Pada hari Selasa, 17 Maret 1998, mulai jam 12.20 Wita ditayangkan oleh SCTV acara dialog mengenai mafia peradilan dengan nara-sumber Bismar Siregar, mantan hakim agung yang muballigh. Yang menarik dari dialog yang patut dicatat disini, bahwa dalam kenyataannya selama ini diakui berlangsung semacam mafia peradilan di Indonesia. Bismar Siregar dalam dialog tersebut mengatakan apa yang terjadi dalam lembaga peradilan di Indonesia ini belumlah sampai pada taraf mafia peradilan, akan tetapi diakuinya bahwa telah terjadi kolusi, korupsi dan manipulasi yang dilakukan secara kolektif, yang berkisar dalam substansi uang dan waktu dalam wujud pertanyaan: bayar berapa dan berapa lama? Apa yang dikatakan oleh Bismar Siregar itu sejalan dengan pernyataan Menteri Kehakiman Muladi yang mengatakan bahwa lembaga peradilan bukan tempat mencari uang, melainkan tempat untuk mencari keadilan. Itu berarti secara jujur Menteri Muladi mengakui adanya lahan subur untuk mencari uang di lembaga untuk mencari keadilan tersebut.
Demikianlah poly-krisis (agak menyimpang peristilahan multi-krisis, tetapi maknanya identik) ini bukan hanya terjadi dalam bidang moneter, ekonomi, kepercayaan, akan tetapi juga terjadi krisis di bidang hukum. Kalau krisis moneter dan ekonomi baru berlangsung dalam hitungan bulanan, namun menurut apa yang disimak dari informasi Bismar Siregar tersebut di atas, krisis di bidang hukum telah terjadi dalam bilangan tahunan, sampai membentuk semacam filsafat bodoh: adalah bodoh, kalau tidak ikut dalam aktivitas kolektif kolusi, korupsi dan manipulasi. Menurut Bismar Siregar tidak semuanya yang menganut filsafat bodoh semacam itu, namun jumlahnya tidak banyak. Sungguh suatu pekerjaan rumah yang berat di atas pundak Menteri Muladi untuk membenahi dan membersihkan lembaga peradilan di Indonesia. Pembersihan birokrasi dari kolusi, korupsi dan manipulasi betul-betul harus dimulai dari lembaga tempat orang mencari keadilan ini.
Allah SWT berfirman: WaLa- Ta'kuluw Amwa-lakum Baynakum bilBa-thili waTudluw biHa- ila- lHukka-mi liTa'kuluw Fariyqan min Amwa-li nNa-si bilItsmi waAntum Ta'lamuwna (S. Al Baqarah, 2:188). Janganlah sebahagian dari kamu makan harta orang lain dengan batil dan (jangan) kamu bawa ke hadapan Al Hukkam, supaya kamu dapat makan sebagian dari harta orang dengan berdosa, padahal kamu mengetahuinya.
Secara substantif makan harta orang lain dengan batil adalah merugikan orang lain. Al Hukkam tidak diterjemahkan dengan hakim, oleh karena Al Hukkam itu pengertiannya lebih luas dari hakim. Al Hukkam adalah sebuah sistem lembaga yang berwewenang memberikan sanksi terhadap suatu pertikaian. Itu dapat berarti lembaga peradilan yang memutuskan benar atau salah baik itu dari jenis perkara perdata maupun pidana. Al Hukkam dapat pula berarti lembaga birokrasi seperti misalnya Pemda yang menggusur pemukim yang telah beranak bercucu yang dianggap tidak sah bermukim di tanah negara ataupun di tanah milik sebuah badan usaha yang telah membeli tanah negara itu dari Pemda.
Ayat (2:188) yang dikutip di atas itu menjelaskan perkara perdata yang di dalamnya tersirat perkara pidana. Orang ataupun badan hukum yang membawa kepada Al Hukkam secara perdata, namun ia tahu betul bahwa apa yang dilakukannya itu sesungguhnya tidak benar, artinya ia mengelabui ataupun menipu hendak merampas hak orang lain dengan memakai lembaga peradilan untuk menguatkan tipu dayanya. Ayat (2:188) tersebut juga mengisyaratkan bahwa hal merugikan orang lain dengan jalan membawanya kepada Al Hukkam itu akan berlangsung sepanjang sejarah ummat manusia. Katakanlah antara sebuah badan usaha developer yang berupaya menguasai tanah bertikai dengan penghuni yang telah bermukim di atas tanah itu. Di hadapan Al Hukkam developer itu dapat membuktikan hak kepemilikan atas tanah itu, oleh karena badan usaha itu menyodorkan sertifikat atas tanah tersebut, yang diperolehnya dengan kolusi, korupsi dan manipulasi yang dilakukan secara kolektif. Sedangkan para pemukim yang sebenarnya berhak atas tanah itu tidak dapat membuktikan dalam sidang karena tidak mempunyai sertifikat, berhubung mereka itu buta hukum. Maka tentu saja developer yang bersangkutan akan memenangkan perkara perdata tersebut.
Secara kontextual yang parsial ayat (2:188) mengisyaratkan terjadinya beberapa kasus dalam pembangunan, seperti misalnya pulau Lae-Lae. Pulau itu harus dikosongkan oleh karena konon pulau tersebut telah dibebaskan (baca: dibeli) oleh sebuah badan usaha industri pariwisata. Masyarakat pemukim atas pulau itu tentu saja merasa dirugikan karena disuruh pindah. Buktinya? Mereka diberikan ganti rugi, jadi Pemda mengakui itu suatu kerugian bagi masyarakat yang akan meninggalkan pemukimannya. Bagaimana caranya supaya dapat berlepas diri dari dosa merugikan orang lain. Caranya gampang, berikanlah mereka itu ganti untung, artinya di pemukiman baru mereka itu lebih beruntung kelak.
Atau dapat pula dengan cara nenek moyang kita. Menarik rambut di tepung, rambut tak putus, tepung tidak berserak. Kedua belah pihak sama-sama beruntung, ini sangat sesuai dan konsisten dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Pulau Lae-Lae tetap sebagai obyek wisata. Pulau tersebut ditata sedemikian rupa sehingga menjadi Cagar Budaya kampung nelayan. Wisatawan manca-negara tentu lebih tertarik pada Cagar Budaya kampung nelayan itu ketimbang membangun bangunan-bangunan yang sudah biasa dilihatnya di negerinya masing-masing. Apa pula jika badan usaha itu mengorganiser sampan-sampan tradisional yang akan dipakai untuk menyeberang, menggantikan perahu bermotor yang mengeluarkan polusi. Pada sisi lain dari pantai yang tidak berpenghuni didirikan restoran sederhana yang mengumandangkan lagu-lagu jenis musik hawaian, musik yang cocok sekali dengan alunan ombak di laut. Ada seorang tokoh yang ingin sekali menghidupkan kembali musik hawaian, yaitu Pak J.E. Habibie, mantan Dubes di United Kingdom. WaLlahu a'lamu bi shshawab.
*** Makassar, 22 Maret 1998
22 Maret 1998
[+/-] |
315. Mafia Peradilan dan Cagar Budaya |
15 Maret 1998
[+/-] |
314. Sistem Administrasi yang Kaku |
Ada sebuah prinsip umum yang dianugerahkan Allah SWT kepada hambaNya seperti dalam FirmanNya: -- Yuriydu Lla-hu biKumu lYusra wa Laa Yuriydu biKumu l'Usra (S. Al Baqarah, 2:185), Allah menghendaki kemudahan atas kamu, dan tidak menghendaki kesusahan atas kamu.
Prinsip umum tentang substansi kemudahan tersebut berhubungan dengan aturan Allah tentang puasa. bahwa ka!au seseorang sakit ataupun dalam perjalanan diberikan kemudahan atasnya dengan mengganti puasa itu pada hari yang lain. Sedangkan Allah Yang Maha Kuasa membuat aturan yang tidak kaku bagi hambaNya, apatah pula kita ini manusia yang sangat kecil ini mengapa kita dalam sistem administrasi membuat aturan di sana sini yang sangat kaku? Ini contohnya:
Materi network planning diajarkan dalam Pendidikan dan Latihan Diklat Wilayah IV Departemen Dalam Negeri di Sepadya (dahulu, sekarang materi itu dihapuskan) dan di Sepala (sekarang ini masih diberikan). Ada beberapa di antaranya insinyur mesin dan pertanian yang mantan mahasiswa saya. Karena sistem administrasi yang kaku, mereka itu terkantuk-kantuk mengikuti pelajaran saya. Itu wajar, karena mereka itu telah mendapatkan network planning selama satu semester, sedangkan dalam Diklat itu hanya diberikan beberapa jam, paling lama delapan jam pelajaran. Siapa yang tidak mengantuk akibat sistem administrasi yang kaku. Mengapa kepada mereka itu tidak dibebaskan dalam mata ajaran network planning? Karena yang membuat aturan Diklat itu tidak terpikir olehnya untuk membuat pengecualian, yaitu bagi mereka yang telah mendapatkan mata ajaran tertentu dalam pendidikan formal mereka sebelumnya, dibebaskan dan mata ajaran bersangkutan. Tentu di antara team yang menyusun kurikulum Diklat itu ada orang Islam, mengapa ia tidak mengambil pelajaran dalam hal kewajiban berpuasa?, yaitu Allah memberikan pengecualian dalam aturan kewajiban berpuasa, "yang kepayahan berpuasa seperti orang lanjut umur, sakit-sakitan terus menerus, pekerjaannya berat seperti kuli pelabuhan dan penarik becak, dibebaskan berpuasa dan diganti dengan membayar fidyah, memberi makan orang miskin."
Mari kita melakukan reorientasi berpikir. Yaitu reorientasi berpikir dalam konteks merujuk kembali kepada Al Quran. Setiap memperingati Nuzulu IQuran selalu ditekankan perlunya kita menghayati petunjuk Al Quran, untuk diaktualisasikan dalam kehidupan kita. Al Quran adalah petunjuk kita, tidak terkecuali dalam berpikir. Menurut Al Quran berpikir itu ada aturannya, yaitu berdzikir dahulu: -- Alladziyna Yadzkuruwna Lla-ha Qiyaaman waQu'uwdan wa 'ala- Junuwbihim wa Yatafakkaruwna fiy Khalqi sSama-wa-ti wa lArdhi (S. Ali 'Imraan, 3:191), artinya: Yaitu orang-orang yang mengingat Allah talkala berdiri, duduk dan berbaring, dan berpikir tentang penciptaan (benda-benda) langit dan bumi.
Demikianlah, reorientasi berpikir. Merujuk kembali kepada Al Quran, yaitu sebelum berpikir, berdzikir, mengingat Allah terlebih dahulu dalam konteks mengingat aturan-aturan Allah, yang salah satu di antaranya yakni substansi prinsip kemudahan, termasuk di dalamnya sistem administrasi yang tidak kaku. Sebab pengalaman mengajarkan kita semua, sistem administrasi tidak mudah, berbelit tetapi kaku, melalui banyak meja, mendatangkan kesulitan kepada masyarakat, termasuk pengusaha kecil dan menengah, yang mengurus surat-surat ataupun dokumen. Maka untuk mempermudah pengurusan itu mengucurlah keluar minyak pelumas, pelicin, lampiran formulir yang tebal, emplop, uang siluman, suap, sogok den seribu satu macam istilah. Dan apabila yang mengurus itu adalah pengusaha, dimasukkannyalah itu dalam kalkulasi biaya overhead, dan ujung-ujungnya yang kena batunya adalah para konsumen, rakyat banyak adanya.
Restrukturisasi sistem administrasi merupakan salah satu pekerjaan rumah bagi Kabinet Pembangunan V yang telah diumumkan kemarin. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 15 Maret 1998
8 Maret 1998
[+/-] |
313. Tranparansi Kekayaan Para Umara |
Setiap kali Nabi Zakaria AS, yang mengasuh dan membesarkan Maryam binti 'Imran, masuk ke mihrab senantiasa telah tersedia makanan di hadapan Maryam. Bertanyalah Nabi Zakariya AS:
YaMaryamu Annay Laki Hadza- Qa-lat Huwa min 'indi Llahi (S. Ali 'Imra-n, 3:37), hai Maryam, dari manakah engkau mendapatkan
ini, berkata (Maryam) ia dari sisi Allah.
Tatkala 'Umar ibn Khattab RA menjadi khalifah, ia memperkembang pertanyaan Nabi Zakaria AS menjadi Annay Laka Hadza-. Pertanyaan tersebut ditujukan Khalifah 'Umar kepada para umara, yaitu para aparatur negara. [Laki dalam ayat dikembangkan Khalifah 'Umar menjadi Laka, oleh karena Maryam adalah perempuan, sedangkan aparat adalah laki-laki]. Khalifah 'Umar mengharapkan (dan harapannya itu terkabul) bahwa seluruh aparat memberikan jawaban yang sama dengan jawaban Maryam, bahwa kekayaan para aparat itu adalah rezeki yang halal dari Allah SWT, bukan harta yang haram dari setan.
Bahkan pertanyaan dari manakah engkau dapatkan itu pernah pula ditujukan kepada Khalifah 'Umar sendiri oleh seorang rakyat biasa. Yaitu tatkala Khalifah 'Umar baru mulai angkat bicara di hadapan rakyatnya, lalu diinterupsi oleh salah seorang dari majelis (audience): "Hai 'Umar, saya tidak mau mendengarkan bicaramu, sebelum engkau menjelaskan dari mana asalnya kain yang engkau jadikan jubbah yang engkau pakai itu." Tubuh 'Umar besar tinggi, sehingga tidak mungkin kain pembagian yang dibagi rata akan dapat menutupi seluruh tubuh 'Umar setelah menjadi jubbah. Mendengar interupsi itu Khalifah 'Umar tidak marah, ia hanya
minta kepada anaknya untuk menjawabkannya. Maka berdirilah 'Abdullah memberikan penjelasan: "Jatah pembagian kain untuk saya, saya berikan kepada ayah saya."
Demikianlah dalam tarikh Islam kekayaan umara ditransparankan kepada khalayak, bahkan sampai kepada yang kecil sekalipun seperti jubbah. Walaupun para sahabat yang menjadi pejabat itu secara logika dapat dijamin tentang akhlaqnya, namun tranparansi dan pertanyaan Annay Laka Hadza- itu mempunyai hikmah dalam kontex kewibawaan para umara itu. Demikian pula menginterupsi bukanlah hal yang tabu, karena itu ada hubungannya dengan asas keterbukaan.
Harian FAJAR edisi Rabu, 4 Maret 1998 menjadikan head line tentang kesediaan calon wakil presiden Prof. B.J. Habibie untuk diaudit kekayaannya. Dalam berita itu dikatakan bahwa itu adalah langkah awal untuk menciptakan pemerintahan yang bersih.
Setelah saya pilah-pilah beberapa tanggapan dari beberapa orang terhadap kesediaan Habibie diaudit kekayaannya itu dalam berita tersebut, saya lihat ada tiga jenis tanggapan, pertama yang menyambutnya dengan positif, kedua yang menanggapi bahwa itu telah dikemukakan sebelumnya dan yang ketiga menyambutnya dengan nada mineur.
Yang pertama kita kutip tanggapan salah seorang di antaranya, yaitu pendapat pengamat politik dari UI, DR Amir Santoso. Ia mengatakan bahwa kesediaan Habibie untuk diaudit kekayaannya merupakan pernyataan yang aspiratif. Artinya meskipun tidak ada ketentuan dalam undang-undang, namun kesediaan diperiksa kekayaannya itu merupakan antisipasi hal-hal yang berkembang dimasyarakat. Sikap Habibie itu bagus sekali untuk dijadikan pedoman bagi kabinet yang akan datang.
Yang kedua kita kutip komentar Siswono Yudohusodo, menteri demisioner. Ia mengatakan bahwa ia dahulu pernah melontarkan gagasan agar para pejabat melaporkan kekayaannya. Ia sendiri telah melaporkan kekayaannya kepada presiden. T.B. Silalahi yang juga menteri demsioner mengatakan bahwa ada Kepres mengenai perlunya pejabat tinggi melaporkan harta kekayaannya kepada presiden, hanya saja Kepres itu belum banyak diketahui oleh umum.
Yang ketiga, yang menyambutnya dengan nada mineur, yaitu dari anggota FKP MPR St Hediati Prabowo. Menurut anggota MPR ini pejabat bersih dan jujur itu jauh lebih penting dari dibandingkan dengan hanya mencatatkan kekayaan karena hal itu masih mungkin dilakukan pemalsuan data. Apa gunanya kalau yang dilaporkan itu tidak cocok dengan yang dimilikinya.
Menurut hemat saya ada yang tajam yang tidak diungkap dalam ketiga jenis tanggapan itu. Habibie yang saya kenal betul watak dan sikapnya, tidak akan mengemukakan hal-hal yang telah pernah dikemukakan oleh orang lain. Artinya ia senantiasa mengemukakan gagasan yang orisinal. Watak dan sikap Habibie ini saya kenal akibat pergaulan bertahun-tahun sebagai seorang sahabat yang sering berdebat dengannya. Bahkan ketika Habibie baru pulang ke Indonesia dari Jerman yang datang ke Makassar ini, sempat malam-malam datang ke rumah saya, dan pada waktu itu bertukar pikiran tentang teknologi yang cocok dipakai di Indonesia.
Maksud Habibie bersedia diaudit kekayaannya bukan hanya sekadar diaudit, karena itu sudah dikemukakan oleh Siswono Yudohusodo, ataupun sudah ada dalam Kepres. Gagasan orisinal Habibie diaudit kekayaannya ialah hasil audit itu secara transparan disodorkan kepada rakyat. Silakan rakyat tahu akan kekayaannya itu.
Maka tidak perlu timbul kekhawatiran St Hediati Prabowo tentang kemungkinan adanya pemalsuan data, karena rakyat nanti yang akan ikut mengawasinya. Misalnya terjadi pemalsuan data audit tentang jumlah mobil yang dimiliki oleh seorang pejabat, katakanlah dua biji, maka rakyat, katakanlah teman sejawatnya atau tetangganya akan mengoreksi secara terbuka, bahwa yang bersangkutan sebagai kolektor mobil mewah memiliki katakanlah tujuh biji.
Meskipun Ketua FKP MPR Ginandjar Kartasasmita dan Wkl Ketua FKP St Hardiyanti Rukmana mengatakan bahwa mengaudit kekayaan menteri adalah hak prerogatif presiden, namun menurut hemat saya mengaudit kekayaan ini perlu dikuatkan dengan undang-undang, bahkan untuk seluruh pejabat top down. Karena tidak ada dalam UUD-1945 yang mengatakan bahwa mengaudit kekayaan menteri itu hak prerogatif presiden. Menunjuk menteri dengan mengaudit kekayaan menteri adalah dua hal yang berbeda.
Hendaknya dinyatakan dalam undang-undang itu yang mengaudit adalah sebuah lembaga tersendiri yang tidak bernaung dalam lembaga exekutif, melainkan bernaung dalam lembaga tinggi negara yang setaraf dengan lembaga exekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Dinyatakan pula dalam undang-undang itu bahwa lembaga pengaudit itu bertindak pula mengusut kekayaan para aparat itu dengan asas Annay Laka Hadza-. Maka aparatur negara yang bersih dan berwibawa Insya-Allah akan terwujud. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 8 Maret 1998
1 Maret 1998
[+/-] |
312. Sekapur Sirih Untuk Sidang Umum MPR |
Dalam Syari'at yang dipertajam dalam Ilmu Fiqh kekayaan itu harus dibingkai dengan cara-cara yang harus ditempuh untuk mendapatkan kekayaan itu, serta kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi untuk memanfaatkan kekayaan itu. Dalam bidang tasawuf kekayaan itu dibingkai oleh sikap tidak mencintai dunia (baca: uang dan harta). Seorang sufi tidak harus membelakangi dunia, ia dapat saja kaya, akan tetapi hatinya tidak terpaut pada kecintaan uang dan harta, melainkan cinta kepada Allah dan RasulNya.
Dalam kolom ini pembahasan tidak difokuskan pada kekayaan yang dibingkai dalam Ilmu Fiqh maupun tasawuf, melainkan yang akan dibicarakan adalah kekayaan yang dibingkai secara sosiologis ekonomis. Mengapa? Karena itulah yang relevan sekarang dalam kontex poly-krisis, yang bermula dari krisis moneter, meningkat ke krisis ekonomi dan ketingkat krisis selanjutnya.
Firman Allah SWT:
Kay La- Yakuwna Duwlatan Bayna lAghniya-i minKum (S. Al Hasyr, 59:7), supaya (apa-apa yang diberikan Allah) itu jangan beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu.
Apa-apa yang dilarang Allah SWT niscaya membawa mala-petaka apabila dikerjakan, tidak terkecuali kekayaan yang hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Sila Kelima yang telah dijabarkan ke dalam urutan pertama Trilogi Pembangunan, telah diwujudkan dalam kenyataan, yaitu pembangunan dan hasil-hasilnya telah relatif merata di seluruh Indonesia. Namun demikian, selama ini kita bangsa Indonesia sadar atau tidak sadar telah melanggar ayat (59:7) tersebut. Konglomerat selama ini telah menguasai peredaran dana sekitar 70%, padahal jumlah mereka hanya sedikit sekali (sekitar 200 orang).
Perekonomian kita selama ini ditopang oleh para konglomerat, yang nota bene juga mempunyai bank, yang menarik dana dari rakyat banyak melalui sistem tabungan berbunga. Yang juga meminjam dana dari negeri-negeri atas angin, yang sudah tiba masanya harus dikembalikan bersama bunganya. Yang harus mendapatkan dollar untuk membayarnya. Yang menyebabkan dollar menjadi barang dagangan, yang berujung pada krisis moneter. Bersinergi pula dengan kredit macet, akibat ulah petinggi bank yang berkolusi dengan pengusaha, yang menyebabkan bank-bank sakit parah, yang 16 buah di antaranya telah dilikwidasi.
Konglomerasi berasal dari bahasa Inggris conglomeration yang berarti anything composed of heterogeneous materials or elements, apa saja yang terdiri atas sejumlah material atau unsur-unsur yang heterogen. Contohnya seperti dalam geologi misalnya, batu karang adalah konglomerasi batu-batuan, kerikil dan sebangsanya. Dalam bahasa Indonesia pelaku konglomerasi disebut konglomerat. Istilah konglomerat dan konglomerasi mengalami pergeseran makna yang menyempit. Konglomerasi terkhusus hanya pada pengelompokan berjenis-jenis usaha dagang ataupun industri dalam satu badan usaha oleh konglomerat.
Konglomerasi dalam usaha dagang dan industri itu secara nafsani (kejiwaan) tidaklah terlepas dari nafsun ammarah yang mendorong manusia untuk tidak puas-puasnya. Secara teknis pragmatis timbulnya konglomerasi berdasar atas pertimbangan fluktuasi pasar di antara jenis usaha yang dikelompokkan itu. Secara bergantian dalam intern konglomerasi itu unsur jenis usaha yang sedang mengalami lesu pasar ditopang oleh unsur jenis usaha yang pasarnya sedang naik daun.
Dalam dunia ketiga (developing countries) ada dua pola dalam membangun negerinya. Ada pola Brazil yang sangat bernafsu mengejar dunia maju (developed countries), perbesar kue pembangunan baru dibagi. Ada pola Tanzania yang mementingkan distribusi dan penekanan pada usaha padat karya dengan risiko pertumbuhan lambat, kue pembangunan biar kecil-kecil sudah dibagi-bagi. Teknologi yang dipakai dalam usaha padat karya adalah teknologi sederhana, sedangkan teknologi sederhana akan menghasilkan nilai tambah yang rendah. Itulah sebabnya penekanan pada usaha padat karya akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang rendah.
Kita masih ingat mendiang Ali Murtopo (baca: CSIS) arsitek akselerasi modernisasi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, supaya dapat mengejar negara-negara maju. Rupanya CSIS memilih pola Brazil. Akselerasi lebih cepat dari kecepatan. Dalam ilmu mekanika kecepatan hanya diukur dalam meter per detik, sedangkan akselerasi dalam meter kuadrat per detik. Untuk mencapai tujuan itu perlu badan usaha dan industri yang padat modal. Bukan badan usaha dan industri yang padat karya yang hanya menghasilkan pertumbuhan yang rendah. Inilah asal-muasal munculnya para konglomerat yang menguasai peredaran dana yang 70% itu.
Bahwa belakangan, setelah CSIS telah tersingkir dari lingkaran kekuasaan, ada suara-suara utuk memihak pengusaha menengah dan kecil yang banyak jumlahnya, akan tetapi kesadaran itu sudah terlambat. Sudah terlalu lama kita melanggar ayat (59:7). Oleh karena kekayaan itu selama ini hanya sekitar 30% yang beredar dalam kalangan pengusaha menengah dan pengusaha kecil yang jumlahnya ribu-ribuan, maka landasan perekonomian menjadi rapuh. Lalu dengan ambruknya kebanyakan dari para konglomerat itu, karena menanggung utang dari negeri-negeri atas angin yang tak sanggup mereka bayar, maka ambruk pulalah perekonomian kita (baca: krisis ekonomi).
Currency Board System dengan konsultasi International Monetary Fund adalah jurus taktis untuk mengatasi krisis moneter, sedangkan jurus strategis adalah pola Tanzania. Dekonglomerasi, penekanan pada distribusi, badan usaha padat karya pada lapisan bawah, teknologi yang relevan dengan industri kecil. Strategi ini tentu saja tidak menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ini dapat diimbangi dengan teknologi canggih yang padat modal dalam bidang industri pesawat terbang dan industri logam & mesin utamanya mesin perkakas. Seperti diketahui teknologi canggih menghasilkan nilai tambah yang tinggi pula. Bantuan World Bank adalah jurus pertama dari jurus strategis. Sekapur sirih untuk Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang mulai bersidang pada hari ini. Mudah-mudahan kolom ini sempat dibaca oleh sahabat saya Rudy (sebutan akrab Prof. DR Dipl.Ing Al Hajj Baharuddin Jusuf Habibie), yang Insya Allah akan menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 1 Maret 1998