22 Juli 2001

484. Melawan HIV/AIDS dengan Penegakan Syari'at Islam

Demi keotentikan, sebagai pertanggung-jawaban kepada Allah SWT, dalam kolom ini setiap ayat Al Quran ditransliterasikan huruf demi huruf. Bila pembaca merasa "terusik" dengan transliterasi ini, tolong dilampaui, langsung ke cara membacanya saja.

Harian Jomhuri ye Eslami memberitakan sebanyak 12 orang laki-laki, yang dipersalahkan melakukan pelanggaran seksual berencana dan mabuk-mabukan, dieksekusi pada 15 Juli 2001. Eksekusi itu berupa cambukan dilaksanakan secara terbuka di muka umum di ibu kota Iran, Teheran bagian tenggara. 27 November 1999, tepat terik matahari di ubun-ubun, bertempat di lapangan volli Desa Mata Ie, Blang Pidie Aceh Selatan, seorang pemuda yang berumur 25 tahun bernama Zulkarnaen alias Ogut, menjalani hukuman cambuk 100 kali, yang diputuskan oleh Qadhi dalam sidang pengadilan yang dihadiri oleh para ulama dan pemuka masyarakat. Ogut terbukti telah melakukan pidana perzinaan dengan Kurniawati di Desa Mata Ie, dikuatkan oleh pengakuan kedua anak Adam itu, disaksikan oleh 4 orang dan bukti material Kurniawati telah mengandung 4 bulan. Dengan "Basmalah" dan ucapan "Allahu Akbar", 10 orang eksekutor masing-masing melecutkan cemeti sebesar ibu jari, dengan lengan tetap merapat diketiak sewaktu mengayunkan cambuk ke tubuh Ogut mulai dari bahu sampai ke kaki. Eksekusi itu dilaksanakan secara terbuka di depan masyarakat Desa Mata Ie. Akan halnya dengan Kurniawati eksekusi ditunda berhubung telah hamil 4 bulan, yakni eksekusi baru akan dilaksanakan insya-Allah hingga bayinya yang akan lahir kelak berumur 2 tahun.
Firman Allah SWT:
-- ALZANYT WALZANY FAJLDWA KL WAHD MNHMA MA@T JLDT (S. ALNWR, 2), dibaca: Azza-niyatu wazza-ni- fajlidu- kullu wa-hidim minhuma- miata jaldah (s. Annu-r), artinya: Pezina perempuan dan pezina laki-laki setiap orang dari keduanya mendapatkan dera seratus cambukan (24:2). Sanksi dera 100 kali cambukan itu bagi ghayru muhsan (belum nikah). Sedangkan bagi pezina yang muhsan (sudah nikah), mendapatkan sanksi dirajam sampai mati sesuai dengan Hadits yang disepakati atasnya (muttafaqun 'alaih), tentang orang Arab pegunungan yang melaporkan kepada Nabi Muhammad saw berkaitan anak laki-lakinya yang masih lajang berzina dengan istri majikan anaknya. Nabi Muhammad SAW memberikan sanksi atas anak laki-laki pelapor itu didera 100 kali cambukan dan diasingkan selama setahun. Sedangkan istri majikan anaknya tersebut dirajam sampai mati.

***
Demikianlah secara de fakto penerapan hukum menurut Syari'at Islam telah diberlakukan di Aceh, seperti eksekusi atas Ogut di Desa Mata Ie tersebut. Dan alhamduliLlah de fakto tersebut telah menjadi de jure, yaitu RUU Nanggroe Aceh Darusslam (NAD) telah disahkan menjadi UU NAD oleh DPR-RI dalam Sidang Paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR-RI Soetardjo Surjoguritno, pada hari Kamis, 19 Juli 2001.

Dengan disahkannya RUU NAD menjadi UU, maka sudah tertolak apa yang disikapkan oleh PDIP melalui mulut Sutjipto, bahwa penerapan hukum menurut Syari'at Islam di Aceh itu bertentangan dengan hukum secara nasional. Sebenarnya tanpa melihat pada kenyataan disahkannya RUU NAD menjadi UU, hukum nasional tidaklah bertentangan dengan Syari’at Islam. Cukup mengacu pada Bab XI mengenai agama, pasal 29 ayat dua yang berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sanksi dera 100 kali cambukan dan rajam termasuk dalam hal: "beribadat menurut agamanya". Demikian pula tertolak juga pendapat pengamat politik muda kita Andi Alfian Mallarangeng, yang tidak setuju dengan pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh, dengan alasan nanti provinsi lain ikut-ikutan pula. Bahkan justru sebaliknya, dengan disahkannya RUU NAD menjadi UU, makin terbuka lebar pintu “Rumah Politik” yang sementara diperjuangkan oleh Komite Persiapan Penegakan Syari’at Islam Sulawesi Selatan. Rumah Politik termaksud ialah Otonomi Khusus Sulawesi Selatan dengan ciri khusus Syari’at Islam.

Islam adalah untuk keselamatan ummat manusia dunia akhirat. Menyangkut salah satu aspek keselamatan dunia, dengan sanksi dera 100 kali cambukan dan rajam secara terbuka di depan umum, niscaya menjadikan orang-orang akan ngeri mengadakan hubungan seksual secara liar. Alhasil itulah cara paling efektif melawan penyebaran HIV/AIDS tanpa mengeluarkan dana. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 22 Juli 2001