6 Juni 1999

375. Islam Phobia, Suatu Sikap Mental Status Quo

Pekan yang lalu saya menerima deringan telepon menanggapi Seri 374 tentang status quo. Karena ia tidak menyebutkan namanya saya sebut saja ia si Fulan. Ia mengeritik bahwa kriteria yang saya tambahkan tidak menyebutkan sebuah kriteria yang sangat penting. Seperti di ketahui mahasiswa UI telah menyodorkan kriteria status quo, yaitu: Tidak menolak dwi fungsi ABRI, terlibat KKN, tidak menegakkan supremasi hukum, memposisikan diri sebagai mesin politik Orde Baru, tidak menggunakan budaya demokrasi yang egaliter, tidak setuju terhadap otonomi daerah yang seluas-luasnya, tidak mendukung amandemen 1945. Dalam Seri 374 saya bertanyakan mengapa kedua kriteria berikut yang sangat penting tidak disebutkan, yaitu: tidak setuju kebebasan pers, dan tidak setuju dengan kebebasan mendirikan partai politik.

Sebenarnya makhluq status quo ini sudah dijadikan kendaraan politik, sehingga yang telah memposisikan diri tidak senang kepada Presiden Habibie dengan sadar sengaja tidak menyebutkan kedua kriteria tersebut. Bukankah Presiden Habibie yang telah memberikan kebebasan berbicara dan berserikat? Sebenarnya, sekali lagi sebenarnya, jika makhluq statusquo ini tidak dijadikan komoditas politik, ada status quo yang terpuji, yaitu anti marxisme yang atheis yang berfilosofi pertentangan kelas, yang menganggap agama itu sebagai candu bagi rakyat.

Kembali kepada si Fulan yang bertelepon, ia meminta dengan sangat supaya saya menulis mengenai kriteria yang sangat penting yang saya lupakan yaitu kriteria lslam Phobia. Fulan ini berpendapat orang yang Islam Phobia adalah anti reformis, pro status quo. Saya setuju dengan pendapat Fulan ini, bahkan saya pernah merasakan betapa besar kecurigaan orang berpenyakit Islam Phobia ini. Menjelang Pemilu pertama Orde Baru saya merasakan betapa sulitnya mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan guna keperluan administratif Caleg dari Parmusi yang berasaskan Islam untuk DPR pusat. Maka permintaannya saya penuhi, sehingga lahirlah judul seperti di atas itu. Phobia berarti kekhawatiran yang irasional yang tak terkendalikan (irrational uncontrollable fear).

***

Tata-komunikasi barat ibarat santet yang tukang sirap berita, menyebabkan para konsumen berita terpukau olehnya, lalu melahap bulat-bulat isi beritanya. Arus informasi yang didominasi oleh tata-komunikasi barat yang memiliki sarana, peralatan dan jaringan organisasi yang unggul hampir berhasil membentuk opini sebagian besar konsumen berita. Hanya sedikit konsumen berita yang mengunyah dan mencerna berita itu secara selektif dan cermat. Prof Dr Samuel Huntington atas dasar prasangka penyakit Islam Phobia melalui jalur tata-komunikasi barat menyalurkan sangkaan yang dibungkus dengan teori ilmiyah. Dalam majallah Time (kalau tidak salah ingat terbitan pertengahan tahun 1993) dapat kita lihat bagaimana kacamata guru besar ilmu politik dari Harvard University ini melihat Islam. Bahwa barat harus mewaspadai gerakan-gerakan kaum fundamentalis Islam yang membahayakan demokrasi. Konon kabarnya di lndonesia ini guru besar tersebut ditokohkan sebagai salah seorang nara sumber yang buku-bukunya menjadi rujukan para mahasiswa dan dosen dalam ilmu sosial dan pulitik.

ltulah Islam Phobia yang dibungkus kemasan teori ilmiyah disalurkan melalui jalur tata-komunikasi barat. Benarkah misalnya seperti Iran, Afghanistan ataupun kelompok-kelompok pejuang Islam membahayakan demokrasi? Selama ini saya menyangka bahwa sistem pemerintahan negara yang berbentuk republik hanya dua jenis: Kabinet presidensial dan kabinet parlementer. ltulah demokrasi barat. Lalu bagaimana dengan sistem pemerintahan Republik Islam Iran?

Dalam konstitusi Iran proses pembentukan pemerintahan dilakukan presiden (yang dipilih langsung oleh rakyat) bersama-sama dengan majelis (yang juga dipilih melalui Pemilu). Terus terang belum pernah saya dengar sebelumnya proses pembentukan pemerintahan seperti ini dalam ilmu tata-negara.

-- WAMRUM SYWRY BYNHM (S. ALSYWRY, 38), di baca: wa amruhum syu-ra- bainahum (asysyu-ra-), artinya: Dan urusan mereka dimusyawarakan di antara mereka (42:38), dijabarkan ke dalam ilmu Fiqh dalam ruang lingkup ketata-negaraan oleh ummat Islam madzhab Syi’ah. Sebelum membaca konstitusi Republik Islam Iran itu saya belum tahu tentang penjabaran Syariat ke dalam Fiqh dalam kalangan Syi’ah itu, karena saya bukan Syi’ah, namun saya sangat berterima kasih kepada Syi’ah oleh karena ilmu saya bertambah. Huntington perlu belajar dari Republik Islam Iran tentang proses yang sangat demokratis dalam pembentukan kabinet.

Sikap Islam phobia ini juga subur bertumbuh dalam politik tingkat tinggi, seperti misalnya rezim militer Aljazair. Golongan Islam yan membentuk kekuatan politik, yang menempuh cara demokratis, berhasil memperoleh kemenangan dalam pemilihan umum tingkat pertama tahun 1992. Pemilu lanjutan dibatalkan, dan partai itu akhirnya dibubarkan oleh rezim militer Aljazair.

***

Islam phobia ini mengalami metamorfosis dalam kalangan orang Islam sendiri yang berwujud menempatkan Islam sebagai sub-ordinat dari kebangsaan. Ini dapat dilihat dalam polemik secara tidak langsung sebelum Indonesia merdeka antara Bung Karno sebagai tokoh nasionalis dengan Muchlis (nama samaran Muh. Natsir) sebagai tokoh Islam dari Persis. Juga dapat dilihat dewasa ini Islam Phobia bermetamorfosis yang berwujud perobekan spanduk yang bermuat Hadits Nabi Muhammad SAW oleh peserta kampanye pawai (baca: show of force) PDI Perjuangan di Kampus UMI baru-baru ini. Bahkan Islam Phobia bermetamorfosis yang berwujud kegusaran Abd. Rahman Wahid karena MUl menyerukan agar ummat Islam memilih wakilnya yang beragama Isiam. Bahkan Abd. Rahman Wahid berjanji akan merombak MUI jika PKB menang dalam Pemilu yang akan datang. Bukankah sikap Abd. Rahman Wahid seperti ini berarti mempertahankan status quo watak Orde Baru yang usil mencampuri, mengopsus organisasi sosial politik? WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 6 Juni 1999