa

Ajaran Islam diklasifikasikan dalam tiga unsur: yang strategis, yaitu aqidah, yang taktis yaitu akhlaq dan yang operasional yaitu syari'ah. Supaya efektif, Khutbah Jum'at waktunya tidak boleh terlalu lama, paling lama sekitar 20 menit. Untuk itu seorang khatib walaupun materi khutbahnya mengandung ketiga unsur tersebut namun harus memilih penekanan atas salah satu di antaranya.

Generasi saya dan boleh jadi satu generasi sesudahnya tentu masih ingat materi Khutbah Jum'at di Masjid Raya oleh KH Muh. Danyal, adik A.M. Dg Miyala seorang pujangga di daerah ini yang tergolong dalam angkatan Pujangga Baru. KH Muh. Danyal kalau masih belum di atas mimbar raut mukanya masih biasa-biasa saja. Namun apabila di atas mimbar raut mukanya menampilkan semangat yang tinggi, sorotan mata yang tajam. Nampak sekali tak ada yang ditakutinya selain Allah SWT. Materi khutbahnya yang diucapkan di samping dalam bahasa Al Quran, yang dijalinnya dalam 3 bahasa, yaitu: Indonesia, Bugis dan Makassar, bobotnya banyak-banyak mengenai yang operasional. Misalnya menyampaikan mengapa baru sekian di antara sekian banyak perkara yang belum diselesaikan pengadilan. Hasilnyapun ada, pengadilan meresponsnya, proses peradilan dipercepat.

Kalau dalam zaman tahun empat-puluhan, KH Muh.Danyal dan beberapa khatib yang lain melakukan kontrol sosial melalui Mimbar Jum'at, maka di zaman reformasi ini ada pula beberapa khatib bukan saja melakukan kontrol sosial melalui Mimbar Jum'at, melainkan mengkaunter pemberitaan mas media baik yang elektronika maupun yang grafika. Tepatnya memberikan perimbangan terhadap informasi yang berat sebelah. Mimbar Jum'at berfungsi sebagai mas media. Inilah hal yang baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mas media yang melakukan kontrol sosial, dikontrol pula melalui Mimbar Jum'at. Seperti misalnya berita yang terlalu diekspos pada korban di pihak mahasiswa, kurang diekspos pada korban di pihak ABRI dan Pam Swakarsa.

Harus diakui dengan jujur bahwa pemberitaan mas media sangat menyudutkan Pam Swakarsa, sehingga seorang tokoh semacam Amin Rais bahkan terbius pula, dengan mengatakan supaya segenap para Pam Swakarsa kembali saja ke rumah masing-masing. Ini diakibatkan oleh pemberitaan yang mengekspos bambu runcing yang dipegang oleh beberapa orang Pam Swakarsa.

Beberapa Jum'at yang lalu di Masjid Syura, seorang khatib yang mengkhususkan diri pada materi yang operasional dalam khutbahnya mengkaunter dalam arti memberikan perimbangan berita mas media tentang Pam Swakarsa. Khatib ini mengatakan apa bedanya bambu runcing dengan batu dan bom molotov. Mengapa Amin Rais tidak pula menyuruh demonstran yang bersenjatakan batu dan bom molotov itu pulang saja ke rumahnya masing-masing. Apabila kelompok yang bersenjatakan batu dan bom molotov itu merasa berhak untuk menggagalkan SI MPR, lalu mengapa kelompok Pam Swakarsa itu tidak pernah digubris oleh mas media bahwa mereka itu berhak pula mengambil sikap membela SI MPR, apakah kelompok Pam Swakarsa itu warga negara kelas dua? Kelompok Pam Swakarsa berhasil menggagalkan sidang tandingan kelompok radikal di tugu prolkamasi, karena Pam Swakarsa lebih dahulu menduduki lokasi itu. Bahkan korban yang tewas dari pihak Pam Swakarsa lebih banyak jumlahnya yaitu 7 orang. Mereka perlu pula menjadi perhatian Kontrasnya Munir dan perlu pula diekspos oleh mas media. Anggota Pam Swakarsa yang tewas itu adalah sebagian terdiri atas para remaja dan pemuda masjid. Mereka juga termasuk pahlawan yang gugur dalam membela negara.

Saya pikir benar juga sang khatib ini. Kalau saya tidak salah ingat pernah Menpen mengatakan bahwa pembentukan Pam Swakarsa ini didukung oleh undang-undang. Kemarin malam, yaitu malam Sabtu saya menyaksikan dalam tayangan TV dikemukakan tentang Rakyat Terlatih menurut UU no.20, tahun 1982. Coba bayangkan, andaikata para demonstran yang radikal yang berupaya menggagalkan SI MPR, yang belum tentu semuanya terdiri atas mahasiswa, dapat menerobos masuk menduduki dan menggagalkan SI MPR, maka Pemilu tahun 1999 tidak akan sampai terlaksana, demokrasi akan habis riwayatnya. Penanda-tangan komunike ke-17 orang para benggolan dari Barnas, PUDI dan PDI Megawati, akan berhasil membentuk komite rakyat dan membentuk presidium yang akan mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan Habibie.

Tak terpikirkah ke-17 orang yang tersangka makar itu, bahwa Indonesia bukan Jakarta saja. Mereka itu ibarat keledai yang terantuk pada patok untuk kedua kalinya. Seruan untuk membentuk Dewan Revolusi di daerah-daerah yang dilontarkan oleh Gerakan 30 September 1965 (baca: komunis) tidak mendapat respons sama sekali. Mereka ke-17 orang yang ingin memebentuk komite rakyat dan presidium itu tidak belajar dari kenyataan sejarah di Indonesia bahwa Indonesia itu bukan Jakarta. Boleh jadi penanda-tangan komunike itu belajar dari sejarah pemberontakan Bolsyewik (baca: komunis) di Rusia yang berhasil dengan strategi, menguasai Moskow berarti menguasai seluruh imperium Czar Rusia.

Jadi andaikata kelompok radikal dapat menembus barisan pagar betis penjaga keamanan dan dapat menggagalkan SI MPR, serta-merta kelompok 17 jadi membentuk komite rakyat dan presidium, maka daerah-daerah di luar Jawa tidak akan merespons dan tidak akan mengakui komite rakyat dan presidium itu. Akibatnya Indonesia di luar Jawa akan terpecah-pecah menjadi paling tidak negara bagian, bahkan akan terbentuk negara-negara tersendiri berdasarkan atas wilayah pulau ataupun kesatuan etnis. Sedangkan di Jawa akan timbul khaos yang berakhirkan revolusi sosial. AlhamduliLlah, SI MPR tidak sampai digagalkan, komite rakyat dan presidium tidak jadi terbentuk. Allah SWT masih melindungi bangsa Indonesia dari musibah terpecah-belah dan dari musibah khaos dan revolusi sosial.

Kembali pada sejumlah khatib yang mengkhususkan diri pada materi yang operasional, supaya meneruskan mengambil bagian khusus tersebut, mengontrol para pengontrol sosial: W TWASHWA BALHQ (S.AL'ASHR, 100:3) dibaca: watawa-saw bilhaqqi, artinya: informasikanlah wasiat di atas kebenaran (100:3).

Mulai seri 349 penulisan ayat-ayat Al Quran ditransliterasikan secara huruf demi huruf demi pertimbangan keotentikan, kemudian disusul cara membacanya, terakhir baru artinya. Ini atas saran para pakar dosen senior IAIN.

Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 13 Desember 1998