9 Februari 2003

561. Data, Hasil Teknologi, Tradisi serta Hukum Positif Lebih Menguntungkan Perempuan

Khusus untuk Makassar dan sekitarnya:
1/2-2003 hari Sabtu, matahari terbenam pada jam 18:17'38" WITA, kemudian ijtima' terjadi pada jam 18:48'20" WITA. Karena Ijtima' terjadi SETELAH matahari terbenam, maka al Hilal (new moon) belum lahir di Makassar. Artinya al Hilal lahir keesokan harinya, yaitu pada 2/2-2003, hari Ahad (malam Senin), tinggi bulan 11° 03' 35", bulan mudah diru'yah. Jadi 1 DzulHijjah 1423 H, mulai terbenam matahari pada hari Ahad (malam Senin) hingga matahari terbenam pada hari Senin 3 Februari 2003. Maka 10 DzulHijjah 1423 H, mulai terbenam matahari pada hari Selasa (malam Rabu) hingga matahari terbenam pada hari Rabu 12 Februari 2003. Orang mulai takbir pada malam Rabu dan shalat 'Iyd alQurban pada hari Rabu 12 Februari 2003, baik yang berfaham Hisab maupun Ru'yah.

Khusus untuk Jakarta dan sekitarnya:
1/2-2003 hari Sabtu, ijtima' terjadi pada jam 17:48'20" WIB, kemudian matahari terbenam pada jam 18:27'00" WIB. Karena Ijtima' terjadi SEBELUM matahari terbenam, maka al Hilal (new moon) sudah lahir di Jakarta, tinggi bulan 00° 39' 38", tidak dapat diru'yah, mata dan instrumen masih "silau" oleh matahari yang baru saja terbenam, lama al Hilal di atas ufuk hanya 4'44". Jadi 1 DzulHijjah 1423 H, mulai pada terbenam matahari pada hari Sabtu (malam Ahad) hingga terbenam matahari pada hari Ahad 2 Februari 2003. Maka 10 DzulHijjah 1423 H, mulai terbenam matahari pada hari Senin (malam Selasa) hingga matahari terbenam pada hari Selasa 11 Februari 2003. Orang mulai takbir pada malam Selasa dan shalat 'Iyd alQurban pada hari Selasa 11 Februari 2003. Yang berfaham Ru'yah, karena al Hilal tidak dapat diru'yah pada hari Sabtu (malam Ahad), maka takbir mulai malam Rabu, dan shalat 'Iyd alQurban pada hari Rabu 12 Februari.

***

Sebermula, akan kita tinggalkan pemikiran akan substansi yang musykil dan berat-berat, marilah kita bersantai sejenak, untuk mengendurkan urat-urat saraf, mudah-mudahan tekanan darah menurun hendaknya.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, kaum perempuan dimanjakan oleh hasil teknologi dan tradisi serta hukum positif, berikut kesepakatan internasional. Hasil inovasi teknologi memberikan servis mempermudah pekerjaan perempuan, seperti antara lain setrika listrik, lemari es, air cond, rice cooker, mixer, mesin cuci, dsb.

Hukum positif melindungi tindak kriminal perkosaan terhadap perempuan oleh pihak laki-laki, sedangkan tidak sebaliknya. Ada hari ibu, tidak ada hari bapak. Dalam organisasi ada seksi perempuan / puteri, tidak ada sebaliknya. Kesepakatan internasional (Konvensi) Geneva menekankan, apabila terjadi bencana alam (banjir, gunung meletus, gempa bumi dsb) perempuan dan anak2 wajib diselamatkan lebih dahulu. Padahal bencana alam tidaklah memilah, perempuan dan laki-laki sama lemahnya dihadapan bencana alam, semua disapu bersih. Dalam situasi perang perempuan dan anak-anak diungsikan lebih dahulu, padahal dihadapan kancah peperangan sejak zaman golok, kapak, panah hingga zaman bedil, meriam, misil, senjata-senjata itu tak ada yg pilih bulu laki-laki atau perempuan.

Perempuan diusik sedikit saja haknya sudah membentuk komite, demo, diekspose, minta perlindungan dsb. Lupakah, bahwa hanya perempuan yg bisa menikmati cuti hamil 3 bulan (dibayar penuh). Laki-laki diwajibkan siskamling, sebaliknya perempuan tidak diwajibkan. Dalam rumah tangga, bila terjadi perubahan peran, si Ibu bekerja diluar dan si Bapak mengurus pekerjaan rumah, pasti si Bapak akan kena banyak cemooh dan lecehan serta bulan-bulanan perbualan, lakilaki macam apa itu zeg, dan si Ibu akan dipuji habis, perempuan luar biasa, mungkin profilnya dimuat di koran2 atau diwawancarai TV. Saat seorang perempuan menjadi pembersih gedung bertingkat, semua ribut, tapi ketika pekerjaan itu dijalankan laki-laki, didiamkan saja, padahal sama remuknya baik laki-laki maupun perempuan kalau jatuh dari lantai 10 misalnya.

Sabda Alam, boleh jadi inilah yang menjadi gara-gara sengitnya tuntutan emansipasi, persamaan gender dsb itu. Jangan salah paham, itu bukan sabda seorang raja yang bernama Alam, melainkan judul sebuah nyanyian. Yaitu ada sebuah baris yang mengharukan: "Wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan." Itu didukung oleh kenyataan sejarah, bahwa dulu-dulu laki-laki dapat bersisteri banyak tiada terbatas. Untunglah datang Islam, Al Quran membatasi jumlahnya maksimal empat dengan persyaratan yang ketat, berlaku adil.
-- FANKhWA MA THAB LKM MN ALNSAa MTSNY WTSLATS WRB'A FAN KHFTM ALA T'ADLWA FWAhDt AW MA MLKT AYMANKM (S. ALNSAa, 3), dibaca: Fankihu- ma- tha-ba lakum minan nisa-i matsna- watsula-tsa waruba-'a fain khiftum alla- ta'dilu- fawa-hidatan aw ma- malakat ayma-nukum (s. annisa-'), artinya: maka nikahilah perempuan-perempuan yang layak bagimu, berdua, lalu bertiga, lalu berempat, maka apabila kamu kuatir tidak dapat berlaku adil (nikahilah) hanya satu (saja), atau (nikahilah) apa yang dapat kamu peroleh dengan tangan kananmu (4:3). Pada waktu itu masih banyak hamba sahaya perempuan, itulah yang dimaksud dengan apa yang dapat kamu peroleh dengan tangan kananmu. Sekarangpun juga ada hamba sahaya perempuan. Itu lho, para pelacur yang dikomersialkan oleh para germo, dan pelacur terselubung yang "dikelola" oleh para "pengusaha seks" pemilik nait kelub yang spesifik.

Coba, dalam Al Quran ada S. Annisa-' (S. perempuan), tidak ada S. Arrija-l (S. laki-laki), maka oleh karena itu tidaklah usah bersemangat kaum perempuan Indonesia menuntut 30% porsi dalam DPR. (Selayaknya janganlah pula ditanggapi secara emosional oleh perkumpulan gender, hai ibu-ibu / gadis-gadis, sambutlah "kritikan" ini dengan santai bersenyum simpul, ya tokh?). WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 9 Februari 2003