16 Februari 2003

562. Kasus Merauke

Pada hari Senin 10 Februari 2003 pagi-pagi buta Dr Ahmad Sewang, yang dosen senior IAIN Alauddin Makassar, menelpon saya, bahwa beliau telah membaca tulisan saya di Fajar, perihal data hisab. Katanya mengapa data itu berbeda dengan data bagian hisab IAIN. Saya jawab, bahwa memang data tinggi al hilal pasti berbeda, sebab yang saya tulis adalah tinggi al hilal pada Ahad senja/malam Senin, 2 Februari 2003, sebab pada Sabtu senja/malam Ahad, 1 Februari, al hilal baru belum wujud, karena ijtima' (conjuction) terjadi setelah matahari terbenam (ghurub, Maghrib).

Ini perlu dipejelas. Maka saya pilihlah kasus Merauke, kota yang dianggap paling timur di Indonesia. Merauke ini sejak 1 Syawwal 1423 H dan menyusul 10 DzulHijjah mengalami "tragedy" belum tegasnya kriteria tentang hisab. Pada Rabu senja/malam Kamis 4 Desember 2003 di Merauke, bulan telah terbenam pada 17:44'38" WIT, kemudian baru menyusul waktu maghrib jam 17:46'06" WIT. Artinya, walaupun pada hari Rabu itu ijtima' terjadi pada jam 16:33'59" WIT, yakni terjadi sebelum waktu maghrib, namun bulan baru belum wujud, karena bulan lebih dahulu terbenam dari matahari. Sehingga malam Kamis hingga Kamis siang 5 Desember 2002, masih bulan Ramadhan, jadi seharusnya 1 Syawwal 1423 bagi Merauke adalah pada hari Jum'at 2002. Namun karena Muhammadiyah, yang "menganut" prinsip wilayah alhukmi, menginstruksikan bahwa masyarakat Merauke harus ikut pusat dari wilayah alhukmi, harus berlebaran juga pada hari Kamis 5 Desember 2002. Inilah drama Merauke yang pertama, kontradiksi antara wujud hilal dengan prinsip wilayah hukum.

Surat edaran pimpinan pusat Muhammadiyah menyatakan tinggi bulan di Merauke pada Sabtu senja/Malam Ahad adalah 0°13'48". Pada hal ijtima' baru terjadi pada 19:48'20" WIT, yaitu setelah waktu maghrib pada 18:05'59" WIT, artinya pada Sabtu senja/Malam Ahad walaupun bulan sabit sudah di atas ufuk, kriteria bulan baru belum terpenuhi berhubung ijtima' terjadi setelah waktu maghrib. Jadi di Merauke pada Sabtu senja/malam Ahad masih bulan DzulQaidah, sehingga 1 DzulHijjah 1423 jatuh pada Ahad senja/malam Senin. Dengan demikian 10 DzulHijjah sesungguhnya jatuh pada malam Rabu (mulai takbir) hingga Rabu siang 12 Februari 2003 shalat 'Iyd alQurban di Merauke, bukan pada hari Selasa. Inilah drama Marauke yang kedua, menetapkan wujud hilal tanpa memperhatikan ijtima'.

Demikianlah informasi "teknis" tentang seluk-beluk hisab.

***
Secara prinsip ada dua masalah di Indonesia yang mesti ditegaskan mengenai penegasan bulan baru, pertama prinsip wilayah alhukmi dan kedua kriteria tentang wujud alhilal dalam hisab.

Pertama, wilayah alhukmi dianut baik oleh Pemerintah yang menganut pendekatan ru'yah, maupun Muhammadiyah yang menganut pendekatan hisab. Asal ada yang melihat bulan baru di Sabang misalnya, serta merta Pemerintah beradasar atas kewenangannya atas wilayah alhukmi, ditetapkanlah seluruh wilayah Indonesia mengikuti ketetapan Jakarta itu, demikian pula Muhammadiyah berdasar atas prinsip wilayah alhukmi menetapkan bahwa Yogyakarta itulah Indonesia. Visi sentralisme itu perlu ditinjau kembali, karena masalah mathla' adalah tergolong dalam hal kategori geografis.

Akan dikemukakan landasan Nash, sebagai hujjah (reasoning).
- 'An Abiy Hurayrata yaquwlu qaala nNabiyyu Sh M shuwmuw liru'yatihi RB), artinya: Dari Abu Hurayrah (ia) berkata: Nabi SAW (telah) bersabda puasalah kamu apabila melihatnya (al Hilal). -- FMN SYHD MNKM ALSYHR FLYSHMH (S. ALBAQRT, 185), dibaca: fa man syahida mingkumush shayra falyashumhu, artinya maka barang siapa menyaksikan "asysyahr", maka mestilah mempuasakannya (2:185). Menurut ayat (2:185) syahr (month) itu disaksikan (syahida). Jadi sabda Nabi Muhammad SAW: shuwmuw liru'yatihi, berpuasalah karena melihatnya, hendaklah dipahamkan dalam konteks ayat syahida mingkumusy syahra, menyaksikan asysyahr (month). Syahr (month) tidak dapat dilihat dengan mata kasar, karena itu bukan benda kasar, melainkan "hitungan bulan", maksudnya Ramadhan, yang hanya dapat disaksikan dengan hisab. Shuwmuw liru'yatihi dalam konteks ayat syahida mingkumusy syahra sesungguhnya merupakan pula penegasan bahwa masalah mathla' adalah sifatnya geografis, tergantung di tempat mana dilakukan oleh komunitas muslim.

Kedua, dalam perkara ini, eloklah kita melihat kepada Kerajaan Arab Saudi. Kita kutip:
starting from the year 1423 AH Saudi will adopt another new criteria to start the lunar months. The new criterion says: If on the 29th day of the lunar month these two conditions are satisfied, then the next day is the first day of the new lunar month:-
- The geocentric conjunction occurs before Sunset.
- The Moon sets after the Sun.
Notice that the criteria still ignore the visibility of the crescent!

Maka demikianlah, mulai 1423 H, Kerajaan Arab Saudi menetapkan Umm Al-Qurah Calendar dengan kriteria seperti berikut: Apabila pada tanggal 29 bulan qamariyah kedua persyaratan di bawah terpenuhi maka pada hari berikutnya adalah tanggal satu dari bulan qamariyah yang berikutnya. Kedua persyaratan itu adalah:
Ijtima' geosentrik terjadi sebelum matahari terbenam
Bulan terbenam setelah matahari.
Kriteria baru ini tampaknya tidak mengindahkan meru'yah bulan sabit. Kriteria baru ini telah mulai diaplikasikan dalam menentukan 1 Syawwal 1423 H yang lalu.

Alangkah eloknya baik Pemerintah, maupun Muhammadiyah mengikuti jejak Kerajaan Arab Saudi. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 16 Februari 2003