Kemarin adalah mawlud atau mawlid Nabi Muhammad SAW, yang setiap tahun diperingati oleh ummat Islam. Tidak ada dalam Syari’at )ang menyuruh kita memperingati mawlud beliau. Akan tetapi sebaliknya tidak ada pula larangan untuk itu. Oleh karena tidak ada larangan itu ummat Islam setiap tahun memperingatinya atas dasar kecintaan kepada beliau. Cinta kepada Allah dan RasulNya ada didalam Syari’at. Jadi secara tidak langsung memperingati mawlid beliau ada dalam Syariat, asal saja niatnya atas dasar cinta kepada beliau. Menurut Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi Muhammad SAW bersabda:
-- Innama lA'maalu bi nNiyaatu, sesungguhnya amal itu dengan niat.
Salah satu wujud kecintaan kita ialah menerima sepenuh hati hahwa Risalah yang dibawa beliau adalah untuk rahmat bagi alam manusia, alam binatang, alam tumbuh-tumbuhan, alam mineral, alam lingkungan:
-- WMA ARSLNK ALA RHMt LL’ALMYN (S. ALANBYAa, 107) dibaca: wama- arsalna-ka illa- rahmatal lil 'a-lami-n (s. alanbiya-i), artmnya: Tidaklah Kami mengutusmu (hai Muhammad) melainkan untuk rahmat semesta alam. Ayat ini merupakan salah satu thema dalam setiap upacara peringatan mawlud Nabi Muhammad SAW.
Risalah yang dibawakan Nabi Muhammad SAW adalah Kebenaran yang Mutlak karena bersumber dari Allab SWT, Sumber Informasi Yang Maha Mutlak. Kebenaran itu ada dua macam, yaitu kebenaran mutlak dan kebenaran relatif. Adapun kebenaran relatif ini bersumber dari otak manusia. Salah satu kebenaran relatif adalah kebenaran kelompok, yaitu kebenaran atas dasar kesepakatan bersama seperti misalnya UUD-1945. Maka amatlah menggelikan jika ada seorang yang beragama Islam mencoha mencuekkan kebenaran mutlak dengan mengatakan bahwa yang menolak presiden perempuan adalah inkonstitusional, karena dalam UUD tidak disebutkan adanya larangan presiden perempuan. Komentar ini pernah saya baca sepintas dalam FAJAR. (Karena membaca sepintas itu saya tidak memperhatikan betul namanya, namun yang masih terpateri dalam ingatan saya dia itu menyandang nama Is dan sarjana hukum). Dengan metode substitusi akan nampak bagaimana menggelikannya ucapan sarjana hukum kita itu. Cobalah kita substitusi UUD-1945 dengan undang-undang, inkonstitusional dengan melawan hukurn dan kita substitusi pula menolak presiden perempuan dengan menolak makan babi, maka akan menjadi: menolak makan babi adalah melawan hukum karena tidak ada dalam undang-undang. Bukankah itu sangat lucu?
Dalam Seri 377 hari Ahad yang lalu yang telah dikemukakan pula dalam Seri 346 tanggal 1 November 1998 seperti kutipan berikut:
Mengenai ayat (4:34) ini ada dua penafsiran, yang jumhur (main stream) menafsirkannya secara tekstual, perempuan tidak boleh diangkat jadi kepala negara. Hanya sedikit yang menafsirkannya secara kontekstual, yaitu laki-laki itu pemimpin perempuan dalam konteks kehidupan berumah tangga.
Bahwa dalam mentafsirkan ayat tidaklah selalu mesti tekstual alaupun mesti kontekstual. Hendaknya janganlah kita set back, kembali ke zaman Yunani Kuno pengkajian berhenti pada titik qa-la waqiyla, menurut kata Plato demikian, menurut kata Aristoteles demikian, tidak ada lagi upaya selanjutnya. Saya masih ingat tulisan bersambung KH Ibrahim Husain (Ketua Majelis Fatwa MUI) dalam Panji Masyarakat dengan berlandaskan qala waqiyla menurut kitab kuning sampai kepada kesimpulan bahwa Porkas itu bukan judi karena salah satu kriteria judi tidak dipenuhi yaitu berhadap-hadapan. Maka buntulah masalah Porkas sampai di titik itu: Ada dua pendapat, yaitu sebagian ulama mengatakan Porkas itu judi jadi haram hukumnya, dan Ketua Majelis Fatwa MUI mengatakan porkas itu bukan judi jadi tidak haram hukumnya.
Maka sernestinya kalau ada masaiah khilafiyah yang menyangkut masyarakat banyak janganlah berhenti pada titik qala waqiyla. Ujilah hasil penafsiran itu ke dalam realitas. Seperti Porkas di atas itu. Pakailah kriteria Al Quran tentang judi: mudharatnya lebih besar ketimbang manfaatnya. Adakanlah penelitian dampak Porkas dari segala segi. Seperti misalnya dari segi ekonomi, Porkas ibarat pompa yang mengisap uang dari daerah ke pusat. Maka demikian pula pendekatan tekstual atau kontekstual tentang kepemimpinan perempuan sebagai kepala negara. Cobalab kaji alam realitas, apa kemajuan Filipina diperintah oleh Corry yang telah dipilih menjadi presiden karena reputasi suaminya (baca: nepotisme), tak ubahnya ketokohan Megawati karena reputasi ayahnya. Bagaimana dengan Bangladesh, Srilangka, India, Pakistan yang perdana menterinya perempuan (hanya sebagai perdana menteri bukan kepala negara), apa reputasi mereka. Dengan mengkaji itu akan didapatkanlah kesimpulan pendekatan mana yang tepat dalam mentafsirkan khusus ayat (4:34), pendekatan tekstualkah atau pendekatan kontekstualkah.
Kemarin malam (malam Sabtu) saya nonton Perfect Target di layar SCTV. Rupanya bukan hanya sebagian besar ulama yang tidak setuju dengan kepala negara perempuan. Pengarang Perfect Target tersebut sangat tidak setuju dengan pemimpin top yang perempuan. Dalam ceritanya itu pemimpin genilyawan yang perempuan mati ditembak oleh seniora El Presidente Isabella kepala negara perempuan yang menjadi boneka para penasihatnya. Ia menembak mati wakil presiden yang difitnahnya sebagai otak pembunuh suaminya, ia membubarkan senat hasil Pemilu. Itu semua atas nasihat para penasihatnya, temannya bersekongkol dalam membunuh suaminya. Klimaks terjadi tatkala Isabella yang menyangka dininya dielu-elukan oleh rakyat sekeliling istana, keluar menemui mereka, yang ternyata Isabella tenggelam dalam lautan manusia yang menghajarnya.
Dalam rangka memperingati mawlud Nabi Muhammad SAW di bawah ini dikemukakan silsilah beliau sampai kepada Nabi Ibrahim AS.
Nabi Muhammad SAW adalah anak dari 'Abdullah, anak dari 'Abd.Muththalib, dan seterusnya - Hasyim - 'Abd.Manaf - Qushay — Kilab - Murrah - Ka’ab - Luaiy - Gha!ib - Fihir - Malik - Nadhar - Kinanah - Khuzaimah - Mudrikah - Ilyas - Mudhar - Nizar - Ma’ad - Adnan - Addi - ‘Adad - Hamyasa - Salaman - Binta - Sahail - Jamal - Haidar - Nabi Isma'il AS - Nabi Ibrahim AS. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 27 Juni 1999
27 Juni 1999
[+/-] |
378. Risalah Sebagai Rahmat Bagi Alam |
20 Juni 1999
[+/-] |
377. Habibie Atau Megawati? |
Dengan melesatnya PDIP menjadi nomor satu pengumpul suara secara nasional, saya sering menjumpai komentar yang sinis ataupun pesimis terhadap Majelis Ulama Indonesia. Komentar dengan sikap berwarna sisnis dilontarkan oleh orang-orang yang sudah mengambil posisi tidak mernyukai MUI. Sedangkan yang berkomentar dengan sikap pesimis menujukan perhatiannya kepada ummat Islam yang telah tidak mau mendengarkan suara ulama.
Apa sesungguhnya hubungan antara fatwa MUl dengan kemenangan PDIP mengumpul suara secara nasional? Mengapa ada yang berkomentar secara sinis ataupun pesimis itu? Ini sehubungan dengan fatwa MUI dan juga seruan muballigh kondang KH Zainuddin MZ supaya ummat Islam Indonesia memilih wakilnya yang beragama Islam, sedangkan para Caleg PDIP didominasi oleh yang non-Muslim. Seperti diketahui PDl yang kemudian pecah menjadi PDI dan PDIP adalah fusi dari PNI dengan partai-partai berasaskan agama non-Islam, yaitu Parkindo dan Partai Katolik. Dan rupanya dalam Pemilu sekarang ini faksi yang berasal dari partai-pantai non-lslam yang mendominasi dalam penentuan Caleg.
Dalam Seri 346 yang berjudul: Bhinneka Tunggal Ika edisi 1 November 1998 telah dituliskan antara lain, seperti dikutip di bawah ini:
-- “Maka dalam kolom ini akan dikemukakan keyakinan ummat Islam dalam hal kepemimpinan, untuk diketahui oleh saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang tidak beragama Islam dan juga untuk para remaja dan pemuda Islam yang kurang mengenal ajaran agamanya sendiri. Firman Allah da!ann A! Quran:
-- Falaa Tattakhidzuw Minhum Awliya-a Hatta- Yuhaajiruw fiy Sabiyli LLa-hi (S. An Nisaai, 4:89), arinya: Maka janganlah kamu angkat mereka mennjadi wali (pemimpin), kecuali jika mereka telah berhijrah ke jalan Allah.
-- Ar Rijaalu Qawaamuwna 'ala nNisaai (S. An Nisaai, 4:34), arinya: Laki-laki itu tulang-punggung (pemimpin) atas perempuan.
Jadi menurut keyakinan ummat Islam berdasarkan agamanya, dilarang mengangkat kepala negara yang tidak beragma Islam (4:89) dan tidak boleh pula menjadikan perempuan sebagai pemimpin (4:34). Mengenai (4:34) ini ada dua penafsiran, yang jumhur (main stream) menafsirkannya secara tekstua!, perempuan tidak boleh diangkat jadi kepala negara. Hanya sedikit yang menafsirkannya secara kontekstual, yaitu laki-laki itu pemimpin perempuan dalam konteks kehidupan berumah tangga.” Sekian kutipan itu.
Saya tidak sependapat dengan sikap pesimis itu. (Tentu saja saya juga tidak sependapat, bahkan menentang sikap sinis terhadap MUI tersebut!). Dalam Pemilu yang Jurdil tahu 1955, Partai Islam Masyumi yang dalam urutan pertama berbasis massa di Jawa Barat dan luar Jawa, PNI dalam urutan kedua berbasis massa di di Jawa Tengah, Partai Islam NU dalam urutan ketiga berbasis massa di Jawa Timur dan partai komunis PKI dalam urutan keempat berbasis massa di Jawa Tengah. Peta basis massa itu sesungguhnya tidak berubah hingga sekarang yang juga Jurdil, alias status quo. Lihat saja sekarang. PDIP unggul di Jawa Tengah, PKB unggul di Jawa Timur dan Golkar unggul di Jawa Barat dan luar Jawa, utamanya Sulawesi Selatan. Walaupun Golkar bukan partai berasaskan Islam, akan tetapi Golkar dengan tegas-tegas menyodorkan Habibie sebagai calon tunggal. Dan siapakah itu Habibie, dia itu Ketua Umum ICMI (sebelum menjadi Wakil Presiden) dan pendiri ICMI, jadi memenuhi kriteria ayat (4:89) dan (4:34). Bahwa di Sulawesi Selatan ini Golkar menang mutlak bukan karena kecurangan, melainkan karena mentaati seruan MUI. Memang harus diakui babwa ada di sana-sini kesalahan pe!aksanaan Pemilu karena kecurangan dan juga belum fahamnya beberapa pelaksana, akan tetapi itu adalah ibarat riak-riak kecil dalam lautan, tidak signifikan.
Kita tahu hahwa Jawa Tengah penduduknya yang beragama Islam adalah Islam abangan, tentu gaung MUI dikalahkan oleh rasa solidaritas Islam abangan. Mereka melihat Megawati sehagai orang yang teraniaya oleh Orde Baru. Bahkan rasa solidaritas (pacce) timbul pula dalam kalangan remaja di luar basis massa PDIP. Para remaja yang rasa paccenya terhadap Megawati yang teraniaya oleh Orde Baru itu melebihi ketimbang gaung seruan MUI tentu saja akan menusuk tanda gambar banteng bermulut putih tersebut.
Antara Habibie dengan Megawati? Sebelum Pemilu sekurang-kurangnya ada empat Capres. BJ Habibie, Amin Rais, Yusril I. Mahendra dan Megawati Sukarnoputri. Sedangkan PPP belum ada calonnya. Dan dari PKB agak sulit diraba, karena Gus Dur keadaan fisiknya tidak memungkinkan untuk memikul beban tugas yang berat sebagai kepala negara. Mathori Abdul Jalil? Tidak meyakinkan! Dengan hasil Pemilu Walaupun masih sementara, maka tinggal dua orang, Habibie dan Megawati.
Apakah PDIP dapat berkoalisi dengan PKB dan PAN? Tunggu dahulu. Sistem pemerintahan kita yang presidensial tidak relevan itu koalisi, sebab presiden yang membentuk kabinet tanpa berembuk dengan DPR. Tidak seperti di Republik Islam Iran yang dalam pembentukan kabinet menurut UUD-nya dikerjakan oleh presiden (yang dipilih langsung oleh rakyat) bersama-sama dengan Majelis (yang juga dipilih melalui Pemilu). Jadi jangan pakai istilah koalisi, lebih tepat memakai ungkapan bersuara sama dalam memilih presiden dalam SU MPR. Dapatkah anggota MPR dari PKB satu suara untuk memberikan suara kepada Megawati? Tidak meyakinkan, sebab para ulama NU termasuk dalam jumhur (main stream) yang menolak perempuan sebagai kepala negara. Bagaimana dengan PAN? lsya-Allah akan pecah menjadi Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah (ada pengurus teras PAN yang secara ideologis adalah dari Murba). Orang-orang Muhammadiyah masuk PAN, karena Amin Rais sebelum mendirikan PAN adalah Ketua Umum Muhammadiyah. Yang Muhammadiyah juga masih menganut jumhur ulama menolak perempuan sebagai kepala negara, jadi dalam hal ini tidak ada perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah Dan PPP? Semua anggotanya Islam penganut jumhur ulama juga. Maka jumlahkanlah kursi PDIP, PAN yang non-Muhammadiyah. PDIP ngotot tidak mau mengubah UUD, ini status quo, dan Megawati adalah anak proklamator, ini nepotisme. ltu adalah dua kriteria status quo yang melekat pada Megawati. Habibie atau Megawati? Bisa dijawab sendiri. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 20 Juni 1999
13 Juni 1999
[+/-] |
376. Menanti |
Ada sebuah kelong Mângkasara’ (syair Makassar) tentang menanti ini, demikian bunyinya:
Bosi minne bara’minne,
bungaminne campagayya,
Inakke minne,
lama'lonjo’ pa’risikku
Turunlah hujan, musim barat telah tiba,
pohon cempaka berbunga pula.
Nasibku memang,
selalu dirundung malang.
Kelong tersebut menggambarkan pergolakan jiwa seorang gadis pingitan. Si gadis. yang jiwanya selalu meratap, mendambakan orang datang meminang. Namun tetap dihinggapi optinisme dalam kadar harap-harap cemas dari tahun ke tahun. Pergantian tahun ditandai dengan datangnya musim barat, bahkan pohon cempaka sudah berbunga pula. Tetapi selalu dirundung malang, belum ada yang datang meminang.
Memang hidup ini akan menjemukan jika tidak ada yang dinanti-nantikan. Dalam sebuah kelong digambarkan seorang anak yang menanti bilakah ia akan bertumbuh besar sehingga dapat memakai pakaian daerah. Ada pula iklan yang menggambarkan seorang bocah melingkarkan tangannya meliwati kepalanya untuk dapat menjewer telinganya sendiri, pertanda sudah dapat masuk sekolah. Bocah ini selalu menantikan bilakah ia sudah boleh masuk sekolah. Cara melingkarkan tangan ke kepala ini sudah jarang sekali, bahkan mungkin tidak pernah lagi dipakai sebagai metode praktis untuk mengukur usia seorang bocah sudah berumur sekitar enam tahun. Pada waktu saya masih bocah saya ingat betul metode melingkarkan tangan melewati kepala menjewer telinga sendiri tersebut.
Setelah menduduki bangku sekolah mendekati musim libur besar Ramadhan kita anak-anak sekolah sudah bergairah menanti masuknya libur Ramadhan, Akankah libur Ramadhan bagi anak anak sekolah akan berulang dilarang lagi seperti zaman Orde Baru tatkala Daud Yusuf menjadi menteri P dan K, andaikata, sekali lagi andai kata, PDlP mencapai angka signifikan hingga perhitungan akhir?
Dalam bulan Ramadhan menjelang akhir Ramadhan, yaitu sepuluh malam ganjil terakhir, ummat Islam yang berpuasa menanti LaylatulQadr. Ada yang salah kaprah dengan menanti turunnya LaylatulQadr. Menurut Al Quran LaylatulQadr tidak turun. Yang turun pada malam yang dinanti-nantikan itu ialah Al Quran, malaikat dan ruh (Jibril). Coba baca ayat ini:
-- ANA ANZLNHU FY LYLt ALQDR . TNZL ALMLaKt WALRWH FYHA BADZN RBHM MN kl AMR (S. ALQDR, 1,4), dibaca: inna- anzalna-hu fi- lailatil qadri . tanazzalul mala-ikatu war ru-hu fi-ha- biidzni rabbihim ming kullli amrin (s. alqadri), artinya: Sesungguhnya Kami telah turunkan dia (maksudnya Al Quran) pada malam qadar (LaylatulQadr) . Turun para malaikat dan ruh (Jibril) dengan izin Maha Pengatur mereka untuk mengatur tiap-tiap urusan (97: 1-4). Jadi jelas LaylatulQadr tidak turun. Yang turun pada LaylatulQadr yang dinanti-nantikan itu adalah Al Quran (ayat 1), dan juga turun pada malam itu ada!ah para malaikat dan Jibril (ayat 4).
Menjelang akhir tahun pelajaran, murid-murid sekolah menanti saat naik kelas, yang akan tammat menanti hasil ujian apakah berhasil atau tidak, kemudian menanti lagi apa dapat menyambung ke sekolah lebih lanjut setelah menjalani ujian masuk. Demikian seterusnya menanti hingga lulus bangku perguruan tinggi, lalu menanti lagi apakah diterima bekerja setelah test.
Yang perjaka dan gadis menanti dan menanti bila ia mendapat pasangan hidup, menanti seperti yang digambarkan potret jiwa seorang gadis pingitan dalam syair di atas itu.
Sekarang ini masyarakat pada risau (yang mau risau) bahkan penasaran (yang mau penasaran) tentang lambannya perhitungan suara. Bahkan dalam acara pro dan kontra di TPI antara Jefry Winters, si tukang curiga, dengan A. Mallarangeng beberapa malam lalu, Jefry ini mencurigai kelambanan perhitungan suara itu disengaja supaya dapat berbuat curang, (Saya ragu apakah nama sang idola Rizal Ramli dari Ecorit ini ditulis dengan double "f"s atau tidak, Winter pakai s atau tidak; karena saya tulis dengan mengandalkan ingatan saja). Jefry kelabakan juga waktu A. Mallarangeng mengatakan bahwa Jefry ini mencurigai Parpol berbuat curang, sebab Panitia Pemilihan itu bukan dari pernerintah, melainkan dari Parpol.
Secara obyektif kelambanan perhitungan terjadi karena pada tingkat bawah dilakukan dengan manual, yang biasanya kalau dengan cara manual ini sering-sering jumlahnya tidak cocok antara jalur baris dengan jalur kolom. Lagi pula menurut Rudini perhitungan suara masih sesuai dengan jadwal KPU. Tanggal 10 Juni dijadwalkan akan selesai di tingkat kecamatan, kemudian tanggal 14 Juni akan selesai di tingkat kabupaten, tanggal 17 Juni akan selesai di tingkat provinsi dan terakhir tanggal 21 akan selesai di KPU. (Semestinya kata "akan" didahului oleh "lnsyaAllah").
Ada juga baiknya Jefry Winters si tukang curiga ini dan anak pengagumnya di Econit mendengarkan ucapan lembaga pemantau Pemilu - yang cukup punya nama di Filipina, yaitu National Movement for Free Elections, disingkat Namfrel yang juga ikut serta mengirim anggotanya sebagai pemantau Pemilu ke TPS-TPS. Namfrel menyerukan supaya semua pihak agar tidak mencurigai lambannya penghitungan suara hasil Pemilu, dan supaya kelambanan itu tidak dijadikan dasar keprihatinan bermuatan kecurigaan.
Namun ada sedikit Saran buat KPU. Bagaimana kalau da!am memberikan informasi angka-angka sementara itu, yang masuk nominasi 6 besar disajikan dalam matrix (baris dan kolom). Pada baris dituliskan ke-6 parpol dan pada kolom dituliskan angka-angka sementara di atas 100.000 dari provinsi mana angka-angka itu berasal. Contoh misalnya PDIP dari provinsi A sekian (di atas seribu), dari provinsi B sekian (di atas 100.000) dan sisanya dari provinsi-provinsi lain. Dengan demikian kita mendapatkan gambaran taburan angka itu, sehingga masyarakat tidak akan kaget kok angkanya tinggi cuma mendapat kursi yang kurang. Nomor satu dalam jumlah secara nasional tetapi cuma mendapat nomor 4 dalam jumlah kursi. WaLlahu a'lamu bsshawab.
*** Makassar, 13 Juni 1999
6 Juni 1999
[+/-] |
375. Islam Phobia, Suatu Sikap Mental Status Quo |
Pekan yang lalu saya menerima deringan telepon menanggapi Seri 374 tentang status quo. Karena ia tidak menyebutkan namanya saya sebut saja ia si Fulan. Ia mengeritik bahwa kriteria yang saya tambahkan tidak menyebutkan sebuah kriteria yang sangat penting. Seperti di ketahui mahasiswa UI telah menyodorkan kriteria status quo, yaitu: Tidak menolak dwi fungsi ABRI, terlibat KKN, tidak menegakkan supremasi hukum, memposisikan diri sebagai mesin politik Orde Baru, tidak menggunakan budaya demokrasi yang egaliter, tidak setuju terhadap otonomi daerah yang seluas-luasnya, tidak mendukung amandemen 1945. Dalam Seri 374 saya bertanyakan mengapa kedua kriteria berikut yang sangat penting tidak disebutkan, yaitu: tidak setuju kebebasan pers, dan tidak setuju dengan kebebasan mendirikan partai politik.
Sebenarnya makhluq status quo ini sudah dijadikan kendaraan politik, sehingga yang telah memposisikan diri tidak senang kepada Presiden Habibie dengan sadar sengaja tidak menyebutkan kedua kriteria tersebut. Bukankah Presiden Habibie yang telah memberikan kebebasan berbicara dan berserikat? Sebenarnya, sekali lagi sebenarnya, jika makhluq statusquo ini tidak dijadikan komoditas politik, ada status quo yang terpuji, yaitu anti marxisme yang atheis yang berfilosofi pertentangan kelas, yang menganggap agama itu sebagai candu bagi rakyat.
Kembali kepada si Fulan yang bertelepon, ia meminta dengan sangat supaya saya menulis mengenai kriteria yang sangat penting yang saya lupakan yaitu kriteria lslam Phobia. Fulan ini berpendapat orang yang Islam Phobia adalah anti reformis, pro status quo. Saya setuju dengan pendapat Fulan ini, bahkan saya pernah merasakan betapa besar kecurigaan orang berpenyakit Islam Phobia ini. Menjelang Pemilu pertama Orde Baru saya merasakan betapa sulitnya mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan guna keperluan administratif Caleg dari Parmusi yang berasaskan Islam untuk DPR pusat. Maka permintaannya saya penuhi, sehingga lahirlah judul seperti di atas itu. Phobia berarti kekhawatiran yang irasional yang tak terkendalikan (irrational uncontrollable fear).
***
Tata-komunikasi barat ibarat santet yang tukang sirap berita, menyebabkan para konsumen berita terpukau olehnya, lalu melahap bulat-bulat isi beritanya. Arus informasi yang didominasi oleh tata-komunikasi barat yang memiliki sarana, peralatan dan jaringan organisasi yang unggul hampir berhasil membentuk opini sebagian besar konsumen berita. Hanya sedikit konsumen berita yang mengunyah dan mencerna berita itu secara selektif dan cermat. Prof Dr Samuel Huntington atas dasar prasangka penyakit Islam Phobia melalui jalur tata-komunikasi barat menyalurkan sangkaan yang dibungkus dengan teori ilmiyah. Dalam majallah Time (kalau tidak salah ingat terbitan pertengahan tahun 1993) dapat kita lihat bagaimana kacamata guru besar ilmu politik dari Harvard University ini melihat Islam. Bahwa barat harus mewaspadai gerakan-gerakan kaum fundamentalis Islam yang membahayakan demokrasi. Konon kabarnya di lndonesia ini guru besar tersebut ditokohkan sebagai salah seorang nara sumber yang buku-bukunya menjadi rujukan para mahasiswa dan dosen dalam ilmu sosial dan pulitik.
ltulah Islam Phobia yang dibungkus kemasan teori ilmiyah disalurkan melalui jalur tata-komunikasi barat. Benarkah misalnya seperti Iran, Afghanistan ataupun kelompok-kelompok pejuang Islam membahayakan demokrasi? Selama ini saya menyangka bahwa sistem pemerintahan negara yang berbentuk republik hanya dua jenis: Kabinet presidensial dan kabinet parlementer. ltulah demokrasi barat. Lalu bagaimana dengan sistem pemerintahan Republik Islam Iran?
Dalam konstitusi Iran proses pembentukan pemerintahan dilakukan presiden (yang dipilih langsung oleh rakyat) bersama-sama dengan majelis (yang juga dipilih melalui Pemilu). Terus terang belum pernah saya dengar sebelumnya proses pembentukan pemerintahan seperti ini dalam ilmu tata-negara.
-- WAMRUM SYWRY BYNHM (S. ALSYWRY, 38), di baca: wa amruhum syu-ra- bainahum (asysyu-ra-), artinya: Dan urusan mereka dimusyawarakan di antara mereka (42:38), dijabarkan ke dalam ilmu Fiqh dalam ruang lingkup ketata-negaraan oleh ummat Islam madzhab Syi’ah. Sebelum membaca konstitusi Republik Islam Iran itu saya belum tahu tentang penjabaran Syariat ke dalam Fiqh dalam kalangan Syi’ah itu, karena saya bukan Syi’ah, namun saya sangat berterima kasih kepada Syi’ah oleh karena ilmu saya bertambah. Huntington perlu belajar dari Republik Islam Iran tentang proses yang sangat demokratis dalam pembentukan kabinet.
Sikap Islam phobia ini juga subur bertumbuh dalam politik tingkat tinggi, seperti misalnya rezim militer Aljazair. Golongan Islam yan membentuk kekuatan politik, yang menempuh cara demokratis, berhasil memperoleh kemenangan dalam pemilihan umum tingkat pertama tahun 1992. Pemilu lanjutan dibatalkan, dan partai itu akhirnya dibubarkan oleh rezim militer Aljazair.
***
Islam phobia ini mengalami metamorfosis dalam kalangan orang Islam sendiri yang berwujud menempatkan Islam sebagai sub-ordinat dari kebangsaan. Ini dapat dilihat dalam polemik secara tidak langsung sebelum Indonesia merdeka antara Bung Karno sebagai tokoh nasionalis dengan Muchlis (nama samaran Muh. Natsir) sebagai tokoh Islam dari Persis. Juga dapat dilihat dewasa ini Islam Phobia bermetamorfosis yang berwujud perobekan spanduk yang bermuat Hadits Nabi Muhammad SAW oleh peserta kampanye pawai (baca: show of force) PDI Perjuangan di Kampus UMI baru-baru ini. Bahkan Islam Phobia bermetamorfosis yang berwujud kegusaran Abd. Rahman Wahid karena MUl menyerukan agar ummat Islam memilih wakilnya yang beragama Isiam. Bahkan Abd. Rahman Wahid berjanji akan merombak MUI jika PKB menang dalam Pemilu yang akan datang. Bukankah sikap Abd. Rahman Wahid seperti ini berarti mempertahankan status quo watak Orde Baru yang usil mencampuri, mengopsus organisasi sosial politik? WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 6 Juni 1999