7 Februari 1999

360. Buat Apa Referendum dan Hentikan Kampanye Kondom

AM Fatwa dari DPP PAN dalam Rakerwil PAN salut kepada Presiden Habibie dalam tiga hal. Yang pertama kebijakannya bersedia melepaskan Timtim sebagai alternatif akhir, kedua dikeluarkannya PP tentang netralisasi PNS dan ketiga rencananya untuk tidak lagi menempatkan hakim di dalam struktur lembaga eksekutif melainkan akan dipindahkan ke lembaga yudikatif. Sesuai dengan watak orang Bugis yang tidak cengeng, Fatwa dalam ucapannya itu tidak pakai embel-embel, tidak seperti kedua petinggi top PAN yang lain. Amin Rais memakai embel-embel berikan waktu tiga tahun untuk persiapan referendum, dan Faisal Basri memakai embel-embel dengan merajuk mengapa mesti ada tenggang waktu tiga bulan bagi PNS.

Sesungguhnya buat apa itu waktu tiga tahun, buat apa referendum, menghabiskan daya dan dana. Sudah terlalu banyak daya dan dana yang diserap anak manja itu selama ini. Lebih baik perhatian sekarang difokuskan pada pelaksanaan Pemilu supaya aman, luber, jurdil, bersih, transparan.

Ditegaskan oleh Presiden Habibie bahwa Timtim adalah wilayah Republik Indonesia, rakyat di sana ikut Pemilu. Jadi menurut hemat saya tidak perlu referendum. Setelah DPRD hasil Pemilu itu terbentuk, maka wakil rakyat itu disuruh memilih: otonomi khusus atau merdeka. Alhasil menghemat man-year, menghemat dana sekian dikali tiga, menghemat dana referendum.

***

Ada hal yang tidak kurang pentingnya yang perlu dibahas, yaitu penanggulangan HIV/Aids dengan kampanye kondom. Menurut penelitian di Amerika Serikat ada pengaruh pemakaian kondom terhadap jumlah pengidap Aids. Dalam gambaran statistik sudut tanjak (slope) dari kurva membesar dalam tahun dimulainya kampanye kondom. Maka jumlah pengidap Aids yang mulanya diperkirakan akan tercapai dalam tahun 2000, ternyata telah tercapai dalam tahun 1995. Lalu apa gerangan hubungan kausal antara kampanye kondom dengan meningkatya pertumbuhan pengidap Aids tersebut?

Setelah dikaji, orang melihat bahwa hubungan kausal itu terletak dalam tiga hal, pertama jumlah orang yang melakukan perbuatan berisiko tinggi (baca: berzina) bertambah, kedua perangai orang yang melakukan hubungan sex pada umumnya, dan ketiga material dari kondom itu sendiri.

Yang pertama, orang-orang pada berani dan berlomba-lomba berzina oleh karena merasa aman memakai jas pelindung. Jadi kondom merangsang pertumbuhan populasi pezina. Ini efek sampingan yang kualitasnya bukan sampingan lagi melainkan menjadi utama, karena telah menyangkut akhlaq anak-anak bangsa utamanya bagi para anak baru gede (ABG).

Yang kedua, pada umumnya sebelum orang melakukan hubungan sex bercumbu dahulu. Maka virus mematikan itu berpindahlah melalui air liur dalam aktivitas oral, lips against lips, bahkan mond tegen mond. Itu dengan asumsi kondom efektif 100%. Karena populasi pezina pemakai kondom meningkat, maka meningkat pulalah jumlah pengidap Aids.

Yang ketiga, dari segi pengendalian kualitas (quality control) dan proses pembuatan material kondom, menyebabkan kondom tidak efektif 100%. Dari segi quality control, menurut penelitian di Amerika Serikat di antara kondom yang diperjual-belikan ada sekitar 30% yang bocor. Dan dari segi pembuatannya, material kondom berupa serat oleh proses polymerisasi. Artinya kondom itu berpori-pori. Ukuran pori itu sekitar 0,003mm. Pada hal ukuran virus jahannam HIV jauh lebih kecil, yaitu 0,000001mm. Perbandingan keduanya adalah seperti pintu gerbang yang besar dengan seekor tikus. Maka para konsumen tidak menyadari bahwa ia terkecoh oleh provokator yang berpromosi "hasil teknologi canggih". Para konsumen kondom terbius oleh label teknologi canggih. Tidak menyadari virus menembus kondom melalui pori-porinya.

Kita menghimbau kepada organisasi-organisasi LSM dan para aktivisnya dalam kancah penanggulangan HIV/Aids supaya berhenti mengkapanyekan kondom. Hentikan itu iklan kampanye kondom di media grafika dan elektronika dan keluarkan dari materi penataran silabi mengenai kondom. Sangat tidak simpatik, memuakkan dan menyakitkan telinga gaya norak di televisi: Jengen lupeeeee, jengen lupeeeee.

Musibah menyebarnya HIV/Aids itu menurut istilah Al Quran termasuk kategori fitnah. Firman Allah:

-- W ATQWA FTNT LA TSHYBN ALZDYN ZHLMWA MNKM KHASHT (S. ALANFAL, 8:25), dibaca: Wattaqu- fitnatal la- tushi-bannal ladzi-na zhalamu- minkum kha-shshatan (S. Al Anfa-l, 25), artinya:
-- hindarkanlah fitnah yang tidak hanya menimpa atas orang-orang zalim di antara kamu secara khusus.

Cara untuk menghindarkan itu yang paling efektif adalah dengan pemaksaan hukum (law enforcement). Maka sebaiknya LSM-LSM yang berkecimpung dalam kancah penanggulangan HIV/Aids menambah wawasan perjuangannya menjadi pressure-group agar Pemerintah dan DPR membuat UU anti HIV/Aids. Sebuah ayat yang populer yang telah dibahas dalam seri ybl sangat relevan dengan upaya membuat UU anti HIV/Aids tersebut, yakni:

- ALFTNt ASYD MN ALQTL (S. ALBQRT, 2:191), dibaca: Alfitnatu asyaddu minal qatli (S. AlBaqarah, 2:191), artinya:
-- Fitnah itu itu lebih keras dari pembunuhan.

Oleh sebab itu dalam UU anti HIV/Aids itu kelak terdapat substansi pidana penyebaran HIV. Bahwa menjangkitkan HIV dengan sengaja adalah perbuatan pidana yang sanksinya lebih berat dari pidana pembunuhan. Dengan demikian orang harus hati-hati dalam bermain jarum suntik, para suami menjadi hati-hati jangan sampai membawa virus berbahaya itu bersarang dalam tubuh isterinya yang tidak berdosa. Inilah makna menghindarkan fitnah yang tidak hanya menimpa orang yang berbuat zalim (baca: menulari isterinya) saja.

Di samping itu juga harus mereformasi psl 284 KUHP mengenai zina. Harus diganti dengan undang-undang yang lebih efektif untuk mencegah perzinaan. Yaitu melarang perzinaan, baik atas dasar suka sama suka bagi yang belum kawin, ataupun lebih-lebih lagi bagi yang sudah kawin, bukan delik aduan, siapa saja yang mengadukan kepada yang berwajib harus dilakukan penyelidikan- penyidikan-penuntutan, pengaduan tidak boleh ditarik kembali. Bukan berzina saja yang termasuk perbuatan pidana, akan tetapi berbisnis seks juga adalah tindak pidana, sehingga harus pula mendapat sanksi hukum yang sama dengan pidana zina. Sanksi pidana zina harus berat, untuk penggentar bagi yang akan coba-coba berani melakukannya. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 7 Februari 1999