28 November 1999

400. Dari Sabang Sampai Merauke, Masalah Aceh

Wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke (DSSM) tidak disebutkan dalam UUD-1945. Ungkapan DSSM hanya ada dalam sebuah lagu, lengkapnya seperti berikut:

Dari Sabang sampai Merauke,
berjajar pulau-pulau
Sambung menyambung menjadi satu,
itulah Indonesia
Indonesia tanah airku,
aku berjanji padamu
Menjunjung tanah airku,
tanah airku Indonesia

Karena wilayah Republik Indonesia tidak ditegaskan dalam UUD-1945 itulah, maka salah seorang mahasiswa dalam acara diskusi Partai-Partai di TPI mengemukakan jika Aceh memisahkan diri dari Republik Indonesia tidaklah melanggar konstitusi.

Sebenarnya kalau dikaji tenang-tenang, maka akar permasalahan Aceh terletak dalam hal pencoretan 7 kata tatkala Piagam Jakarta dijadikan Pembukaan UUD-1945 pada 18 Agustus 1945. Yaitu: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti dengan: Ketuhanan Yang Maha Esa. Padahal adanya 7 kata itu adalah hasil kompromi. Sebab menurut konsep semula berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam.

Pencoretan 7 kata itu diusulkan oleh Bung Hatta, karena adanya informasi yang masuk bahwa dari bagian timur Indonesia tidak akan mau bergabung dalam negara yang diproklamasikan sehari sebelumnya oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia jika ke-7 kata itu tidak dicoret. Tepatlah apa yang dikatakan oleh almarhum Alamsyah Ratu Prawiranegara bahwa sesungguhnya Pancasila (baca: Sila I) itu adalah hadiah yang diberikan oleh ummat Islam kepada bangsa Indonesia. Namun ternyata kemudian dari daerah bahagian timur yang tidak mau bergabung itu jika ke-7 kata itu tidak dicoret, muncullah Republik Maluku Selatan (RMS) dan Twapro, yaitu kependekan dari Twaalfde Provintie (provinsi ke-12). Nederland (negeri Belanda) terdiri atas 11 provinsi, maka provinsi ke-12 terletak di seberang laut yaitu di Minahasa. Ya, seperti negara bahagian ke-50 Hawai yang terletak di seberang laut dari USA daratan.

Atas hasil rekayasa van Mook, berdirilah Negara Indonesia Timur (NIT), dengan Presiden Tjokorde Gede Rake Soekawati dan Perdana Menteri Ide Anak Agung Gede Agung. Bukan saja NIT yang terbentuk, melainkan van Mook berhasil pula memicu berdirinya negara-negara seperti Negara Kalimantan Barat, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara Sumatera Timur dll, pokoknya di mana-mana bertebaran timbulnya negara-negara. Negara Republik Indonesia dengan UUD-1945 menciut menjadi hanya dalam wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Aceh. Negara RI dan negara-negara rekayasa van Mook itu kemudian bersatu dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat (RIS), DSSM. Sekali lagi DSSM ini tetap hanya ada dalam nyanyian tidak ada dalam Konstitusi RIS.

Karena proses historis inilah, maka konon ahli Indonesia dari Prancis Francois R. mengatakan bahwa federasi secara historis berkonotasi kurang baik. Rekayasa van Mook ini ditentang oleh rakyat dalam semua negara bagian itu yang bergolak menuntut kembali menjadi negara kesatuan. Hasilnya RIS kembali menjadi negara kesatuan, namun tidak memakai UUD-1945. Mengapa? Karena prosesnya bukan negara-negara rekayasa van Mook itu yang melebur masuk Negara RI Yogyakarta + Aceh, melainkan semua negara dalam federasi itu melebur diri bersama-sama menjadi satu dengan UUD Sementara. Melalui Pemilu 1955 dibentuk Konstituante untuk membuat UUD yang tetap. Pekerjaan Konstituante sudah hampir rampung, namun secara tergesa-gesa Bung Karno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD-1945.

Pencoretan Syari'at Islam setelah Piagam Jakarta menjadi Pembukaan UUD-1945 harganya mahal sekali, yaitu timbulnya kemudian pemberontakan Darul Islam dengan pasukan bersenjatanya Tentara Islam Indonesia, yang biasanya disingkat DI/TII, di Aceh (Teungku Daud Bereueh), Jawa Barat (Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo), Kalimantan Selatan (Ibnu Hadjar) dan Sulawesi Selatan (Abdul Qahhar Mudzakkar). Kecuali Teungku Daud Bereueh, satu demi satu pimpinan DII/TII Jabar, Kalsel dan Sulsel ditangkap kemudian dihukum mati atau syahid dalam pertempuran. Di Sulawesi Selatan anak buah Abdul Qahhar Mudzakkar yang tersisa aktif menumpas pemberontak komunis Gestapu dengan berbasis masjid, dan itulah cikal-bakal lahirnya Ikatan Masjid Mushalla Indonesia Muttahidah (IMMIM)

Teungku Daud Bereueh berhasil dibujuk oleh Soekarno dengan tawaran Daerah Istimewa Aceh. Keistimewaan itu terletak dalam hal Syari'at Islam. Inilah janji pertama Pemerintah Pusat untuk Aceh. Janji ini tidak pernah ditindak lanjuti dalam wujud undang-undang. Maka DI/TII yang mulanya dipimpin Tengku Daud Bereueh kemudian meneruskan mengangkat senjata di bawah pimpinan Teungku Hasan di Tiro, turunan langsung Pahlawan Nasional Tengku Cik di Tiro. Bahkan pada zaman Orde Baru janji itu bukannnya ditindak lanjuti dengan membuat undang-undang melainkan dengan Daerah Operasi Militer (DOM) yang tragis itu.

Perlawanan yang dipimpin Teungku Hasan di Tiro secara remote control dari luar negeri (terakhir dari Swedia) kemudian mengubah organisasi perlawanan dari DII/TII menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kalau TII masih ada Indonesianya, maka GAM sudah hilang sama sekali Indonesianya.

Firman Allah:
-- WALTNZHR NFS MA QDMT LGHD (S. ALHSYR, 18), dibaca: Waltnzhur nafsun ma- qaddamat lighadin (al hasyr), artinya: Mestilah orang mengkaji masa lampau untuk masa depan (S. Mengumpul, 59:18). Melihat apa yang lalu dalam konteks masalah Aceh, maka yang terbaik dikemukakan dalam referendum ialah: opsi pertama: otonomi khusus + Syari'at Islam + kesatuan GAM menjadi Polri di Aceh dan opsi kedua: federasi. GAM harus ada dalam opsi, sebab suka atau tidak suka eksistensi GAM adalah suatu de facto, berhubung DOM tidak berhasil menghapus eksistensi GAM, bahkan menimbulkan pelanggaran HAM.

Tentang hal federasi yang menurut Francois R. secara historis berkonotasi kurang baik, tidak berlaku di sini, oleh karena konteksnya lain. Opini Francois R. dalam konteks skenario van Mook, sedangkan federasi dalam opsi referendum di Aceh dalam konteks janji-janji kosong dan penyakit sentralistik Pemerintah Pusat Orde Lama dan Orde Baru yang menimbulkan ketidak-adilan di bidang politik, ekonomi sosial, kebudayaan, ditambah pula dengan akibat DOM yaitu pelanggaran HAM. Dalam kedua opsi tersebut Indonesia masih tetap dari Sabang sampai Merauke. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 28 November 1999