28 Februari 1999

363. Rekaman Kaset Sebagai Kendaraan Politik

Ada penelitian mengenai IQ di Amerika Serikat yang dikhususkan kepada ras kulit putih dan ras negro (sumbernya: RVB Delft Nederland). Hasil penelitian tersebut yang diplot dalam sumbu horisontal IQ dan sumbu tegak lurus N (jumlah orang) menggambarkan kurva untuk ras kulit putih puncaknya di sebelah kanan, sedangkan kurva untuk ras negro di sebelah kiri dari puncak kurva normal. Puncak kurva kedua jenis ras itu sama tingginya. Hasil penelitian ini menunjukkan fakta bahwa orang kulit putih IQnya lebih tinggi dari orang negro. Terhadap fakta itu ada dua penafsiran tergantung dari sikap penafsir. Orang-orang Khu Klux Klan modern mengatakan bahwa memang dari sononya ras kulit putih kecerdasannya lebih unggul dari ras negro. Sebaliknya orang-orang negro yang tidak mendapatkan fasilitas yang adil dari pemerintah Amerika mengatakan, itulah bukti bahwa pemerintah tidak memberikan kesempatan yang sama dan adil bagi orang-orang negro dalam segala fasilitas termasuk bidang pendidikan.

Demikian pula terhadap kaset rekaman yang ramai dibicarakan orang itu. Sejak presiden Habibie memegang tampuk pemerintahan sudah tampak polarisasi, yaitu kelompok yang mendukung (KN = kanan) dengan yang menolak (KR = kiri), baik secara hukum maupun secara riel di lapangan khususnya di pekarangan gedung MPR/DPR. Yang menonjol di bidang hukum dari pihak KR adalah Dimyati Hartono, yang ditantang oleh Yusril Mahendra berdebat secara terbuka, namun Dimyati tidak (berani?) menyambut tantangan Yusril itu. Setelah presiden Soeharto lengser menjadi mantan, maka mahasiswa secara berangsur meninggalkan halaman gedung MPR/DPR. Yang bertahan kemudian dievakuasi ke kampus Atma Jaya adalah KR. Sedangkan yang datang setelah selesai shalat Jum'at memasuki halaman MPR/DPR adalah KN, yang berhasil masuk ke halaman dengan didahului insiden kecil, karena KR yang ada di dalam bersikap otoriter tidak mengizinkan. Ujung tombak KN dalam upayanya menerobos masuk terpaksa memakai ketupat bangkahulu. Melalui media elektronika saya lihat sendiri bendera HMI berkibar memasuki halaman MPR/DPR di tengah-tengah arus kelompok KN itu.

Terhadap kaset rekaman itu golongan yang sudah memilih sikap KR itu telah banyak diekspos oleh mas media. Golongan KR ini memanfaatkan kaset rekaman itu sebagai kendaraan politik. Inilah bagian rekaman itu: Kalau bapaknya baru berapa jam? Tiga jam lebih. Ya, udah cukup? Iya kan kalau dua jam juga nanti orang, wah sandiwara apa lagi nih.

Kata sandiwara itulah yang enak sekali dijadikan kendaraan politik dengan isu politik bahwa pemeriksaan mantan presiden Soeharto hanya sekadar dagelan politik. Akan tetapi bagi golongan yang sudah mengambil sikap KN menampik isu politik golongan KR itu (ini kurang diekspos oleh mas media). Golongan KN mengatakan tidak ada sama sekali perintah untuk menghentikan penyelidikan, itu bukan sandiwara. Tentang adanya kata sandiwara itu hanya sekadar disinggung sebagai reaksi atas adanya isu sandiwara yang telah beredar dalam kalangan sebagian orang sebelum lahirnya kaset rekaman itu.

Pembicaraan-pembicaraan dalam masyarakat dan di mas media yang grafika dan elektronika tentang kaset rekaman dalam konteks proses perekamannya hanya mengemukakan kalau bukan penyadapan maka pasti pemalsuan suara, singkatnya: menyadap ATAU memalsu. Tidak ada yang mengemukakan kemungkinan proses itu adalah kombinasi penyadapan sekaligus pemalsuan, singkatnya: menyadap DAN memalsu.

Itang Kurnaedi (saya tidak tahu di mana ia sekarang) adalah seorang anggota HMI cabang Bandung di tahun 50-han. Ia dapat meniru suara pidato Bung Karno. Ada juga seorang anggota HMI cabang Solo, juga tahun 50-han (sayang saya sudah lupa namanya, yang saya ingat ia berasal dari Riau), kalau memakai peci mirip dengan Bung Hatta, juga dapat meniru suara Bung Hatta. Muballigh muda Cecep Maulana kalau hanya mendengar suaranya berda'wah dikira KH Zainuddin MZ.

Ada saja kemungkinan orang yang mau mendapatkan kendaraan politik mengitangkan atau mencecepkan suara AM Ghalib menyisipkan masuk ke dalam rekaman yang telah disadap sebelumnya. Boleh jadi ucapan: Iya kan kalau dua jam juga nanti orang, wah sandiwara apa lagi nih, adalah kalimat sisipan. Kalau kemungkinan yang tidak mustahil ini yang terjadi, itulah yang saya katakan: menyadap DAN memalsu.

Patut difahami walaupun suara tiruan itu kedengarannya sama betul dengan suara asli, itu hanya menurut sensor gendang telinga. Kalau diperiksa dengan instrumen penganalisis-suara, maka spektrum suara palsu dengan yang asli tidak sama polanya. Akan tetapi sebaliknya, dua suara yang spektrumnya sama polanya belum tentu keduanya asli, oleh karena suara itu dapat direkayasa dengan teknologi canggih. Tegasnya spektrum suara polanya akan berbeda jika yang menirukan itu getaran tali suara manusia, akan tetapi tiruan suara dengan rekayasa teknologis tidak dapat dibedakan mana yang asli mana yang tiruan. Itulah sebabnya dalam dunia hukum rekaman suara tidak dapat dijadikan alat bukti.

Oleh sebab itu ada baiknya dalam suasana kemerdekaan pers (suatu kebijakan pemerintahan Habibie yang bukan perpanjangan Orde Baru), eloklah dimasukkan nilai ke dalam kode etik jurnalistik substansi yang ditimba dari dalam Al Quran, seperti Firman Allah SWT:

YAYHA ALDZYN AMANWA AN JAAKM FASQ BNBA FTBYNWA AN TSHYBWA QWMA BJHALT FTSHBHWA 'ALY MA F'ALTM NDMYN (S. AL HJRAT, 49:6), dibaca: Ya-ayyuhal ladzi-na a-manu- in ja-akum fa-siqun binabain fatabayyanu- an tushi-bu- qawman bijaha-latin fatushbihu- 'ala- ma- fa'altum na-dimi-na (S. Alhujura-t), artinya: Hai orang-orang beriman jika datang kepadamu orang fasiq dengan berita, mestilah kamu klarifikasikan jangan sampai kamu menimpakan musibah atas suatu kaum tanpa menyadarinya, lalu kemudian kamu menyesali akan perbuatanmu (S. Bilik-bilik, 49:6).

Fasiq dibentuk oleh akar Fa, Sin, Qaf, artinya menyusahkan, sehingga fasiq dalam kontex NBA (dibaca: nabaun, artinya berita) adalah sumber berita seperti kaset rekaman yang disimpan dahulu sekitar satu setengah bulan sebagai kartu truf untuk dipergunakan dalam situasi yang tepat: isu capres. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 28 Februari 1999