15 Juli 2001

483. Buaya Putih Lima Jari

Demi keotentikan, sebagai pertanggung-jawaban kepada Allah SWT, dalam kolom ini setiap ayat Al Quran ditranslitrasikan huruf demi huruf. Bila pembaca merasa "terusik" dengan transliterasi ini, tolong dilampaui, langsung ke cara membacanya saja.

Sebenarnya buaya putih lima jari ini telah disinggung 9 tahun yang lalu yaitu dalam Seri 027, 3 Mei 1992 dengan judul Tahyul Klasik dan Tahyul Kontemporer. Yaitu tahyul klasik yang masih mekar di Sulawesi Selatan ini tentang ibu yang melahirkan anak kembar manusia dengan buaya putih lima jari. Serta tahyul modern yang juga mekar dalam kalangan orang-orang yang berpikiran "modern" yang disebut: science fiction. Pada hakekatnya fiksi sains itu tidak lain dari "tahyul yang dibungkus oleh kemasan penampilan sains". Tahyul buaya putih ini dipaksakan naik pentas lagi dalam kolom ini setelah 9 tahun berselang, disebabkan oleh deringan telepon yang saya terima menanyakan bagaimana manusia beranak buaya menurut Wahyu dan Akal - Iman dan Ilmu. Hal ini sehubungan dengan baru-baru ini di S. Tallo', seekor buaya putih lima jari mengunjungi "saudara kembarnya" di rumah kecil di pinggir sungai. Buaya putih itu dalam keadaan sangat lemah dan mati di rumah "saudara kembarnya", memacetkan lalu lintas di jembatan Tallo', disebabkan oleh banyaknya orang yang tumpah ruah ingin menyaksikan buaya putih lima jari itu.

***

Perihal manusia melahirkan buaya disorot dari segi Wahyu dan Akal - Iman dan Ilmu, elok kiranya dimulai dengan mengangkat sedikit dari bagian Seri 027. Yaitu dialog kecil-kecilan pada 6 April 1992 (sehari setelah 'Iydul Ftihri), bertempat di rumah keluarga di Benteng, Selayar. AN RBK F'AAL LMA YRYD (S. S.HWD, 107), dibaca: inna rabbaka fa''a-lul lima- yuri-d (s.hu-d), artinya: Sesungguhnya Maha Pengaturmu berbuat apa Yang dikehendakiNya (11:107). Salah seorang peserta diskusi mengutip ayat (11:107) tersebut. Serta-merta yang mengucapkan ayat itu disanggah oleh kemanakannya sendiri: "Orang beranak buaya? Tidak masuk akal, karena tidak ada dalam Al Quran." Sang paman menimpali: "Jadi kau anggap paman pembohong? Saya melihat dengan mata kepala sendiri dukun beranak memperlihatkan kepada semua yang hadir di dalam rumah seorang ibu yang baru saja melahirkan bayinya berkembar buaya".

Menarik betul soal jawab antara paman dengan kemanakan ini. Sang paman mengemukakan apa yang terjadi di lapangan ibu yang melahirkan buaya (baca: empirik) yang kemudian ia kuatkan dunia empirik itu dengan ayat: fa''a-lul lima- yuri-d. Sedangkan sang kemanakan berpendirian bahwa hal aneh orang beranak buaya itu tidak masuk akal karena tidak ada dalam Al Quran. Keteguhan iman sang kemanakan ini hebat juga: "Semua hal aneh yang tidak ada dalam Al Quran, itu tidak masuk akal."

Memang Allah SWT berbuat sekehendakNya, karena Allah Maha Kuasa. Allah SWT sebagai RB AL'ALMYN (dibaca: rabbul 'a-lami-n), Maha Pengatur alam semesta, adalam Maha Pencipta Peraturan yang disebut dengan "Aturan Allah" (TQDR ALLH, taqdiruLlah), atau "Urusan Allah" (AMR ALLH, amruLlah), atau "Ketetapan Yang Maha Perkasa, Maha Mengetahui (TQDYR AZYZ AL'ALYM, taqdi-rul 'azi-zil 'ali-m). Ada Aturan Allah yang ditanam di alam semesta, yang disebut dalam istilah sekulernya: "hukum alam". Aturan Allah yang ditanam di alam semesta berproses secara sinambung, terbuka untuk semua orang di segala tempat dan di setiap waktu, jadi dapat dipelajari oleh manusia, sehingga melahirkan output yang disebut dengan ilmu pengetahuan alam (science, sains). Ada pula Aturan Allah yang tidak ditanam di alam semesta. Hanya muncul sewaktu-waktu yang biasanya erat hubungannya dengan mu'jizat seorang Nabi, seperti umur Nabi Nuh AS 950 tahun, tongkat Nabi Musa AS membelah Laut Merah, Nabi 'Isa AS dilahirkan tanpa ayah (tanpa proses pembuahan biologis), Isra'-Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Aturan Allah yang tidak ditanam ini tidak mungkin dapat dipelajari, karena prosesnya tidak sinambung, hanya terjadi sekali saja, sehingga tidak dapat dikaji oleh sains. Demikian pula Aturan Allah yang tidak ditanam ini, hanya dapat diterima akal oleh orang-orang yang beriman, jika disebutkan dalam Al Quran.

Oleh sebab itu menyangkut manusia yang beranak buaya, kita harus bertanya kepada sains, ilmu yang memperlajari Aturan Allah yang ditanam di alam semsesta, dan bertanya apakah itu Aturan Allah yang tidak ditanam di alam semesta. Menyangkut yang pertama, manusia beranak buaya adalah "hil" yang mustahil, karena dilihat dari ilmu genetika, gen manusia tidak sama dengan gen buaya. Menyangkut yang kedua, manusia beranak budaya adalah tahyul dan khurafat, karena tidak ada dalam Al Quran manusia beranak buaya.

Yang terakhir bagaimana dengan pengalaman empirik dari sang paman yang melihat dengan mata kepalanya sendiri dukun beranak memperlihatkan kepada semua yang hadir di dalam rumah seorang ibu yang baru saja melahirkan bayinya berkembar buaya? Ini dapat dijawab dengan pertanyaan pula: "Pernahkah ada dilaporkan dalam berita acara kelahiran dalam rumah sakit ataupun klinik bersalin manusia melahirkan buaya? Jangan kira merekayasa hanya dapat dilakukan oleh elit-elit politik, tetapi dukun beranakpun dapat juga merekayasa dengan teknik yang dapat mengelabui orang-orang seperti sang paman dan semua yang hadir di dalam rumah seorang ibu yang baru saja melahirkan bayinya itu? Lalu untuk apa rekayasa itu? Jawabnya untuk sasaran antara sensasi dan sasaran akhir do it. Demikian pula halnya buaya putih lima jari yang sudah mati itu "direka-yasa" sebagai "saudara kembar" pemilik rumah kecil di pinggir sungai Tallo' itu. WaL'la-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 15 Juli 2001