14 November 1999

398. Penyisipan Dalam Terjemahan Al Quran dan Tahlil Dalam Azan di TPI

Pergolakan politik di tanah air kita tinggalkan dahulu untuk dibahas. Presiden sendiri juga kelihatannya buat sementara tidak mau repot kok (baca: keliling Asean, USA dan Jepang). Tampaknya pemerintah menempuh politik ranca' di labuah, politik luar negeri lebih diprioritaskan ketimbang di dalam negeri, yaitu masalah Aceh yang sangat mendesak dan resistensi yang mulai marak tentang rencana hubungan dagang dengan Israel. Politik ranca' di labuah ini mengandung risiko: Yang dikandung berceceran, yang dikejar tidak dapat. Seperti yang telah dijanjikan dalam Seri 397, maka dalam seri ini dibahas kedua contoh terakhir tentang penyisipan, yaitu seperti dinyatakan dalam judul di atas.

Firman Allah SWT: WHW ALDZY KHLQ ALYL WALNHAR WALSYMS WALQMR KL FY FLK YSBHWN (S.ALANBYA", 33), dibaca: Wahuwal ladzi- khalaqal layla wannaha-ra wasysyamsa walqamara kullun fi- falakin yasbahu-n (S. al ambiya-',21:33), diterjemahkan: Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan masing-masing dari keduanya itu beredar dalam garis edarnya. Terjemahan tersebut dapat dibaca dalam halaman 499 dari Buku Terjemahan Al Quran oleh Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, berdasar atas SK Menteri Agama RI no.144, tahun 1989. Eloknya dalam menterjemahkan itu kata-kata sisipan ditaruh di antara dua kurung, jadi cantiknya demikian: Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan masing-masing (dari keduanya itu) beredar dalam garis edarnya.

Rupanya terjemahan itu berlatar belakang pada pemikiran pendekatan kontekstual. Yakni yang beredar itu dalam konteks matahari dan bulan, sehingga perlu disisipkan kata-kata dari keduanya itu, untuk lebih mempertajam makna terjemahan itu. Namun perlu dicamkan bahwa tidaklah selamanya terjemahan ataupun penafsiran itu harus memakai pendekatan kontekstual. Dalam kasus terjemahan di atas penyisipan itu mengakibatkan dua kesalahan, yaitu kesalahan gramatikal dan kesalahan substansial.

Dalam bahasa Arab ada tiga tingkat dalam menyatakan jumlah, yaitu: mufrad (tunggal), mutsanna (dua) dan jama' (banyak, tiga ke atas). Berbeda misalnya dengan bahasa Belanda, yang hanya dua tingkat: enkelvoud (tunggal) dan meervoud (banyak, dua ke atas). Kata terakhir dari ayat (21:33) yang diterjemahkan di atas ialah YSBHWN (dibaca: yasbahu-n), bentuknya jama', lebih dari dua yang beredar. Dengan penyisipan itu, maka terjadilah kesalahan gramatikal. Penyisipan kata keduanya hanya boleh dilakukan jika seandainya kata terakhir ayat (21:33) bukan dalam bentuk YSBHWN, melainkan YSBHAN (dibaca: yasbaha-n), artinya dua yang beredar. Jadi terjemahan itu seharusnya demikian: Matahari dan bulan masing-masing berenang dalam falaknya.

Kesalahan substansial ialah terjemahan Dept Agama mematok bahwa yang beredar hanya matahari dan bulan saja. Padahal ayat (21:33) mengisyaratkan ada yang tersirat. Yaitu setelah menyebutkan matahari dan bulan lalu ditutup dengan kata dalam bentuk jama', lebih dari dua yang beredar, artinya yang beredar itu bukan matahari dan bulan saja. Tiap-tiap sesuatu ciptaan Allah di alam syahadah ini beredar ataupun berenang dalam falaknya, termasuk bumi. Ayat (21:33) mengisyaratkan yang tersirat yaitu bumipun beredar dalam orbitnya.

Bayangkan apabila di zaman Nabi Muhammad SAW Al Quran dengan terang-terangan menyatakan bahwa bumi bergerak, maka masyarakat akan menolak untuk percaya. Itulah gaya Al Quran, informasi yang belum dapat dicerna oleh masyrakat berhubung karena lingkungan budayanya masih belum mampu untuk mencerna informasi itu, Al Quran menyampaikannya secara isyarat yang tersirat. Karena Al Quran diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia dari seluruh tingkat budayanya masing-masing sampai akhir zaman.

Kalimah Tahlil adalah kalimah mengEsakan Allah: LA ALH ALA ALLH dibaca: La- ila-ha illaLla-h, yang artinya: Tiada tuhan kecuali Allah. Ke dalam terjemahan kalimah Tahlil ini dalam azan di TPI disisipkan anak kalimat: yang patut disembah, sehingga menjadi: Tiada tuhan (yang patut disembah) kecuali Allah. Terjemahan tersebut dicemari oleh polytheisme: Selain Allah yang patut disembah terdapat tuhan-tuhan lain yang tidak patut disembah. Ini disebut faham monolatry, yaitu hanya menyembah satu Tuhan, sementara mengakui eksistensi tuhan-tuhan yang lain yang tidak patut disembah (the worship of but one God, when other gods are recognized as existing).

Dalam kurun waktu (1700-1550) sebelum Miladiyah (SM) Dinasti Hyksos (Raja Gembala) bangsa al 'Ibriyah al Qadimah dari Kan'an memerintah Mesir setelah menundukkan Dinasti Fir'aun. Salah seorang raja Hyksos mengawinkan puterinya Sitti Hajar dengan Nabi Ibrahim AS dari bangsa al 'Ibriyah al Jadidah (Ibrani, Habiru). Tiga generasi sesudahnya bangsa Ibrani diizinkan menetap di delta s.Nil (Goschen) atas prakarsa Raja Muda Mesir Nabi Yusuf AS. Ajaran Tawhid, mengEsakan Tuhan, yang diajarkan Nabi Yusuf AS, beberapa generasi kemudian memberikan inspirasi kepada Fir'aun Akhenaton. Dinasti Fir'aun kembali berkuasa setelah mendesak Dinasti Hyksos keluar Mesir tahun 1550 SM. Sejak itu bangsa Ibrani mulai ditekan dan diperbudak. Akhenaton adalah Fir'aun ke-9 dari 11 Fir'aun dari Dinasti XVIII yang memerintah selama (1377-1360) SM. Pada mulanya ia bernama Amun Hotep IV (Amenophis) artinya dewa Amun puas, kemudian setelah mengumumkan kepercayaan baru hanya boleh menyembah satu tuhan yaitu Aton ia mengubah namanya menjadi Akhenaton artinya bersama dalam Aton. Menurut Akhenaton, Ra (matahari yang dianggap tuhan) adalah manifestasi dari Aton. Sungguhpun demikian ia tidak menolak eksistensi tuhan-tuhan Mesir yang lain seperti dewa Amun, dewa Osiris, dewi Nil dll. Jadi kepercayaan baru bentukan Akhenaton itu termasuk monolatry.

Yang patut diwaspadai oleh para orang tua agar putera-puterinya yang kecanduan menonton tayangan Misteri Gunung Merapi dan Kaca Benggala tidak terseret kepada monolatry: bahwa memang ada dewi Durga yang memberikan kesaktian kepada Mak Lampir dan memang ada dewi Laut Selatan yang menjadi isteri raja-raja Mataram. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 14 November 1999