13 November 2005

702. Motto IMMIM vs Relativisme Epistemologis

Belum lama ini, ada sebuah buku yang terbit yang membahas tentang Pluralisme. Judulnya sangat indah: "Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam". Penerbitnya didanai oleh Ford Foundation. Paham Pluralisme Agama merupakan proyek yang sangat mudah menyedot dana dari lembaga asing yang bergelimang uang seperti Ford Foundation. Fatwa MUI sudah menjelaskan tentang definisi paham ini dengan lugas dan jelas. Yakni, menurut MUI, Pluralisme Agama yang difatwakan haram hukumnya itu, adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar.

Para penyebar paham ini seperti tidak perduli dengan kerusakan berpikir dan kerusakan iman yang disebabkan oleh paham Pluralisme Agama utamanya dalam hal relativisme epistemologis. Maksudnya, pada wilayah ini maka yang selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolut. Kita dapat mengetahui kebenaran hanya sejauh itu absah bagi kita. Artinya, kebenaran yang selama ini kita pahami tak lain adalah kebenaran sepihak. (hal. 58).

Rektor UIN Jakarta, Azyumardi Azra, dalam buku ini, mengungkap tentang konsep "Islams" (banyak Islam). Keceknya, Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Kata Azra: "Memang secara teks Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan." (hal. 150).

Uzair, eh Azra menunjuk pada contoh perbedaan pemahaman di antara para imam mazhab dalam memahami Al-Quran dan hadits. Ia juga menegaskan bahwa Al-Quran sekalipun bisa disebut punya bias kultural. "Kenapa Al-Quran harus dengan berbahasa Arab, bukan berbahasa Indonesia, bahasa Jawa? Dan ketika Al-Quran itu di-frame, disampaikan kepada manusia, dalam hal ini orang Arab, maka ketika itulah kerangka cultural Arab juga masuk." (hal. 150-151).

Cara berpikir relativisme dengan alat hermeneutika semacam itu, apakah itu benar? Tentu saja produk hermeneutika itu tidak benar dan jelas-jelas salah. Cara berpikir relativisme dengan memakai tool hermeneutika ini muncul dari cara pandang yang salah, yang menyamakan antara Islam sebagai agama wahyu dengan agama-agama lain yang tumbuh dari kultur manusia. Cara berpikir Rektor UIN Jakarta itu juga salah dilihat secara epistemologis, pelurunya ibarat bumerang dikembalikan kepadanya.

Kepada para santri Pesantren Pendidikan Al-Quran IMMIM diajarkan:
-- "Bersatu dalam 'Aqidah, toleransi dalam Khilafiyah-Furu'iyah." Azra mengabaikan klasifikasi 'Aqidah dengan Khilafiyah-Futu'iyah. Karena Islam adalah agama wahyu, maka tafsir dan pemahaman terhadap Islam dan Al-Quran ada yang bersifat tetap (tsawabit) dan ada yang berubah (mutaghayyarat). Tafsir juga ada yang qath'iy dan ada yang zhanniy, yang ijtihadi. Ada yang sama dan ada yang berbeda, tanpa pandang latar belakang kultural penafsir. Semua penafsir al-Quran akan sama dalam memahami dan menafsirkan ayat `Qul HuwaLla-hu Ahad`. Bahwa, Allah adalah satu. Bukan tiga, atau tiga dalam satu. Semua mufassir akan memahami seperti itu, di manapun dia berada dan di waktu kapanpun ia hidup, serta apa pun latar belakang kebangsaan dan budayanya. Bahwa para mufassir itu, akan sama berpaham bahwa ibadah haji harus dilakukan di Tanah Suci, bukan di Washington atau Moskwa. Yang berbeda, yang plural adalah dalam hal yang zhanni, yang ijtihadi, yang Khilafiyah-Furu'iyah.

Karena itu, sepanjang sejarah Islam, masalah perbedaan kultural tidaklah dijadikan sebagai hal yang signifikan. Para mufassir dan ulama Islam dari berbagai belahan dunia memahami Al-Quran dengan cara yang sama untuk hal-hal yang pokok dalam Islam. Imam Bukhari bukanlah orang Arab, tetapi cara pemahamannya terhadap Islam sama dengan Imam Syafi'i yang Arab. Menyatakan bahwa Islam itu banyak, dengan contoh perbedaan fiqhiyyah di kalangan Imam Mazhab yang dicontohkan oleh Rektor UIN Jakarta tersebut, adalah hasil kesesatan berpikir secara 'Aqidah dan kesalahan telak secara epistemologis.

Alhasil, pemahaman bahwa Islam adalah banyak (Islams), bahwa kebenaran setiap agama adalah relatif, adalah hasil hermeneutika yang effeknya mendustakan ayat-ayat Allah. Na'udzubiLlah pemahaman hasil hermeneutika itu perlu dibuang jauh-jauh, karena ke atas ia tidak berpucuk, ke bawah ia tidak berakar, di tengah-tengan ia dimakan kumbang.

Firman Allah:
-- WATL 'ALYHM NBA ALDzY aATYNH aAYTNA FANSLKh MNHA FATB'AH ALSyThN FKAN MN ALGhAWYN . WLW SyaNA LRF'ANH BHA WLKNH AKhLD ALA ALARDh WATB'A HWH FMTsLH KMTsL ALKLB AN ThML 'ALYH YLHTs AW TTRKH YLHTs DzLK MTsL ALQWM ALDzYN KDzBWA BaAYTNA FAQShSh ALQShSh L'ALHM YTFKRWN (s. ALA'ARAF, 7:175,176), dibaca: watlu 'alaihim nabaa a-taina-hu a-ya-tina- fansalakha minha- faatba'ahusy syaitha-nu faka-na minal gha-wi-n . walaw syi'na- lafa'na-hu biha- wala-kinnahu akhlada ilal ardhi wattaba'a hawa-hu famatsuluhu- kamatsalil kalbi intahmil 'alaihi yalhats aw tatrukhu yalhats dza-lika matsalul qawmil ladzi-na kadzdzabu- bia-ya-tina- faqshushil qashasha la'allahum yatafakkaru-n, artinya: Dan bacakanlah kepada mereka pekabaran orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, maka syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia (di antara) orang-orang yang tersesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya maka dia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 13 November 2005