20 Juni 1999

377. Habibie Atau Megawati?

Dengan melesatnya PDIP menjadi nomor satu pengumpul suara secara nasional, saya sering menjumpai komentar yang sinis ataupun pesimis terhadap Majelis Ulama Indonesia. Komentar dengan sikap berwarna sisnis dilontarkan oleh orang-orang yang sudah mengambil posisi tidak mernyukai MUI. Sedangkan yang berkomentar dengan sikap pesimis menujukan perhatiannya kepada ummat Islam yang telah tidak mau mendengarkan suara ulama.

Apa sesungguhnya hubungan antara fatwa MUl dengan kemenangan PDIP mengumpul suara secara nasional? Mengapa ada yang berkomentar secara sinis ataupun pesimis itu? Ini sehubungan dengan fatwa MUI dan juga seruan muballigh kondang KH Zainuddin MZ supaya ummat Islam Indonesia memilih wakilnya yang beragama Islam, sedangkan para Caleg PDIP didominasi oleh yang non-Muslim. Seperti diketahui PDl yang kemudian pecah menjadi PDI dan PDIP adalah fusi dari PNI dengan partai-partai berasaskan agama non-Islam, yaitu Parkindo dan Partai Katolik. Dan rupanya dalam Pemilu sekarang ini faksi yang berasal dari partai-pantai non-lslam yang mendominasi dalam penentuan Caleg.

Dalam Seri 346 yang berjudul: Bhinneka Tunggal Ika edisi 1 November 1998 telah dituliskan antara lain, seperti dikutip di bawah ini:
-- “Maka dalam kolom ini akan dikemukakan keyakinan ummat Islam dalam hal kepemimpinan, untuk diketahui oleh saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang tidak beragama Islam dan juga untuk para remaja dan pemuda Islam yang kurang mengenal ajaran agamanya sendiri. Firman Allah da!ann A! Quran:
-- Falaa Tattakhidzuw Minhum Awliya-a Hatta- Yuhaajiruw fiy Sabiyli LLa-hi (S. An Nisaai, 4:89), arinya: Maka janganlah kamu angkat mereka mennjadi wali (pemimpin), kecuali jika mereka telah berhijrah ke jalan Allah.
-- Ar Rijaalu Qawaamuwna 'ala nNisaai (S. An Nisaai, 4:34), arinya: Laki-laki itu tulang-punggung (pemimpin) atas perempuan.

Jadi menurut keyakinan ummat Islam berdasarkan agamanya, dilarang mengangkat kepala negara yang tidak beragma Islam (4:89) dan tidak boleh pula menjadikan perempuan sebagai pemimpin (4:34). Mengenai (4:34) ini ada dua penafsiran, yang jumhur (main stream) menafsirkannya secara tekstua!, perempuan tidak boleh diangkat jadi kepala negara. Hanya sedikit yang menafsirkannya secara kontekstual, yaitu laki-laki itu pemimpin perempuan dalam konteks kehidupan berumah tangga.” Sekian kutipan itu.

Saya tidak sependapat dengan sikap pesimis itu. (Tentu saja saya juga tidak sependapat, bahkan menentang sikap sinis terhadap MUI tersebut!). Dalam Pemilu yang Jurdil tahu 1955, Partai Islam Masyumi yang dalam urutan pertama berbasis massa di Jawa Barat dan luar Jawa, PNI dalam urutan kedua berbasis massa di di Jawa Tengah, Partai Islam NU dalam urutan ketiga berbasis massa di Jawa Timur dan partai komunis PKI dalam urutan keempat berbasis massa di Jawa Tengah. Peta basis massa itu sesungguhnya tidak berubah hingga sekarang yang juga Jurdil, alias status quo. Lihat saja sekarang. PDIP unggul di Jawa Tengah, PKB unggul di Jawa Timur dan Golkar unggul di Jawa Barat dan luar Jawa, utamanya Sulawesi Selatan. Walaupun Golkar bukan partai berasaskan Islam, akan tetapi Golkar dengan tegas-tegas menyodorkan Habibie sebagai calon tunggal. Dan siapakah itu Habibie, dia itu Ketua Umum ICMI (sebelum menjadi Wakil Presiden) dan pendiri ICMI, jadi memenuhi kriteria ayat (4:89) dan (4:34). Bahwa di Sulawesi Selatan ini Golkar menang mutlak bukan karena kecurangan, melainkan karena mentaati seruan MUI. Memang harus diakui babwa ada di sana-sini kesalahan pe!aksanaan Pemilu karena kecurangan dan juga belum fahamnya beberapa pelaksana, akan tetapi itu adalah ibarat riak-riak kecil dalam lautan, tidak signifikan.

Kita tahu hahwa Jawa Tengah penduduknya yang beragama Islam adalah Islam abangan, tentu gaung MUI dikalahkan oleh rasa solidaritas Islam abangan. Mereka melihat Megawati sehagai orang yang teraniaya oleh Orde Baru. Bahkan rasa solidaritas (pacce) timbul pula dalam kalangan remaja di luar basis massa PDIP. Para remaja yang rasa paccenya terhadap Megawati yang teraniaya oleh Orde Baru itu melebihi ketimbang gaung seruan MUI tentu saja akan menusuk tanda gambar banteng bermulut putih tersebut.

Antara Habibie dengan Megawati? Sebelum Pemilu sekurang-kurangnya ada empat Capres. BJ Habibie, Amin Rais, Yusril I. Mahendra dan Megawati Sukarnoputri. Sedangkan PPP belum ada calonnya. Dan dari PKB agak sulit diraba, karena Gus Dur keadaan fisiknya tidak memungkinkan untuk memikul beban tugas yang berat sebagai kepala negara. Mathori Abdul Jalil? Tidak meyakinkan! Dengan hasil Pemilu Walaupun masih sementara, maka tinggal dua orang, Habibie dan Megawati.

Apakah PDIP dapat berkoalisi dengan PKB dan PAN? Tunggu dahulu. Sistem pemerintahan kita yang presidensial tidak relevan itu koalisi, sebab presiden yang membentuk kabinet tanpa berembuk dengan DPR. Tidak seperti di Republik Islam Iran yang dalam pembentukan kabinet menurut UUD-nya dikerjakan oleh presiden (yang dipilih langsung oleh rakyat) bersama-sama dengan Majelis (yang juga dipilih melalui Pemilu). Jadi jangan pakai istilah koalisi, lebih tepat memakai ungkapan bersuara sama dalam memilih presiden dalam SU MPR. Dapatkah anggota MPR dari PKB satu suara untuk memberikan suara kepada Megawati? Tidak meyakinkan, sebab para ulama NU termasuk dalam jumhur (main stream) yang menolak perempuan sebagai kepala negara. Bagaimana dengan PAN? lsya-Allah akan pecah menjadi Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah (ada pengurus teras PAN yang secara ideologis adalah dari Murba). Orang-orang Muhammadiyah masuk PAN, karena Amin Rais sebelum mendirikan PAN adalah Ketua Umum Muhammadiyah. Yang Muhammadiyah juga masih menganut jumhur ulama menolak perempuan sebagai kepala negara, jadi dalam hal ini tidak ada perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah Dan PPP? Semua anggotanya Islam penganut jumhur ulama juga. Maka jumlahkanlah kursi PDIP, PAN yang non-Muhammadiyah. PDIP ngotot tidak mau mengubah UUD, ini status quo, dan Megawati adalah anak proklamator, ini nepotisme. ltu adalah dua kriteria status quo yang melekat pada Megawati. Habibie atau Megawati? Bisa dijawab sendiri. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 20 Juni 1999