21 November 1999

399. Wasilah dan Paradigma Ilmu

Wasilah berarti perantara. Orang-orang Arab pada zaman jahiliyah ada yang menyembah berhala, namun ada pula yang tidak menyembah berhala melainkan menjadikan berhala itu sebagai wasilah dalam menyembah Allah. Masyarakat Arab pra-Islam sudah mengenal Allah, buktinya ayahanda Nabi Muhammad SAW bernama Abdullah yang berarti hamba Allah. Pengenalan kepada Allah ini bersumber dari Nabi Isma'il AS, nenek moyang bangsa Arab. Hal berhala yang dijadikan wasilah ini disindir dalam Al Quran:
-- AWLaK ALDZYN YD'AWN YBTGHWN ALY RBHM ALWSYLT (S. BNY ASRAaYL, 57), dibaca: Ula-ikal ladzi-na yad'u-na yabtaghu-na ila- rabbihim wasilah (S. Bani- Isra-i-l), artinya: Mereka yang berdoa mencari wasilah kepada Tuhan mereka (17:57). Biasanya pula ada yang menjadikan alim-ulama yang telah wafat sebagai wasilah untuk berkomunikasi dengan Allah, tidak terkecuali di Indonesia, khususnya di tanah Makassar ini. Masyarakat Sulawesi Selatan dan dari daerah-daerah lain banyak yang datang menziarahi makam Allahu yarham Syaikh Yusuf Tuanta Salamaka, seorang ulama besar, menulis banyak buku, mujahid (pejuang) kemerdekaan berkaliber internasional, yang berjihad bergerilya melawan Belanda di Banten dan Ceribon, tetap berjuang di Ceylon dan di Tanjung Pengharapan, yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional Afrika Selatan kemudian secara terlambat sekali disusul oleh Pemerintah Republik Indonesia yang mengangkatnya pula menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Diantara para peziarah ke makam itu tidak kurang yang menjadikan Syaikh Yusuf sebagai wasilah kepada Allah.

Di Indonesia ini dalam bidang politik ekonomi wasilah inipun dipraktekkan juga. Sepatu yang diproduksi di tanah Pasundan dikirim dahulu ke Sungapura, lalu dicap di sana: made in Singapore, kemudian dimasukkan lagi di Indonesia barulah konsumen di Indonesia tergiur membelinya. Dalam hal ini Singapura dijadikan wasilah. Rencana pemerintah membuka hubungan dagang dengan Israel, karena ingin menjadikan Israel sebagai wasilah untuk menarik minat inverstor asing. Dengan menjadikan bangsa asing (baca: Singapura dan Israel) sebagai wasilah dalam bidang politik ekonomi menunjukkan kebanyakan dari masyarakat kita masih bermental jajahan yang disebut kompleks rendah diri (inferiority complex). Apakah dengan menyewa lembaga asing PwC yang upahnya cukup tinggi (ini juga dari uang rakyat) disebabkan pula oleh mental jajahan tersebut, ini perlu direnungkan baik-baik!

***

Fuad Rumi menanggapi tulisan saya dalam kolom ini Seri 397 tentang Isra-Mi'raj, tatkala bertemu di Ruang Tunggu Rektor UMI beberapa hari yang lalu. Ia tidak dapat menerima seluruhnya bahwa peristiwa Isra-Mi'raj tidak dapat didekati secara ilmiyah. Dalam Seri 397 itu saya mengemukakan bahwa orang tidak dapat melakukan pendekatan ilmiyah terhadap Isra-Mi'raj.

Ilmu berasal dari akar kata yang dibentuk oleh 'ain, lam, mim artinya tahu. Dalam bahasa Indonesia dibedakan antara ilmu dengan pengetahuan. Ilmu adalah hasil olahan dari sumber informasi, sedangkan pengetahuan hanya sekadar endapan dari sumber informasi tanpa olahan. Olahan adalah sebuah proses dalam qalbu manusia. Ada tiga sektor dalam qalbu yaitu shudr, fuad dan hawa. Sumber informasi yang diolah oleh shudr hasilnya disebut ilmu tasawuf, sumber informasi yang diolah oleh fuad disebut ilmu pengetahuan (science) dan ilmu filsafat, sedangkan sumber informasi yang diolah oleh hawa disebut naluri (instinct). Yang terakhir ini dimiliki juga oleh binatang.

Ketiga komponen dalam qalbu manusia itu untuk setiap orang berbeda-beda kecerdasannya. Kecerdasan emosi dari shudr diukur dalam emotional quotient (EQ), dan kecerdasan berpikir dari fuad diukur dalam intelligence quotient (IQ). Sedangkan kecerdasan naluri (instinct) sepanjang pengetahuan saya belum pernah diukur sehingga belum ada yang disebut instinct quotient.

Dalam diskusi kecil-kecilan itu saya katakan kepada Fuad Rumi bahwa memang ada kekurangan dalam uraian saya itu mengenai peristilahan ilmiyah. Sesungguhnya semua istilah ilmiyah yang saya tuliskan dalam bahasan itu seharusnya dibaca ilmiyah sekuler. Bahwa makhluk yang bernama sekuler itu bukan hanya terdapat dalam lapangan politik praktis belaka, melainkan terdapat dalam segala bidang yang memisahkan antara wahyu dengan akal serta iman dengan ilmu, alias dikhotomi antara dunia dengan akhirat. Ilmu sekuler (dari secula artinya dunia) bertumpu di atas paradigma filsafat positivisme, yaitu filsafat yang tanpa sadar diakui ataupun diterima oleh masyarakat ilmuan muslim untuk kelanjutan aktivitas keilmuan mereka. Positivisme adalah sistem filsafat yang hanya mengakui fakta-fakta dan fenomena yang positif, yaitu yang dapat dideteksi oleh pancaindera baik secara langsung maupun tak langsung melalui pertolongan instrumen dalam laboratorium. Dengan demikian ilmu sekuler hanya menerima sumber informasi dari dunia atau alam syahadah.

Saya katakan kepada Fuad Rumi bahwa peristiwa Isra-Mi'raj dapat saja didekati secara ilmiyah apabila paradigma ilmu itu diubah, bukan lagi bertumpu di atas filsafat positivisme yang hanya mengenal satu jenis sumber informasi. Paket ayat yang mula-mula diturunkan dimulai dengan:
-- AQRA BASM RBK (S. AL'ALQ, 1), dibaca: Iqra' bismi rabbik (S. al'alaq), artinya: Bacalah atas nama Maha Pengaturmu (S. Segumpal darah, 96:1).

Yang dibaca itu adalah sumber informasi berupa ayat, yang terdiri atas ayat qawliyah (verbal), yaitu Kitab Suci Al Quran dan ayat kawniyah (kosmologis), yaitu alam syahadah (physical world). Alhasil dengan mengubah tumpuan ilmu dari paradigma filsafat positivisme menjadi paradigma S. Al 'Alaq, ayat 1, maka peristiwa Isra-Mi'raj dapatlah didekati secara ilmiyah. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 21 November 1999