Apa yang lahir pada 1 Juni 1945 adalah Pancasila menurut konsep Bung Karno, yaitu sila pertama adalah kebangsaan, sedangkan sila kelima adalah Ketuhanan yang berkebudayaan. Pada 22 Juni 1945 lahir pula konsep Pancasila yang dinyatakan dalam alinea ke-4 dari suatu dokumen sejarah yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Akhirnya pada 18 Agustus 1945 lahirlah Pancasila yang bukan lagi konsep, yaitu pada alinea ke-4 Pembukaan UUD-1945. Hampir seluruh Piagam Jakarta yang 4 alinea itu sama dengan Pembukaan UUD-1945 yang 4 alinea itu juga. Perbedaannya, dalam Piagam Jakarta dipergunakan istilah Muqaddimah untuk Pembukaan, kemudian pada alinea ke-4 dalam Piagam Jakarta berbunyi: Ketuhanan dengan menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, sedangkan pada alinea ke-4 Pembukaan UUD-1945 berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam setiap Sidang Umum tahunannya memproses amandemen UUD-1945, yang diharapkan insya Allah amandemen itu akan rampung dalam tahun 2004. Telah disepakati bahwa Pembukaannya tidak diamandemen, oleh karena alinea ke-3 Pembukaan tersebut merupakan legitimasi proklamasi Negara Republik Indonesia: Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Demikianlah Negara Republik Indonesia dengan Pembukaan UUD-1945 merupakan satu sistem.
Alhasil, kalau kita merujuk pada kesepakatan bahwa Pembukaan UUD-1945 tidak akan diamandemen, maka Pancasila yang legitimate adalah Pancasila yang lahir pada 18 Agusutus 1945. Pancasila ala Bung Karno tidak dapat menjadi patokan lahirnya Pancasila, oleh karena pertama tidak legitimate dan kedua secara substantif dan redaksional menganggap sepele substansi Ketuhanan yang diletakkan pada kedudukan paling bawah, dengan embel-embel berkebudayaan segala.
Perihal usulan Gus Dur bahwa Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia, supaya tidak terjadi hal yang simpang-siur seperti Pancasila falsafah negara, pandangan hidup, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, maka eloklah jika kita hanya merujuk pada yang legitimate seperti dalam alinea ke-4 UUD-1945: suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab dan seterusnya hingga akhir alinea. Maka yang legitimate adalah Pancasila itu dasar negara, titik. Buat apa repot-repot segala dengan jiwa, kepribadian, falsafah dan pandangan hidup.
***
Beberapa seri dalam kolom ini telah menyambut gayung Gus Dur dengan kritikan, yaitu mengenai usulan Gus Dur untuk mencabut Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966. Namun rasanya tidaklah adil jika tidak dikemukakan pula kebijakan Gus Dur yang patut mendapat pujian, walaupun barangkali Gus Dur tidak suka dipuji. Yaitu Gus Dur bersikap realis mengambil langkah mengenyampingkan pendekatan yuridis formal menghadapi GAM di Aceh. Sebab kenyataan selama ini menunjukkan dengan pendekatan yuridis formal itu, yang menurut hukum yang berlaku GAM itu adalah pemberontak, yang menyebabkan pemerintah pusat (baca: militer) menempuh langkah represif berupa DOM, tidak menghasilkan apa-apa kecuali timbulnya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Demikianlah, kenyataan sejarah menunjukkan pula Aceh tidak dapat ditundukkan dengan senjata, baik oleh aksi militer Belanda selama revolusi, maupun oleh Pemerintah Hindia Belanda sebelum perang (Teuku Raja Sabi, putera suami isteri Teuku Cut Muhammad + Cut Meutia, anak tiri Pang Nanggroe, masih mengangkat senjata melawan Belanda hingga Perang Dunia kedua meletus).
Maka dengan mengenyampingkan pendekatan yuridis formal, Gus Dur melakukan pendekatan kemanusiaan dengan mengutus Bondan Gunawan untuk mengadakan kontak langsung bertatap-muka dengan Tengku Abdullah Syafei, panglima GAM. (Asal tahu saja gelar tengku di Aceh adalah gelar untuk ulama, sedangkan gelar tengku di tanah Deli dan Langkat adalah gelar bangsawan yang di Aceh disebut teuku). Terlepas apakah Bondan Gunawan tersangkut atau tidak dalam Buloggate, Bondan Gunawan patut mendapat penghormatan karena keberaniannya untuk masuk hutan di Aceh guna bertatap-muka dengan Tengku Abdullah Syafei. Langkah tatap-muka ini adalah langkah awal yang merintis perembukan dalam taraf institusi antara wakil Pemerintah Republik Indonesia dengan wakil pucuk pimpinan GAM Wali Nanggroe Tengku Hasan Muhammad Tiro di Swiss, yang pada 12 Mei 2000 berhasil ditanda-tanganinya kesepakatan yang disebut dengan Jeda Kemanusiaan. Karena kesepakatan itu bukanlah bertumpu di atas landasan yuridis formal melainkan atas landasan kemanusiaan, maka tidaklah relevan untuk memakai ungkapan yang berbau yuridis, seperti misalnya pengakuan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas GAM, dan juga ungkapan mengapa perembukan dan penanda-tanganan itu mesti di luar negeri, bukan dalam negeri.
Pada hari Jum'at, tanggal 2 Juni 2000 dinyatakan mulai berlaku efektif Jeda Kemanusiaan tersebut. Dibentuk pula sebuah komite kemanusiaan yang terdiri atas 10 orang, 5 orang dari Polri+TNI dan 5 orang dari GAM untuk merembukkan aturan main secara bersama-sama dalam realisasi Jeda Kemanusiaan tersebut. Kalau saya tidak salah ingat ada tawaran dari pusat memberikan kesempatan kepada anggota GAM untuk menjadi TNI dengan cara seleksi. Dengan terbentuknya Komite tersebut yang kemudian akan terumuskan pula aturan main bersama dalam mengamankan Aceh, maka tawaran dari pusat tersebut sudah tidak relevan lagi. Langkah demi langkah ditempuh, seperti misalnya menarik semua TNI dari Aceh supaya kondusif untuk cooling down, Polri bersama GAM bertanggung jawab menjaga keamanan. Langkah berikutnua barangkali GAM bergabung masuk Polri. Dan yang terpenting langkah menetapkan berlakunya Syari’at Islam dalam rangka pelaksanaan Otoda di Aceh. Langkah demi langkah ditempuh: FADZA FRGHT FANSHB. WALY RBK FARGHB (S. ALANSYRAH, 7-8), dibaca: faidza- faraghta fanshab. wa ila- rabbika farghab (s. al insyira-h), artinya: apabila engkau selesai (setahap), berupayalah (tahap berikutnya). dan kepada Maha Pemeliharamu berharaplah (94:7-8). WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.
*** Makassar, 4 Juni 2000